Sejarah dan Kisah Karomah Syekh Jumadil Kubro

/ 1 Mei 2020 / 5/01/2020 03:51:00 AM
 
ilustrasi Syekh Jumadil Kubro 

Oleh : M Rodhi irfanto
Red, POLICEWATCH,- Syekh Jumadil Kubro merupakan seorang ulama besar yang berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah. Dia adalah salah satu tokoh penting dalam penyebaran agama Islam di Nusantara dan konon merupakan keturunan ke-10 dari al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW.

Dalam beberapa babad dan cerita rakyat Syekh Jumadil Kubro diyakini sebagai bapak para Wali Songo. Karena beberapa Wali Songo, yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) konon adalah cucunya. Bagi Sunan Bonang dan Sunan Drajad, Syekh Jumadil Kubro adalah buyutnya. Sementara Sunan Kudus adalah cicitnya (keturunan keempat).

Bahkan makam atau petilasan dari Syekh Jumadil Kubro diyakini berada di sejumlah tempat diantaranya di makam Troloyo yang berada satu lokasi dengan situs Trowulan Majapahit, Mojokerto; di Jalan Arteri Yos Sudarso No 1 Kelurahan Terboyo Kulon, Kecamatan Genuk Kota Semarang; di Dusun Turgo (dekat Plawangan, Kaliurang), Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman; di Parangtritis Gunungkidul, Yogyakarta dan di Wajo, Makassar, Sulawesi Selatan.

Selama berdakwah di Nusantara Syekh Jumadil Kubro kerap mendapat tantangan dan kesulitan. Dalam beberapa literatur Syekh Jumadil Kubro yang merupakan salah satu ulama besar di zamannya ini kemudian menghadap ke Sultan Muhammad I sebagai penguasa kekhalifahan Turki Ustmani saat itu.

Setelah berkonsultasi dengan Syekh Jumadil Kubro, Sultan Muhammad I lalu mengundang beberapa tokoh ulama dari wilayah Timur Tengah dan Afrika yang memiliki karomah guna membantu perjuangan dalam menyiarkan agama Islam di Nusantara. Mereka terdiri atas sembilan orang ulama yang kemudian disebut Wali Songo.

Setelah berkonsultasi dengan Syekh Jumadil Kubro, Sultan Muhammad I lalu mengundang beberapa tokoh ulama dari wilayah Timur Tengah dan Afrika yang memiliki karomah guna membantu perjuangan dalam menyiarkan agama Islam di Nusantara. Mereka terdiri atas sembilan orang ulama yang kemudian disebut Wali Songo.

1. Maulana Malik Ibrahim, ahli Tata Negara dan pengobatan. Berdakwah di Jawa Timur.
2. Maulana Ishak dari Samarkhan beliau putra dari Sayyid Jumadil Kubro, ahli pengobatan. Berdakwah di Jawa Timur.
3. Maulana Jumadil Kubro, ahli militer. Berdakwah di lingkungan Kerajaan Majapahit.
4. Maulana Ahmad al Maghroby (Sunan Geseng) terkenal sebagai orang yang kuat dan sakti berdakwah di Jawa tengah.
5. Maulana Malik Isroil ahli mengatur Negara. Berdakwah di Jawa Tengah.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar ahli pengobatan dan pertanian. Berdakwah di Jawa Tengah.
7. Maulana Hasanuddin, berdakwah di Jawa Barat .
8. Maulana Alayuddin berdakwah di Jawa Barat dan Banten.
9. Syekh Subakir dari Persia (Iran) ahli supranatural (tumbal tanah angker, mengusir jin setan), tugasnya di Pulau Jawa. Di kembali ke negerinya Persia 1462 M setelah selesai tugasnya.

Rombongan Wali Songo periode I ini menunjuk Syekh Maulana Malik Ibrahim sebagai mufti (pemimpin).

Lalu Syekh Jumadil Kubro datang ke Nusantara bersama rombongan Wali Songo yang membuat semakin geramnya kekuatan gaib yang selama ini menguasai Pulau Jawa sebagai pusat Nusantara saat itu.

Melihat situasi keangkeran pulau Jawa yang semakin menjadi-jadi, Syekh Maulana Malik Ibrahim selaku mufti Wali Songo yang pertama ini memberikan tugas kepada Syekh Subakir salah satu anggota Wali Songo yang ahli dalam bidang metafisika (ahli mengusir jin, setan, genderuwo dan sejenisnya) untuk segera melakukan tugasnya memasang tumbal pada daerah-daerah angker di Pulau Jawa sehingga dapat melumpuhkan kekuatan-kekuatan gaib yang selama ini menguasai pulau Jawa. 

Setelah Syekh Subakir memasang tumbal di puncak Gunung Tidar, Magelang, selanjutnya Syekh Jumadil Kubro dan semua wali membagi tugas dakwah mereka. Syekh Jumadil Kubro memilih wilayah dakwah di lingkungan kerajaan Majapahit

Karena pengaruhnya dalam memberikan pencerahan, maka Syekh Jumadil Kubro disegani para pejabat Kerajaan Majapahit. Syekh Jumadil Kubro diyakini selain menyebarkan ilmu agama juga menurunkan ilmu kedigjayaan bagi para murid-muridnya.

Sehingga tak heran saat wafat, konon Syekh Jumadil Kubro dimakamkan diantara makam pejabat Kerajaan Majapahit seperti Tumenggung Satim Singgo Moyo, Kenconowungu, Anjasmoro, Sunan Ngudung (ayah dari Sunan Kudus) dan beberapa patih serta senopati lainnya.

“Sebagaimana sejarahwan sepakati, bahwa dakwah Islam di Nusantara, khususnya yang dibawa para Wali, bercorak khas; sangat damai, adaptif dengan kebudayaan setempat, dan kental tradisi tasawwuf. Bukan tidak mungkin, karena narasi ilmu para pendakwah di Nusantara, bersumber dari satu tradisi, atau mungkin dari satu orang.” 

Dari serangkaian nama para tokoh perintis yang menyebarkan Islam di Nusantara, nama Syeik Jumadil Kubra adalah salah satu sosok terpenting. Sebagian besar pendapat menyakini, bahwa beliaulah bapak para wali di Nusantara dan Asia Tenggara. Tapi sampai sekarang, masih terjadi perselisihan di antara para sejarawan tentang kisah hidup beliau. Bahkan identitas aslinya pun masih simpang siur. Uniknya, nama beliau hidup dalam tuturan masyarakat, dan terlacak pula dalam dokumen-dokumen kuno nusantara, seperti babat tanah jawi dan ditulis oleh para peneliti asing.

Salah satu masalahnya, belum ada satu bukti arkelogis yang cukup otentik untuk menyibak kabut identitas sosok yang bernama Syeik Jumadil Kubra, seperti makam atau prasasti. Alih-alih, makam beliau bertebaran cukup banyak di pulau Jawa, bahkan sampai di Sulawesi. Semua makam-makam ini oleh penduduk setempat diyakini sebagai makam Syeik Jumadil Kubro, dan masih tetap di ziarahi hingga hari ini.

Di Semarang, sebuah makam tua yang terletak di antara Tambak dan Terboyo, diyakini penduduk sebagai maka Syeik Jumadil Kubra. Demikian juga di Desa Turgu, di lereng Gunung Merapi, terdapat juga makam yang diyakini sebagai makam Syeik Jumadil Kubra. Dan yang paling terkenal, dan dianggap cukup otentik, adalah makam di daerah Mojokerto, Jawa Timur. Terakhir, sebagian masyarakat juga meyakini makam Syeik Jumadil Kubra ada di Tosora Kecamatan Majauleng, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.

MAKAM SYEKH JUMADIL KUBRO DI JALAN ARTERI YOS SUDARSO KECAMATAN GENUK KOTA SEMARANG RAMAI DIKUNJUNGI PEZIARAH DARI BERBAGAI DAERAH. 

MAKAM TUA DI BUKIT TURGO, YANG DIPERCAYA SEBAGAI MAKAM SYEIK JUMADIL KUBRA


 
MAKAM YANG DIPERCAYA SEBAGAI PUSARA SYEIK JUMADIL KUBRA DI WAJO, SULAWESI SELATAN. MASYARAKAT DI WAJO, LEBIH MENGENAL BELIAU DENGAN NAMA SYEIK JAMALUDDIN HUSEIN AL AKBAR.

Di Wajo, Sulawesi Setalan, masyarakat setempat cukup menyakini makam tersebut sebagai makam Syeik Jumadil Kubra, terlebih ketika makam ini pernah juga diziarahi oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hal ini juga diperkuat oleh penuturan sejarawan bernama Martin Van Bruinessen, yang mengatakan ada kemungkinan makam Syeik Jumadil Kubra yang asli justru terletak di Wajo, karena jejak terakhir dakwah beliau adalah di kawasan Kerajaan Gowa.

Tapi sayangnya, diantara sekian banyak makam tersebut di atas, tidak ada satupun bukti ataupun informasi arkeologis yang cukup akurat yang bisa dijadikan rujukan untuk melacak jejak dakwah Syeik Jumadil Kubro. Inilah salah satu hal yang buat identitas beliau tetap samar.

Bila ditilik dari namanya, menurut Martin Van Bruinessen yang dikutip oleh Agus Sunyoto, nama Jumadil Kubro sendiri adalah penamaan yang tidak lazim dalam kaidah bahasa Arab. Kata Arab “Kubra” adalah kata sifat dalam bentuk mu’annas(feminim), bentuk superlatif (ism tafadhil) dari kata “kabir” yang berarti besar. Bentuk kata mudzakkar (maskulin) yang sesuai adalah akbar. Martin menilai aneh, kata al-Kubra menjadi bagian nama seorang laki-laki. Karena itu ia berpendapat nama Jumadil Kubra adalah penyingkatan nama Najumuddin al-Kubra yang dihilangkan bunyi suku kata pertamanya, sehinga menjadi Jumadil Kubra.

Secara garis besar, terdapat dua versi cerita terkait sosok Syeik Jumadil Kubro, yaitu versi babat lokal dan sejarawan asing, dengan versi para sayyid/habaib. Kedua versi tersebut sengaja kita bedakan, kerena miliki struktur narasi masing-masing, yang kurang elok bila dicampur. Meskipun dalam beberapa aspek, kedua versi tersebut bisa jadi saling mengisi, tapi di sini lain saling bersilang pendapat. Untuk itulah kedua versi tersebut kita paparkan secara terpisah.

Agus Sunyoto dalam karyanya, berjudul Atlas Walisongo, cukup apik meramu informasi dari babat lokal ini. Menurut Babat Tanah Jawi, Syeik Jumadil Kubra adalah sepupu dari Sunan Ampel. Beliau hidup sebagai seorang petapa di sebuah hutan di dekat Gresik. Keberadaannya sebagai petapa juga tersebut dalam legenda masyarakat di lereng Gunung Merapi. 

Dalam legenda tersebut dikatakan bahwa Syeik Jumadil Kubra adalah seorang wali asal Majapahit yang menjadi petapa di hutan lereng Gunung Merapi. Beliau dipercaya mencapai usia sangat tua, hingga sempat menjadi penasehat dari Sultan Agung.

Dalam Kronika Banten, sebagaimana dikutip oleh Agus Sunyoto, Syeik Jumadil Kubra digambarkan sebagai nenek moyang Sunan Gunung Jati. Dikisahkan bahwa seorang putra Syeik Jumadil Kubra yang bernama Ali Nurul Alam tinggal di Mesir. Ali Nurul Alam memiliki putra bernama Syarif Abdullah, yang kemudian memiliki anak bernama Syarif Hidayatullah, atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Sementara itu, menurut Babat Tanah Cirebon, tokoh Syeik Jumadil Kubra dianggap sebagai leluhur Sunan Gunung Jati dan wali-wali lain seperti Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Sunan Kalijaga. Hal yang kurang lebih sama juga dituturkan dalam Kronika Gresik, dimana Syeik Jumadil Kubra dikatakan memiliki hubungan darah dengan Sunan Ampel dan tinggal di Gresik. Putra Syeik Jumadil Kubra yang bernama Syeik Maulana Ishak dikirim ke Blambangan untuk melakukan islamisasi di sana. Sebagaimana diketahui, Syeik Maulana Ishak sendiri merupakan ayah dari Sunan Giri. Dengan kata lain, Syeik Jumadil Kubra adalah kakek dari Sunan Giri.

Berbeda dengan babat lokal, menurut Raffles dalam The History of Java, yang mencatat kisah-kisah legenda dari Gresik, Syeik Jumadil Kubra disebutkan sebagai guru dari Sunan Ampel, bukan nenek moyang para wali sebagaimana disebut oleh babat lokal. Dikisahkan, Raden Rahmat yang kelak dikenal sebagai Sunan Ampel, pertama-tama datang dari Champa ke Palembang dan kemudian meneruskan perjalanan ke Majapahit. Mula-mula Raden Rahmat ke Gresik, dan mengunjungi seorang ahli ibadah yang tinggal di Gunung Jali, bernama Syeik Molana Jumadil Kubra. Syeik Molana Jumadil Kubra kemudian menyatakan bahwa kedatangannya telah diramalkan oleh Nabi Saw bahwa keruntuhan agama kafir telah dekat dan Raden Rahmat dipilih untuk mendakwahkan Agama Islam di Pelabuhan timur Pulau Jawa.

Jadi berdasarkan babat lokal, bisa dikatakan bahwa Syeik Jumadil Kubra memiliki hubungan darah dengan para Walisongo, kecuali Maulana Malik Ibrahim. Menurut Muhammad Sulton Fatoni, dalam Buku Pintar Islam Nusantara, Syeik Jumadil Kubra menyebarkan Islam di Nusantara setelah wafatnya Maulana Malik Ibrahim pada tahun 882H/1419 M, dan sebelum Raden Rahmat atau Sunan Ampel yang baru tiba di Jawa beberapa dasawarsa setelahnya. 

 Artinya munurut versi ini, kiprah dakwah Syeik Jumadil Kubra di pulau Jawa berlangsung di sekitar paruh pertama abad ke-15.

Terkait dengan apa yang disampaikan oleh Raffles, sebenarnya tidak mengubah substansi dari tentang identitas Syeik Jumadil Kubra. Sekurang-kurangnya, kita bisa memaknai, bahwa selain bapak para wali, Syeik Jumadil Kubra merupakan sumber ilmu keIslaman di Nusantara. Sebagaimana sejarawan sepakati, bahwa dakwah Islam di Nusantara, khususnya yang dibawa para Wali, bercorak khas; sangat damai, adaptif dengan kebudayaan setempat, dan kental tradisi tasawwuf. Bukan tidak mungkin, karena narasi ilmu para pendakwah di Nusantara, bersumber dari satu tradisi, atau mungkin dari satu orang

Cerita lain
MAKAM SYEIK JUMADIL KUBRA DI TROWULAN, MOJOKERTO, JAWA TIMUR
 Di Jawa, nama ulama ini kalah tenar dibandingkan Wali Songo. Namun tanpa dia, tidak mungkin ada Wali Songo. Dialah Sayyid Hussein Jumadil Kubro. Seluruh Wali Songo adalah anak cucunya. Yuk, ziarahi makamnya di Mojokerto!

Trowulan di Mojokerto tak hanya terkenal dengan peninggalan Kerajaan Majapahit. Di sini ada sebuah kompleks makam Islam kuno sejak abad ke-14 masehi, dimana terdapat makam Syekh Jamaluddin Al Husain Al Akbar alias Sayyid Hussein Jumadil Kubro atau yang biasa disebut Syekh Jumadil Kubro. Dia dipercaya sebagai nenek moyang Wali Songo.


Kompleks makam Islam kuno itu terletak di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan. Tepatnya sekitar 500 meter ke arah selatan dari Pendopo Agung Trowulan, serta sekitar 1 Km dari Museum Majapahit dan Kolam Segaran. Kompleks makam Troloyo kini tak lagi menunjukkan kesan kunonya setelah dipugar.
 
Ketika POLICEWATCH berkunjung ke sana, sebuah gapura bergaya Islam menyambut kedatangan peziarah di pintu masuk kompleks makam menuju lorong panjang. Makam Syekh Jumadil Kubro terletak di sisi kanan lorong masuk. Sebuah bangunan pendopo yang adem dan cukup megah menaungi makam ulama besar ini yang dibalut kelambu putih. Terlihat beberapa wisatawan peziarah berdoa di depan makam tersebut.

Salah seorang penjaga Makam Troloyo Muhammad Agus Santoso (37) mengatakan, makam Syekh Jumadil Kubro mulai ramai dikunjungi peziarah sejak tahun 2004 silam. Kala itu, mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur meresmikan Syekh Jumadil Kubro sebagai salah satu wali sekaligus nenek moyang dari para Wali Songo.
 
"Beliau ini datang ke Majapahit untuk menyebarkan agama Islam. Kala itu beliau dibantu Tumenggung Satim yang lebih dulu masuk Islam, sekitar abad ke 14 masehi," 


detikTravel pun mencoba menelusuri berbagai referensi sejarah. Antara lain Babad Tanah Cirebon yang dikeluarkan Keraton Kasepuhan Cirebon sampai dengan publikasi riset dari Martin Van Bruinessen, peneliti sejarah Islam Indonesia dari Universitas Utrecht, Belanda.

Banyak catatan sejarah menyebutkan Syekh Jumadil Kubro berasal dari Samarqand, Uzbekistan, Asia Tengah. Namun, Samarqand diduga hanya tempat yang pernah didakwahi Syekh Jumadil Kubro, bukan tempat asal. Riwayat hidup Syekh Jumadil Kubro alias Jamaluddin Hussein Al Akbar alias Sayyid Hussein Jumadil Kubro menurut Bruinessen memiliki akar di Hadramaut, Yaman.

Bruinessen sudah meneliti di Makam Troloyo, membandingkan dengan tulisan Gubernur Jenderal Inggris Thomas Standford Raffles 'History of Java' dan Sayyid Alwi bin Tahir bin Abdallah Al Haddar Al Haddad tentang 'Sejarah Islam di Timur Jauh'. Sejarahnya sebagai berikut:

Jamaluddin Hussein Al Akbar lahir sekitar tahun 1270 sebagai putera Ahmad Syah Jalaluddin, bangsawan dari Nasrabad di India. Kakek buyutnya adalah Muhammad Shohib Mirbath dari Hadramaut yang bergaris keturunan ke Imam Jafar Shodiq, keturunan generasi keenam dari Nabi Muhammad SAW. Setelah resign dari jabatannya sebagai Gubernur Deccan di India, Jumadil Kubro traveling ke berbagai belahan dunia untuk menyebarkan agama Islam.

Sejumlah literatur lain menyebut Sayyid Hussein Jumadil Kubro traveling sampai ke Maghribi di Maroko, Samarqand di Uzbekistan lalu sampai ke Kelantan di Malaysia, Jawa pada era Majapahit dan akhirnya sampai ke Gowa di Sulawesi Selatan. Dia wafat dan dimakamkan di Trowulan sekitar tahun 1376 masehi. Namun Bruinessen mengatakan ada kemungkinan makam yang asli malah di Wajo, Sulawesi Selatan karena terakhir dia berdakwah di Gowa.

Sayyid Hussein Jumadil Kubro tanpa disadari banyak orang Indonesia adalah perintis Wali Songo, karena 9 wali yang utama adalah keturunannya. Versi sejarahnya beraneka macam, tapi salah satunya menyebutkan semasa di Maroko, Sayyid Hussein Jumadil Kubro menikah dengan anak penguasa setempat dan lahirnya Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Malik Maghribi yang menjadi Sunan Gresik.

Ketika di Samarqand, dia menikah dengan putri bangsawan Uzbekistan dan lahirlah Ibrahim Zainuddin Al Akbar As Samarqandiy alias Ibrahim Asmoro. Ibrahim Asmoro dibawa berdakwah ke Indo China kemudian menikah dengan puteri dari Champa dan lahirlah cucu Jumadil Kubro yaitu Sunan Ampel, yang menjadi ayah dari Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Cucu satu lagi dari puteri Champa adalah Maulana Ishaq yang menjadi ayah dari Sunan Giri dan kakek dari Sunan Kudus.

Ketika berada di Kelantan, Jumadil Kubro menikah juga dengan puteri Raja Chermin. Cicitnya adalah Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati. Sementara Sunan Muria dan ayahnya Sunan Kalijaga merupakan family jauh, keturunan dari adik Jumadil Kubro yang diajaknya traveling keliling dunia untuk berdagang dan berdakwah. Keturunan Jumadil Kubro yang tidak berdakwah, menjadi raja-raja kesultanan di Asia Tenggara dari Patani, Malaysia, Indonesia sampai Mindanao.

Wow! Dengan sejarah sepenting itu, tidak salah jika Presiden Gus Dur meresmikan makamnya sebagai situs bersejarah terhadap tokoh yang sejatinya adalah pionir penyebaran agama Islam sebelum adanya Wali Songo. Sampai saat ini, makam Syekh Jumadil Kubro tak pernah sepi dari wisatawan.
 
"Berziarah ke makam ini untuk mengingat Allah bahwa kita juga akan mati," kata Romlah (50), peziarah asal Sidoarjo yang datang dengan keluarganya.

Hanya saja, pada bulan Ramadan seperti ini, pengunjung cenderung berkurang. Peziarah akan membludak saat malam Jumat Legi (hari penanggalan Jawa), serta mulai hari ke 20 hingga 28 bulan Ramadan yang dipercaya sebagai waktu turunnya Lailatul Qadar. Selain itu, volume peziarah meningkat drastis pada bulan Maulud, Syura, dan Rajab.
 
Keberadaan makam Syekh Jumadil Kubro tak hanya dipercaya memberikan berkah bagi para peziarah. Hilir mudik peziarah yang seakan tak pernah sepi memberikan berkah bagi warga di sekitar kompleks makam. Berbagai usaha yang menghasilkan uang mereka tekuni. Mulai dari menyediakan jasa penitipan sepeda motor, menjual makanan dan minuman, hingga menjual berbagai suvenir yang menjadi oleh-oleh bagi keluarga peziarah di rumah***





Komentar Anda

Berita Terkini