Red, POLICEWATCH,- Pencopotan baliho Habib M. Rizieq Shihab oleh TNI, di
DKI Jakarta, dikomentari Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI), Anton Tabah Digdoyo, Anton menjelaskan, semua kebijakan yang terkait dengan lembaga pemerintahan
harus melalui keputusan politik. Dalam arti, harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
"Semua harus taati UU (undang-undang), Tanpa kecuali,
apalagi termasuk TNI, Polri, ASN dan lain-lain. Dalam UU 34/ 2004 tentang TNI
juga di Undang-Undang Dasar 1945 dan konvensi dunia, gerak tentara diatur
rinci," ujar Anton saat dihubungi Redaksi, Sabtu (21/11).
"Sekecil apa pun pelibatan TNI terhadap otoritas sipil harus dengan
keputusan politik," sambungnya.
Anton berpendapat perintah Panglima Kodam (Pangdam) Jaya, Mayjen TNI Dudung
Abdurachman, kepada jajarannya untuk menurunkan baliho HRS tidak memiliki
alasan yang cukup sebagaimana diatur dalam UU 23/1959 tentang Keadaan Bahaya.
"Negara bisa dalam tiga keadaan. Pertama normal, kedua darurat sipil,
ketiga darurat militer atau perang. Dalam keadaan normal dan darurat sipil
penguasanya tetap pengguasa sipil, Baru dalam keadaan darurat militer atau
perang penguasa di daerah tersebut adalah TNI," jelas Anton.
Dari penjelasannya tersebut, Anton juga menyebutkan keterlibatan TNI bisa dilakukan
tanpa keputusan politik jika ada kondisi bencana. Namun, dalam hal kaitannya
dengan pencopotan baliho HRS, dia tidak melihat adanya kedaruratan.
"Sekarang ini, negara normal,Darurat sipil pun tidak, apalagi darurat militer? Kok tiba-tiba ada tentara masuk ke otoritas sipil tanpa keputusan politik?," tegasnya.
Lebih lanjut, Anton menilai wajar jika ada kebingungan di tengah masyarakat
terkait pelibatan TNI dalam penurunan baliho HRS. Sementara, tugas penerunan
Baliho ada diperanan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
"Apalagi memvonis seseoraang jadi ancaman negara itu bukan wenang pejabat
tapi wenang tupoksi pengadilan. Apalagi cuma masalah pajak baliho itu wewenang
otoritas sipil Pemda setempat," ungkapnya.
Oleh karena itu, Anton menegaskan terkait pelibatan TNI diranah sipil minimal
harus melalui keputusan bersama tiga lembaga negara. Yaitu, DPR, Presiden dan
Menteri Pertahanan selaku otoritas yang menaungi.
Selain itu, keputusan politik tersebut, menurut Anton, juga harus jelas dengan
masalahnya dan berapa lama masa berlaku keterlibatan TNI di ranah sipil
tersebut, alias tidak boleh permanen.
"Maksimal satu tahun (keterlibatan TNI diranah sipil dalam keputusan
politik). Jika masih diperlukan bisa diperpanjang satu tahun lagi, namun dengan
sidang lagi oleh tiga lembaga tersebut. Jadi tak ada aktor tunggal yang bisa
dan boleh gunakan tentara," tutur Anton.
"Presiden pun tak boleh gunakan tentara tanpa keputusan politik tadi.
Maka, terjawab lah rumor presiden akan gunakan pasukan khusus untuk atasi
keadaan. Itu tidak boleh oleh UU. Apalagi nentukan keadaan tertentu juga harus
dengan keputusan politik," tandasnya.
Adapun, Anton juga mengingatkan terkait satu prinsip penting. Yaitu, bangsa dan
negara akan maju jika pejabatnya jadi tauladan dan taat aturan. Sebaliknya,
bangsa dan negara akan hancur jika pejabatnya tidak jadi contoh ketaatan pada
aturan***
Pewarata: M Rodhi irfanto