Sejarah Gunung Tidar dan Nuansa Mistis Yang Menyelimuti

/ 9 Mei 2018 / 5/09/2018 11:59:00 AM

 
Gunung Tidar Magelang
Di Magelang terdapat sebuah bukit yang berada di tengah-tengah kota. Bukit itu sangat terkenal karena menjadi salah satu tempaan para taruna AKABRI. Bahkan bukit itu menjadi salah satu ciri khas kota itu, namanya bukit Tidar atau yang lebih di kenal sebagai Gunung Tidar. 

Team Media POLICEWATCH mencoba menguak tabir misteri sejarah  Gunung Tidar mengumpulkan dan mencari tau sejarah tersebut dari berbagai sumber.kamipun menginap di puncak gunung Tidar semalaman untuk  Memastikan besarnya Mistis yang ada. Kamis 26-04-18

Team Media Police Watch
 Konon Gunung Tidar merupakan pusat atau titik tengah Pulau Jawa
Syahdan, dahulu kala tanah Jawa ini masih berupa hutan belantara yang tidak seorangpun berani tinggal di sana. Sebagian besar wilayah Jawa ini dahulu masih dikuasai berbagai makhluk halus. Konon Tanah Jawa yang dikelilingi laut ini bak perahu yang mudah oleng oleh ombak laut yang besar. Maka melihat itu para dewata segera mencari cara untuk mengatasinya. Maka berkumpullah para dewa untuk membahas persoalan Tanah Jawa yang tidak pernah tenang oleh hantaman ombak itu. Diutuslah sejumlah dewa untuk tugas menenangkan pulau ini. Mereka membawa sejumlah bala tentara menuju Pulau Jawa sebelah barat. Namun, tiba-tiba Pulau Jawa kembali oleng dan berat sebelah karena para dewa dan bala tentara hanya menempati wilayah barat. Agar seimbang, sebagian dikirim ke timur. Namun usaha ini tetap gagal.

Melihat kenyataan itu maka para dewa sibuk mencari jalan pemecahan. Setelah beberapa waktu berembug, maka didapatkanlah sebuah ide cemerlang. Mau tak mau para dewa harus menciptakan sebuah paku raksasa, dan paku itu akan di tancapkan di pusat Tanah Jawa, yaitu titik tengah yang dapat menjadikan Pulau Jawa seimbang. Dan paku raksasa yang di tancapkan itu konon di percaya sebagaian masyarakat sebagai Gunung Tidar. Dan setelah paku raksasa itu ditancapkan, Pulau Jawa menjadi tenang dari hantaman ombak. Menurut kepercayaan sebagian masyarakat Gunung Tidar pada mulanya hanya di tinggali oleh para jin dan setan yang konon di pimpin oleh salah satu jin bernama Kiai Semar.
 
Petilasan Eyang ismoyo Jati/Semar
Alkisah, datanglah seorang manusia yang terkenal berani yaitu Syekh Subakhir......
Sesampai kembali di Tidar, berpasang-pasang manusia yang telah diajak serta oleh Syekh Bakir tinggal lebih dulu di daerah sebelah timur Gunung Tidar yang sekarang dikenal sebagai desa Trunan. Konon desa itu berasal dari makna "turunan", ada yang mengatakan arti dari turunan itu adalah keturunan, tetapi ada yang menganggapnya sebagai daerah pertama kali sahabat-sahabat Syekh Bakir di turunkan dan tinggal di tempat itu untuk sementara waktu. Setelah itu Syekh Bakir berangkat sendiri ke puncak Gunung Tidar untuk bersemedi. Tombak pusaka sakti Syekh Bakir ditancapkan tepat di puncak Tidar sebagai penolak bala.

Tombak Pusaka Syekh Subakhir(Kyai  Sepanjang)
Dan benar, tombak sakti itu menciptakan hawa panas yang bukan main bagi Kiai Semar dan wadyabalanya. Merekapun lari tunggang-langgang meninggalkan Gunung Tidar. Kiai Semar dan sebagian tentaranya melarikan diri ke timur dan konon hingga sekarang menempati daerah Gunung Merapi yang masih di percaya sebagian masyarakat sebagai wilayah yang angker. Bahkan sebagian lagi anak buah Kiai Semar  ada yang melarikan diri ke alas Roban, bahkan ke Gunung Srandil. Tombak itu sekarang masih dijaga oleh masyarakat dan dimakamkan di puncak Gunung Tidar dengan nama makam Tombak Kiai Panjang. Dengan adanya tombak sakti itu, maka amanlah Gunung Tidar dari kekuasaan para jin dan mahluk halus. Syekh Bakirpun akhirnya memboyong sahabat-sahabatnya untuk membuka tempat tinggal baru Di Gunung Tidar dan sekitarnya.
Makam Syekh Subakhir


Versi lainnya tentang Syekh Subakir adalah pada waktu Sultan Muhamad 1 memerintah kerajaan Turki, beliau menanyakan perkembangan agama islam kepada para pedagang dari Gujarat (India). Dari mereka Sultan mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada Dua kerajaan Hindu yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan.
Sang Sultan kemudian mengirim surat kepada para pembesar islam di Afrika Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk dikirik ke Pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta mempunyai karomah.

Pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Diantara para ulama yang berilmu tinggi itu ada yang bernama Syekh Subakhir, ia dikenal sebagai pakar rukyah (penakluk  dan pengusir jin yang yang menganggu manusia). Sumber cerita ini menyebutkan bahwa Pulau Jawa pada waktu itu sangat angker. Pulau Jawa dihuni oleh bangsa mahluk halus berupa dedemit, jin-jin, periprayangan, bekasaan, kemangmang, banaspati, genderuwo, jangkitan, kuntilanak dan masih banyak lagi sejenisnya. Dan telah diceritakan pula, bahwa sang Sultan Rum (teks asli ngerum) sekarang Turki, telah mengetahuinya dan mendapat bisikan (ilham) dari Tuhan, mendapat perintah untuk mengisi pulau itu dengan manusia. Setelah itu sang Sultan memanggil Patihnya, maka datanglah Sang Mahapatih di hadapannya, baginda Sultan berkata"Hai Patih ...! Aku akan bertanya padamu yang sesungguhnya. Apakah benar berita tentang Pulau Jawa itu, apa kamu sudah tahu?"Katanya masi sepi dan belum ada manusianya, pulau itu masih hutan belantara?" "Benar sekali tuanku, sungguh belum ada manusianya, beritanya para nakoda yang sering mengarungi samudera berlayar ke sumbawa melewati Pulau Jawa itu tuanku, pulau itu membujur dari barat ke timur terletak di sebelah baratnya pulau Bali dan banyak terdapat Gunung. menurut "jawab Sang Patih. Baginda Sultan berkata dengan pelan: ''Hai Patih! Kamu bawalag dua leksa orang kepala keluarga, cepat tempatkan di tanah Jawa agar mereka bertani dan perbekali dengan alat-alat pertanian!".

Demikianlah sang Mahapatih segera mencari orang-orang pilihan dan bergegas mempersiapkan perlengkapannya. Setelah membayar ongkos pelayaran dan telah siaga, dengan mengendarai perahu lantas berangkatlah sang patih bersama 40.000 orang dengan cepat. Rum atau Turki adalah wilayah Eropa bagian timur, tak terkirakan berapa jauh perjalanan yang di tempuh menuju Pulau Jawa. Berbagai hambatan dan rintangan mereka lalui hingga akhirnya sampai di Pulau Jawa. 40.000 orang yang terdiri dari 20.000 pasangan suami istri itu di tempatkan di Pulau Jawa. Sementara Sang Mahapatih kembali pulang ke negeri Rum. Namun apa yang terjadi? 40.000 orang itu ternyata banyak yang mati, konon karena di teluh atau dimakan oleh segala lembut atau makhluk halus. yang tersisa hanya 40 orang. Mereka akhirnya meninggalkan Pulau Jawa, berlayar kembali ke negeri Rum. Setelah sampai di negeri Rum, mereka di hadapkan kepada Baginda Sultan. Dan melaporkan sendiri kejadian yang menimpa rekan-rekannya "Kami banyak yang mati dimakan dedemit, jin dan bangsa sejenisnya". Sang Sultan kemudian memanggil seorang ulama besar yang dikenal sebagai ahli rukyah dan ahli ekologi lingkungan, namanya Syekh Subakhir yang memiliki gelar Syekh Maulana. Ulama ini sangat di segani dan di hormati oleh rakyat, bahkan Baginda Sultan sendiri menaruh hormat kepadanya. Setelah Syekh Subakhir datang menghadap maka berkatalah sang Baginda Sultan, "Wahai Tuan Syekh Maulana...saya sudah memberi tugas kepada Patih tapi telah gagal. Sekarang Tuanlah yang saya tunjuk, pergilah ke Pulau Jawa yang terkenal angker itu. Pasanglah tumbal, tempatkan di gunung yang terletak di tengah-tengah Pulau Jawa supaya bangsa halus yang memakan manusia itu pergi. Dan bawalah orang Keling agar mereka menetap tinggal di Pulau Jawa. Jangan lupa lengkapi mereka dengan persenjataan".

Sang Mahapatih mendapat titah untuk mempersiapkan segala keperluan perjalanan Syekh Subakhir ke Pulau Jawa. Dalam pelayaran itu, Syekh Subakhir singgah di tanah Hindustan (India). Di sana ia mengambil 20.000 orang Keling, lalu meneruskan perjalanan ke Pulau Jawa. Rombongan Syekh Subakhir datang ke Pulau Jawa, sebagai orang yang waskita ia tahu bahwa pusat segala bangsa lelembut adalah di gunung Tidar, maka ia langsung menuju ke gunung paling angker itu. Dengan membawa batu hitam yang sudah di rukyah ia mengelilingi gunung itu. Batu di pasang merata disegala penjuru, kegiatan ini oleh orang Jawa dinamakan memberi tumbal atau menumbal tanah. Pengaruh kekuatan tumbal itu demikian dahsyat, dalam tempo yang tidak begitu lama terjadilah keributan besar, situasi alam berubah total, cuaca yang tadinya cerah, berubah menjadi gelap, angin yang tadinya berhembus pelan dan sejuk berubah menjadi kencang, gemlegar suara halilintar, hujan api, gemuruh suara gunung dahsyat sekali, api bertebaran ke mana-mana.

Sekitar tiga hari tiga malam peristiwa dahsyat yang menggemparkan itu berlangsung. Bangsa lelembut setan-setan dan siluman lari menyelamatkan diri karena kepanasan oleh daya ghaib rukyah Syekh Subakhir. Banaspati hanyut mengikuti arus air, ilulu jangkitan lari tunggang-langgang. Jin, periprayangan, mengungsi di lautan, bekasan, kemang-mang, banaspati, genderuwo, jangkitan, kuntilanak hanyut semua hanyut dalam air karena tak kuat menahan panas. Setelah peristiwa menggemparkan itu alam menjadi tenang kembali sunyi senyap, pengap dan gelap gulita meliputi cuaca langit Pulau Jawa, cahaya matahari tak tembus seakan matahari berhenti bersinar.

Alkisah ada dua dahyang di Tanah Jawa, keduanya sesepuhnya jaman di Tanah Jawa, yang mengemban pula Jawa, Sang Hyang Semar sebutannya, dan satunya lagi Sang Hyang Tagog. Dahnyang itu berkedudukan di gunung, kaki gunung sebagai padepokannya. Dan telah lama sekali tingal disitu. Demikian itu yang telah di sebutkan, entah kemana sang Tagog waktu kejadian itu, hingga Sang Semar berkata: "Kakang Tagog di mana engkau? Telah terjadi keributan, kejadian hujan api menghujani bumi menjadikan penghuninya porak-poranda dan menjadikan berkurang dan terpisah-pisah. Bumi bergelimpangan mayat tersambar petir, kilat menyambuk angkasa dan membakar bumi dengan jilatannya, suara guntur menggelegar di angkasa, gemuruh suara gunung yang bergetar!" Entah dari mana datangnya suara tiba-tiba sang Tagog menjawab: "aku disini, aku tak tahu penyebabnya, bukankah kamu lebih tahu?!" Sang Semar memberikan kabar padanya : "jika engkau tidak tahu, yaitu ada utusan dari Rum datang ke tanah Jawa membuat rusaknya demit, tumbalnya di pasang merata di gunung, mari kita kesana menjumpai sang resi utusan itu! Dia di perintah Sang Sultan untuk menenung semua demit, aku akan menuntut pada pendeta Rum itu, tentang banyak Bekasaan yang hanyut serta hiruk-pikuk buyarnya semua lelembut".

Sang Hyang Tagog mencegahnya;"Hai adik jangan dijumpai!" Ternyata keduanya berangkat juga untuk menemui sang resi dari Rum itu, diperjalanan tidak di ceritakan, setelah sampai di hadapan Syekh Subakhir yang berada di gunung Tidar, dia berkata "Tuan Subakir, sebagai pendeta kenapa tuan datang kesini membuat kerusakan?" Syekh Subakir dengan perlahan berkata: "Kisanak......kau ini siapa? keluar dari mana Kisanak berdua? baru kali ini aku melihatmu? lantas apa yang kisanak inginkan sampai datang kepadaku?" . Sang Hyang Semar perlahan juga menjawab: "ya saya ini orang Jawa, saya ingin bertemu tuan". Syekh Subakhir berkata: "Beritanya Tanah Jawa tempat yang belum ada manusianya, tempat yang masih hutan belantara". Sang Semar langsung menyangkalnya: "Nyatanya saya orang Jawa, saya ada sebelum tuan datang, kami menduduki dan menetap di puncak-puncak gunung sudah mencapai 9000 tahun dan kami berada di gunung Tidar selama 1.001 tahun". Sang pendeta heran mendengarnya, "Hai kamu ini bangsa apa? apakah kamu ini sungguh-sungguh manusia? umurmu panjangnya bukaan main, sedangkan saya belum pernah tahu orang yang umurnya mencapai 1000 tahun. umurmu lebih panjang dari Nabi Adam AS, hai kisanak! mengakulah! berterus teranglah padaku, rupanya kamu bukan manusia hingga umurmu melebihi umur Nabi Adam, umurmu sangat panjang, jika kamu manusia tak ada manusia yang umurnya mencapai 1000 tahun.

Sang Semar berkata: "Sesungguhnya saya ini bukan manusia, sayalah Dahnyang Tanah Jawa yang paling tua, putranya Dewi-dewi, yang di sebut Manik Maya ya saya ini, sang Hyang Syist ya saya ini, Dahnyang Teritoti ya saya ini, Rekannya ya saya, Sang Hyang Ening itu namaku, sedangkan Jaya Kusuma itu Rajaku, serta Ki Joko Pendek Angtek-angtek Kucing Gati ya sayalah yang di sebut Sang Hyang Semar. Saya kesini sudah lama sekali dari ibu Hawa melahirkan benihnya dan di ambil (diadopsi) serta di rawat oleh sang Idajil, benih itu tak berbentuk dan di cipta dibentuknya sedemikian rupa dan dicampur dengan maninya, maka jadilah hamba ini. Jika tuan belum tahu, ya ini wujudnya badan hamba, seluruh dahnyang semua keturunan hamba, maka dahnyang itu ada di seberang Tanah Jawa, jin prahyangan dan peri serta kebanyakan lelembut ya turun saya, semua menguasai tempat-tempat yang winggit (angker), Ilulu Jangkitan buyut saya, sedangkan Ki Rogo titisannya burung Senhari.

Hamba bersama dengan saudara tua hamba bertempat di Tanah Jawa, maka hamba kesini untuk bertemu dengan paduka tuan ingin tanya yang sesungguhnya, mengapa tuan sebagai sang pendeta membuat kerusakan semua anak cucu hamba? mereka semua hanyut di sungai sampai kelautan, terkapar kena tenung, ternyata kamu yang membunuhnya! sisanya kebanyakan para lelembut mengungsi ke lautan". Sang pendeta perlahan berkata: "Hai kisanak aku ini di utus kanjeng sultan Rum Rajaku, maka aku disuruh mengisi manusia di pulau Jawa, supaya berladang, bersawah membuka hutan belantara, yang ku tempatkan ini orang dari negeri Rum banyaknya 2000 orang berkeluarga, itu sudah kehendak Tuhan, tidak bisa jika menghalanginya". Sang Hyang Semar perlahan berkata: "Sukurlah jika itu kehendak Sultan dari Rum, sri Raja sendiri yang menyatakan mengisi manusia di Tanah Jawa, menyuruh membuka hutan, karena baginda sendiri juga turun saya, semua itu terjadi pada Taqdir Tanah Jawa. "
Selanjutnya Syekh Subakir membeberkan ramalan tentang kejadian di masa yang akan datang mengenai Raja-raja penguasa Tanah Jawa hingga nanti saat tengelamnya Pulau Jawa. Mengapa Pulau Jawa tenggelam? Konon hal ini untuk menyelamatkan ummat Islam di Pulau Jawa, karena Dajjal nantinya mampu menghidupkan orang mati dan menjadikan orang tersebut kafir. Jika Pulau Jawa di tenggelamkan sang Dajjal yang hanya punya mata sebelah itu tidak akan mampu melihat penghuni Pulau Jawa, karena Pulau Jawa sudah rata dengan lautan. Mengenai ramalan Raja-raja Pulau Jawa dan situasi penduduk Pulau Jawa yang di sampaikan Syekh Subakir Hampir sama dengan Ramalan Jayabaya yang sesungguhnya di tulis oleh Sunan Giri.
Kisah Perjanjian antara Sabdopalon dengan Syeh Subakir
Konon ada semacam perjanjian antara Sabdopalon sebagai Pamomong (Danyang Gaib) Tanah Jawa dengan Syeh Subakir sebagai penyebar Agama Islam generasi awal di Jawa ini. Tersebutlah kisah tersebut dalam tulisan lontar kuno. Lontar tersebut diperkirakan ditulis oleh Kanjeng Sunan Drajad atau setidak – tidaknya oleh murid atau pengikut beliau.
Cerita tentang kisah ini pernah dipentaskan sebagai lakon wayang kulit bergenre wayang songsong (wayang kulit yang berisi cerita hikayat dan legenda Jawa) yang digelar di Desa Drajad, Paciran, Lamongan ( sebuah desa tempat situs Sunan Drajad ).
Kisah diawali dengan adanya persidangan di Istana Kesultanan Turki Utsmania di Istambul yang dipimpin langsung oleh Sultan Muhammad I. Persidangan kali ini membahas mimpi Sang Sultan. Menurut Sultan Muhammad, beliu bermimpi mendapat perintah untuk menyebarkan dakwah islamiah ke Tanah Jawa. Adapun mubalighnya haruslah berjumlah sembilan orang. Jika ada yang pulang atau wafat maka akan digantikan oleh ulama lain asal tetap berjumlah sembilan.
Maka dikumpulkanlah beberapa ulama terkemuka dari seluruh dunia Islam waktu itu. Para ulama yang dikumpulkan tersebut mempunyai spesifikasi keahlian masing-masing. Ada yang ahli tata negara, ahli perubatan, ahli tumbal, dll. Titah dari Baginda Sultan Muhammad kepada mereka adalah perintah untuk mendatangi Tanah Jawa dengan tugas khusus yaitu penyebaran Agama Islam.
Dibawah ini adalah dialog antara Sabdopalon dengan Syeh Subakir yang terjadi di atas Gunung Tidar. Syeh Subakir adalah salah satu ulama yang diutus Sultan Muhammad untuk menyebarkan Islam di Tanah Jawa ini. Adapun keahlian Syeh Subakir adalah dalam bidang membuat danmemasang tumbal. Dialog yang penulis turunkan ini adalah dialog versi imaginer yang penulis olah dari hikayat tersebut dengan bahasa penulis sendiri.
Syeh Subakir : Kisanak, siapakah kisanak ini, tolong jelaskan.
Sabdopalon : Aku ini Sabdopalon, pamomong (penggembala) Tanah Jawa sejak jaman dahulu kala. Bahkan sejak jaman kadewatan (para dewa) akulah pamomong para kesatria leluhur. Dulu aku dikenali sebagai Sang Hyang Ismoyo Jati, lalu dikenal sebagai Ki Lurah Semar Bodronoyo dan sekarang jaman Majapahit ini namaku dikenal sebagai Sabdopalon.
Syeh Subakir : Oh, berarti Kisanak ini adalah Danyang (Penguasa) Tanah Jawa ini. Perkenalkan Kisanak, namaku adalah Syeh Subakir berasal dari Tanah Syam Persia.
Sabdopalon : Ada hajad apa gerangan Jengandiko (Anda) rawuh (datang) di Tanah Jawa ini ?
Syeh Subakir : Saya diutus oleh Sultan Muhammad yang bertahta di Negeri Istambul untuk datang ke Tanah Jawa ini. Saya tiadalah datang sendiri. Kami datang dengan beberapa kawan yang sama-sama diutus oleh Baginda Sultan.
Sabdopalon : Ceritakanlah selengkapnya Kisanak. Supaya aku tahu duduk permasalahannya.
Syeh Subakir : Baiklah. Pada suatu malam Baginda Sultan Muhammad bermimpi menerima wisik (ilham). Wisik dari Hyang Akaryo Jagad, Gusti Allah Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Luhur. Diperintahkan untuk mengutus beberapa orang ‘alim ke Tanah Jawa ini. Yang dimaksud orang ‘alim ini adalah sebangsa pendita, brahmana dan resi di Tanah Hindu. Pada bahasa kami disebut ‘Ulama.
Sabdopalon : Jadi Jengandiko ini termasuk ngulama itu tadi ?
Syeh Subakir : Ya, saya salah satu dari utusan yang dikirim Baginda Sultan. Adapun tujuan kami dikirim kemari adalah untuk menyebarkan wewarah suci (ajaran suci), amedar agama suci. Yaitu Islam.
Sabdopalon : Bukankah Kisanak tahu bahwa di Tanah Jawa ini sudah ada agama yang berkembang yaitu Hindu dan BudHa yang berasal dari Tanah Hindu ? Buat apa lagi Kisanak menambah dengan agama yang baru lagi ?
Syeh Subakir : Biarkan kawulo dasih (rakyat) yang memilih keyakinannya sendiri. Bukankah Kisanak sendiri sebagai Danyangnya Tanah Jawa lebih paham bahwa sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa ini, disinipun sudah ada kapitayan (kepercayaan) ? Kapitayan atau ‘ajaran’ asli Tanah Jawa yang berupa ajaran Budhi ?
Sabdopalon : Ya, rupanya Kisanak sudah menyelidiki kawulo Jowo disini. Memang disini sejak jaman sebelum ada agama Hindu dan Budha, sudah ada ‘kapitayan’ asli. Kapitayan adalah kepercayaan yang hidup dan berkembang pada anak cucu di Nusantara ini.
Syeh Subakir : Jika berkenan, tolong ceritakan bagaimana kapitayan yang ada di Tanah Jawa ini.
Sabdopalon : Secara ringkas Kepercayaan Jawa begini. Manusia Jawa sejak dari jaman para leluhur dahulu kala meyakini ada Sang Maha Kuasa yang bersifat ‘tan keno kinoyo ngopo’, tidak bisa digambarkan bagaimana keadaannya. Dialah pencipta segala-galanya. Bawono Agung dan Bawono Alit. Jagad besar dan jagad kecil. Alam semesta dan ‘alam manusia’. Wong Jowo meyakini bahwa Dia Yang Maha Kuasa ini dekat. Juga dekat dengan manusia. Dia juga diyakini berperilaku sangat welas asih.
Dia juga diyakini meliputi segala sesuatu yang ada. Karena itu masyarakat Jawa sangat menghormati alam sekelilingnya. Karena bagi mereka semuanya mempunyai sukma. Sukma ini adalah sebagai ‘wakil’ dari Dia Yang Maha Kuasa itu.
Jika masyarakat Jawa melakukan pemujaan kepada Sang Pencipta, mereka lambangkan dengan tempat yang suwung. Suwung itu kosong namun sejatinya bukan kosong namun berisi SANG MAHA ADA. Karena itu tempat pemujaan orang Jawa disebut Sanggar Pamujan. Di salah satu bagiannya dibuatlah sentong kosong (tempat atau kamar kosong) untuk arah pemujaan. Karena diyakini bahwa dimana ada tempat suwung disitu ada Yang Maha Berkuasa.
Syeh Subakir : Nah itulah juga yang menjadi ajaran agama yang kami bawa. Untuk memberi ageman (pegangan atau pakaian) yang menegaskan itu semua. Bahwa sejatinya dibalik semua yang maujud ini ada Sang Wujud Tunggal yang menjadi Pencipta, Pengatur dan Pengayom alam semesta. Wujud tunggal ini dalam bahasa Arab disebut Al Ahad. Dia maha dekat kepada manusia, bahkan lebih dekat Dia daripada urat leher manusianya sendiri. Ajaran agama kami menekankan budi pekerti yang agung yaitu menebarkan welas asih kepada alam gumebyar, kepada sesama sesama titah atau makhluk.
Lihatlah Sang Danyang, betapa sudah rusaknya tatanan masyarakat Majapahit sekarang. Bekas-bekas perang saudara masih membara. Rakyat kelaparan. Perampokan dan penindasan ada dimana-mana. Ini harus diperbaharui budi pekertinya.
Sabdopalon : Aku juga sedih sebenarnya memikirkan rakyatku. Tatanan sudah bubrah. Para pejabat negara sudah lupa akan dharmanya. Mereka salin sikut untuk merebutkan jabatan dan kemewahan duniawi. Para pandito juga sudah tak mampu berbuat banyak. Orang kecil salang tunjang (bersusah payah) mencari pegangan. Jaman benar-benar jaman edan.
Syeh Subakir : Karena itulah mungkin Sang Maha Jawata Agung menyuruh Sultan Muhammad Turki untuk mengutus kami ke sini. Jadi, wahai Sang Danyang Tanah Jawa, ijinkanlah kami menebarkan wewarah suci ini di wewengkon (wilayah) kekuasaanmu ini.
Sabdopalon : Baiklah jika begitu. Tapi dengan syarat -syarat yang harus kalian patuhi.
Syeh Subakir : Apa syaratnya itu wahai Sang Danyang Tanah Jawa ?
Sabdopalon : Pertama, Jangan ada pemaksaan agama, dharma atau kepercayaan. Kedua, Jika hendak membuat bangunan tempat pemujaan atau ngibadah, buatlah yang wangun (bangunan) luarnya nampak cakrak (gaya) Hindu Jawa walau isi dalamannya Islam. Ketiga, jika mendirikan kerajaan Islam maka Ratu yang pertama harus dari anak campuran. Maksud campuran adalah jika bapaknya Hindu maka ibunya Islam. Jika bapaknya Islam maka ibunya harus Hindu. Keempat, jangan jadikan Wong Jowo berubah menjadi orang Arab atau Parsi. Biarkan mereka tetap menjadi orang Jawa dengan kebudayaan Jawa walau agamanya Islam. Karena agama setahu saya adalah dharma, yaitu lelaku hidup atau budi pekerti. Hati-hati jika sampai Orang Jawa hilang Jawanya, hilang kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung maka aku akan datang lagi. Ingat itu. Lima ratus tahun lagi jika syarat – syarat ini kau abaikan aku akan muncul membuat goro-goro.
Syeh Subakir : Baiklah. Syarat pertama sampai keempat aku setujui. Namun khusus syarat keempat, betapapun aku dengan kawan-kawan akan tetap menghormati dan melestarikan budaya Jawa yang adiluhung ini. Namun jika suatu saat kelak karena perkembangan jaman dan ada perubahan maka tentu itu bukan dalam kuasaku lagi. Biarlah Gusti Kang Akaryo Jagad yang menentukannya.
Memang susah untuk mengetahui keadaan, asal usul atau gambaran kondisi sebuah masyarakat nun jauh ke masa lalu. Semakin jauh masa itu, semakin gelap gambarannya. Namun, upaya-upaya ahli sejarah dan lainnya untuk menguaknya patut dihargai. Paling tidak ada sedikit gambaran yang mungkin bisa kita lihat, meski tidak sepenuhnya benar seratus persen.
Beberapa naskah yang beredar mencoba menggambarkan hal itu. Seperti dalam Serat Jangka Syeh Subakir.
Sampun sangang ewu warsa, inggih wonten pulo ngriki, dedukuh ing hardi Tidar, saweg antuk sewu warsi, langkung taun puniki, Syech Bakir gawok angrungu, dika niku wong napa, napa ta ayekti janmi, umur dika dene ta kaliwat-liwat
Yang artinya antara lain :
“Sudah 9000 tahun, ya (saya Semar) sudah ada di pulau ini (Jawa), di pedusunan di Gunung Tidar, tapi baru 1000 tahun berjalan, di sini, Syech Subakir heran mendengarnya, engkau ini makhluk apa, apa benar manusia? Kok usianya luar biasa?”
Demikian perkenalan Semar dengan Syech Subakir. Selama ribuan tahun itu Semar bertapa di Gunung Merbabu dan tidak mengetahui keadaan manusia di Jawa. Gambaran tentang kondisi Pulau Jawa juga digambarkan dalam Serat tersebut penuh dihuni oleh demit, jin, gendruwo bekasaan dan sejenisnya. Bahkan beberapa utusan dari negeri Rum sebelum Syeh Subakir dimakan demit (Binadog demit). Dari serat ini, ditegaskan bahwa Raja Rum mendapat petunjuk untuk mengisi pulau Jawa : “jeng Sultan Rum kang winarni, angsal sasmitaning Sukma, dinawuhan angiseni, manungsa pilo Jawi,…”
Syeh subakir mengambil orang-orang Keling (?) untuk dibawa mengisi pulau Jawa, sebanyak 2 laksa (20000) keluarga. Dari serat ini, maka yang mengisi (menjadi penghuni P. Jawa) adalah dari bangsa Keling yang dibawa oleh Syeh Subakir. Padahal dalam naskah itu pula, Semar adalah manusia.
“Sang Hyang Semar lon wuwusnya, gih sumangga karsa Aji, sajatine gih kawula, lan kiraka tiyang Jawi, ing kina prapteng mangkin, kawak daplak inggih ulun, wong Jawa kuna mula, saderenga dika prapti, kula manggen Marbabu pucak haldaka”.
Namun, selama bertapa ribuan tahun itu pula pulau Jawa sudah berubah isinya, bukan manusia seperti Semar, tetapi sudah dikuasai oleh para demit.

Dalam SERAT JANGKA TANAH JAWI gambarannya tidak beda jauh dengan serat Jangak Syeh Subakir, yaitu pertemuan antara Semar dengan Syeh Subakir ketika memberi tumbal (mengusir) para dedemit yang menguasai tanah Jawa. Dalam serat ini ada dialog yang sebenarnya adalah bantahan anggapan bahwa tanah Jawa belum dihuni oleh manusia, hanya oleh bangsa jin dan demit.
Syekh Bakir lon angandika, sayrkti ing tanah Jawi, pan durung ana manungsa, pan isih rupa wanadri, Hyang Semar matur aris, kawula sajatosipun, ing kina makina, saderenging tuwan prapti, hamba kalih dhedhukuh Rebabu arga
Artinya :
Syeh Subakir berkata, sebenarnya di tanah Jawa, belum ada manusia, masih berupa hutan. Hyang Semar menjawab dengan lembut, hamba ini sebenarnya, di masa lalu, sebelum kedatangan tuan, hamba berdua (Semar dan Togog) ini penghuni Jawa yang bertempat di gunung Merbabu”.
Namun, dalam serat ini Semar sendiri menjelaskan bahwa dia bukan manusia, tetapi keturunan dewa, Sang Yang Tunggal atau Manikmaya. Agak sedikit berbeda memang dengan serat Jangka Syeh Subakir. Namun pada intinya bahwa Semar dan Togog di masa lalu adalah penghuni pulau Jawa. Apakah hanya mereka berdua? Tentu ini bisa disinkronkan dengan sumber-sumber lain misalnya Babad Demak Pesisiran yang menerangkan silsilah orang tua Syang Hyang Tunggal adalah Sang Yang Wenang, putra dari Sang Yang Wening, putra dari Sang Yang Nurasa, putra dari Sang Yang Nurcahyo atau Sayid Anwar, putra dari Nabi Sis. (dalam versi lain, Sang Yang Wening dan Wenang adalah satu pribadi). Dalam Serat Jangka Tanah Jawi, Semar adalah keturunan dari Nabi Sis (jika digabungkan Babad Demak Pesisiran, karena anak dari Sang Yang Tunggal). Namun, dalam Babad Demak Pesisiran, nama Semar tidak muncul sebagai anak Sang Yang Tunggal. Di sinilah letak gelapnya lagi, Semar di satu sisi mengaku anak Sang Yang Tunggal, namun dalam babad Demak Pesisiran, tidak masuk. Demikian pula dalam Babad Tanah Jawa, Semar dan Togog itu menjadi “penderek” Raden Palasara yang merupakan keturunan dari Sayid Anwar. Dalam babad Tanah Jawa, Palasara merupakan cikal bakal leluhur Jawa, dimana kemudian, Kurawa, Pandawa adalah bagian dari keturunannya (ini menjadi terbalik, bahwa kisah mahabarata itu mulanya dari Jawa).
Dalam serat Babad Demak Pesisiran, Nabi Ibrahim itu berbeda dengan Bathara Brhama. Nabi Ibrahim berada pada garis silsilah Sayid Anwas (saudara Sayid Anwar). Batara Brahma adalah keturunan dari Sayid Anwar.
Masa-masa gelap ini memang memunculkan banyak versi mengenai leluhur Jawa. Buku lain, yaitu SEJARAH KAWITANE WONG JAWA LAN WONG KANUNG menggambarkan : pertama jaman jamajuja (puluhan ribu- buku ini ditulis pada tahun 1931) sudah ada manusia, tetapi masih bertelanjang, seperti kera, hidupnya di gua-gua. Masih dalam masa jamajuja periode 5000 tahun (sebelumnya) manusianya sudah mengalami kemajuan, sudah memakai cawet dari dedaunan, sudah menempati di luar gua. Mereka sudah berkumpul dalam sebuah komunitas. Masyarakat ini disebut dengan masyarakat Lingga (Suku Lingga). Masa kuna (sebelum masehi), orang-orang Sampit berhijrah ke Nusa Kendheng yang kemudian disebut sebagai orang Jawa. Kata Jawa sendiri dirujukkan pada sebutan Bantheng yang “gemati” penuh perhatian terhadap anaknya. Sebab bantheng perempuan disebut Jawi, yang “gemati” kemudian disebut Jawa. Orang-orang Sampit yang mengungsi ke Jawa ini kemudian membuat pertanda awal sebagai orang Jawa, yaitu 230 tahun sebelum masehi (bukan saka). Tahun itu disebut tahun Hwuning (pengingat). Tokoh pimpinan rombongan eksodus ini namanya Khi Seng Dhang, yang kelak kemudian disebut Dhang Hyang (Danyang). Mereka berasal dari Sampit yang keturunan dari suku Hainan. Dari catatan ini, maka orang Jawa (dalam pengertian) pendatang baru yang “gemati”, mau menghormati orang Lingga adalah 230 SM. Namun penduduk Jawa asli, Suku Lingga kemudian bercampur dan kelak memenuhi Jawa.
Dengan demikian, mulainya peradaban Jawa itu 230SM, karena adanya kebudayaan Hainan yang dibawa, sementara suku Lingga yang masih tertinggal, hidup di gua, hutan dan bergantung pada alam, belum disebut sebagai orang Jawa. Ini tentu berbeda dengan versi Serat Jangka Syeh Subakir dan Serat Jangka Tanah Jawi. Jika kita lihat kedatangan Syeh Subakir di tanah Jawa dari sumber lain, sekitar tahun 1404. Jika berasumsi bahwa sebelum tahun itu tanah Jawa tak ada manusianya, maka akan muncul banyak persoalan, bagaimana dengan kerajaan Singasari, Kediri dan lainnya yang sebelumnya ada? Tentu membaca SERAT JANGKA SYEH SUBAKIR dan SERAT JANGKA TANAH JAWI ini tidak bisa seleterlek ini. Mungkin butuh analisis simbol, semiotik, hermeneutik dan lain sebagainya agar mendapat pemahaman yang lebih luas. Sebab SERAT JANGKA itu pesan besarnya adalah mengenai “prediksi” masa depan Jawa dalam periodisasi tertentu, bukan membahas asal usul bangsa Jawa.
So, masih terbuka lebar untuk penelitian yang lebih jauh dan mendalam siapa sebenarnya leluhur orang Jawa di masa lampau sekali. Tentu tidak akan ditemukan jawaban tunggal, sebab sebuah masyarakat terdiri dari berbagai unsur, keluarga dan sebagainya, maka akan dimungkinkan banyak versi.
Kembali lagi, bahwa kata Jawa itu bisa diartikan “gemati”, perhatian, menghargai, menyayangi. Jadi siapapun mereka bisa melakukan itu semua di pulau Jawa ini, akan menjadi leluhur Jawa, entah dia dari belahan dunia manapun.*Team MPW*

Komentar Anda

Berita Terkini