Salah satunya makam Syekh Maulana Maghribi di Parangtritis, Bantul. |
Oleh : M Rodhi irfanto
Red, POLICEWATCH, Kabupaten Bantul bukan hanya menghadirkan keindahan pantai dan panorama alam semata,
tetapi sarat akan nilai dan kekayaan sejarah, Banyak kisah lampau hingga kini masih terpatri apik. Salah
satunya makam Syekh Maulana Maghribi di
Parangtritis, Bantul.
Juru kunci yang juga Abdi Dalem Parangkusumo Mas Sutopo saat ditemui POLICEWATCH, Kamis (21/6/2018) menceritakan Syekh Maulana Maghribi,
konon merupakan penyebar agama Islam generasi pertama di tanah Jawa.
Ia adalah tokoh besar yang berasal dari Maroko, Afrika bagian Utara, Banyak versi terkait kisah sejarah wali Allah yang satu ini di antaranya banyaknya makam dan petilasan beliau ditanah jawa ini
"Untuk keperluan apa beliau datang ke Parangtritis? Untuk menyebarkan
agama Islam di tanah Jawa," tuturnya. Ketika sampai di Parangtritis, diceritakan dia, Syeh Maulana
Maghribi bertemu dengan Joko Dandung dan Joko Jantrung, Konon, keduanya adalah putra dari Raja terakhir Majapahit,
Brawijaya V.
Namun, ada yang menyebutkan bahwa Joko Dandung dan Joko
Jantrung hanya bersahabat, Satu perguruan, Dikemudian hari, Joko Dandung dan Joko Jantrung ini
diketahui adalah nama lain dari Syekh Bela-Belu dan Syekh Damiaking.
Makam kedua tokoh ini berada di gunung Banteng, Parangtritis, Tidak terlalu jauh dari makam Syekh Maulana Maghribi.
Dikatakan Mas Sutopo, Joko Dandung dan Joko
Jantrung saat bertemu dengan Syekh Maulana Maghribi,
kala itu masih memegang teguh agama nenek moyang. Hindu dan Budha.
Kedatangan Syekh Maulana Maghribi di
Parangtritis -yang bertujuan untuk menyebarkan agama Islam di tanah
Jawa--direstui oleh keduanya dengan sejumlah persyaratan.
- "Syarat pertama, masyarakat jangan dipaksa. Memeluk
agama harus dengan suka rela," terangnya.
Permintaan itu oleh Syekh Maulana Maghribi disanggupi, Hingga akhirnya, berkelindan waktu, Islam kini bisa
berkembang dan menyebar menjadi agama yang dianut oleh hampir mayoritas
masyarakat Parangtritis dan sekitarnya.
- Syarat selanjutnya, agama Islam jangan hanya disebarkan
bersifat lahir semata, akan tetapi juga batin.
Masyarakat Jawa, kata mas Sutopo sudah dari
zaman dahulu dikenal memiliki olah kebatinan yang tinggi
"Antara lahir dan batin ini harus seimbang. Islam ini disebarkan dengan
lahir dan batin. Jadi jika ada ustad kemudian diundang untuk menyampaikan
agama, tapi dipikiran terbersit. Ini nanti amplopnya berapa. Itu tidak
bisa," katanya, lalu terkekeh."Antara hati dan pikiran harus menyatu,"
Penurun Raja Jawa
Berdasarkan silsilah garis keturunan yang tertera di kompleks makam, Syekh Maulana Maghribi diketahui merupakan putra dari Nyai
Tabirah, keturunan dari Syeh Majidil Qubro.
Ia menikah dengan Dewi Rosowulan yang tidak lain merupakan
saudara kandung dari Sunan Kalijaga (Raden Sahid), putra dari RT Wilatikta, Pernikahan tersebut dikaruniai anak bernama Joko Tarub II.
Joko Tarub II menikah dengan Dewi Nawangwulan yang kemudian
dikaruniai putri bernama, Dewi Nawangsih, Dewi Nawangsih ini kemudian menikah dengan R. Bondan
Gejawan.
Ia adalah putra dari Prabu Brawijaya V.
Pernikahan keduanya melahirkan trah Ki Ageng Getas Pendawa, Ki Ageng Selo, Ki
Ageng Nis, lalu Ki Gede Pemanahan., Ki Gede Pemanahan memiliki putra bernama Danang Sutawijaya.
Kelak, dikemudian hari Ia lebih dikenal dengan gelar
Panembahan Senopati.
Pendiri Kesultanan Mataram dan juga dikenal sebagai sosok peletak dasar
kesultanan.
Bertahta tahun 1587 - 1601.
Penembahan Senopati kemudian digantikan oleh Kanjeng Susuhunan
Hadi Prabu Hanyakrawati.
Bertahta tahun 1601 - 1613.
Kemudian berlanjut ke Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Naik tahta 1613 - 1645.
Di bawah kepemimpinan Sultan Agung, Mataram berkembang
menjadi kerajaan besar di tanah Jawa dan Nusantara kala itu.
Dari silsilah tersebut. .."Syeh Maulana Maghribi bisa dikatakan sebagai
penurun raja-raja di tanah Jawa,"
Ramai Dikunjungi Peziarah
Makam syekh Maulana Maghribi berada di atas sebuah bukti di
Parangtritis, Untuk berkunjung kesana, peziarah harus naik jalan kaki
melewati ratusan anak tangga. Makamnya berada dipuncak, Di komplek area makam terdapat pendopo.
Ada pula deretan bangunan yang biasa digunakan bagi para
peziarah untuk menginap, Juru Kunci, Mas Sutopo menceritakan, makam Syekh Maulana Maghribi di
Parangtritis ramai dikunjungi oleh peziarah dari berbagai daerah, Utamanya ketika malam selasa dan Jumat Kliwon.
Terlebih, saat kalender Jawa, bulan ruwah. Menurutnya tidak
pernah sepi peziarah.
"Biasanya datang rombongan. Dari Jawa timur, Surabaya,
Semarang, Kendal, Tegal. Sampai Jawa Barat. Kalau bulan ruwah pendopo sampai
tidak muat,"
Cerita versi lain
Siapa sebenarnya Syekh Maulana Maghribi itu? Berdasarkan
salah satu cerita atau babad sejarah
Kerajaan Demak, Syekh Maulana Maghribi adalah seorang pemeluk agama Islam dari
Jazirah Arab.
Beliau adalah penyebar agama Islam yang memiliki ilmu sangat tinggi.
Sebelum
sampai di Demak, beliau terlebih dahulu mengunjungi tanah Pasai (Sumatera). Sebuah riwayat juga
mengatakan bahwa Maulana Maghribi masih keturunan Nabi Muhammad SAW dan masuk golongan waliullah
di tanah Jawa.
Syekh Maulana Maghribi mendarat di Jawa bersamaan dengan berdirinya Kerajaan
Demak. Beliau datang dengan tujuan untuk mengIslamkan orang Jawa.
Runtuhnya Kerajaan
Majapahit (tonggak terakhir kerajaan Hindu di Jawa) diganti dengan berdirinya Kerajaan Demak yang
didukung oleh para wali (orang takwa).
Sesudah pelaksanaan pemerintahan di Demak berjalan baik dan rakyat mulai
tenteram, para wali
membagi tugas dan wilayah penyebaran agama Islam.
Tugas pertama Syekh Maulana
Magribi di daerah Blambangan, Jawa Timur. Beberapa saat setelah menetap di sana, Syekh
Maulana Maghribi menikah dengan putri Adipati Blambangan. Namun pernikahan baru berjalan
beberapa bulan, beliau diusir oleh Adipati Blambangan karena terbukanya kedok bahwa Syekh Maulana
ingin menyiarkan agama Islam.
Setelah meninggalkan Blambangan, Syekh Maulana Maghribi kemudian menuju Tuban.
Di Kota tersebut, Syekh Maulana Maghribi ke tempat sahabatnya yang sama-sama dari
Pasai, satu saudara dengan Sunan Bejagung dan Syekh Siti Jenar. Dari kota Tuban, Syekh Maulana
Maghribi kemudian melanjutkan pengembaraan syiar agamanya ke Mancingan. Ketika menyebarkan Islam
di Mancingan, Syekh Maulana sebenarnya sudah memiliki putra lelaki bernama Jaka Tarub (atau
Kidang Telangkas) dari istri bernama Rasa Wulan, adik dari Sunan Kalijaga (R Sahid). Tatkala
ditinggal pergi ayahnya, Jaka Tarub masih bayi.
Saat meninggalkan Blambangan, sesungguhnya istri Syekh Maulana Maghribi juga
tengah mengandung seorang putra yang kemudian bernama Jaka Samudra. Belakangan hari
Jaka Samudra juga menjadi waliullah di Giri, yang bergelar Prabu Satmata atau Sunan Giri.
Sebelum Syekh Maulana Magribi sampai Mancingan, di sana sudah menetap seorang
pendeta Budha
yang pandai bernama Kyai Selaening.
Kediaman pendeta tersebut di sebelah timur
Parangwedang. Tempat pemujaan pendeta dan para muridnya di candi yang berdiri di atas Gunung
Sentana. Mula- mula Syekh Maulana menyamar sebagai murid Kyai Selaening.
Dalam kehidupan
keseharian, Syekh Maulana kadang-kadang memperlihatkan kelebihannya pada masyarakat setempat.
Lama kelamaan Kyai Selaening mendengar kelebihan yang dimiliki Syekh Maulana Maghribi.
Akhirnya Kiai Selaening memanggil Syekh Maulana Maghribi dan ditanya siapa sebenarnya dirinya.
Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Syekh Maulana Maghribi untuk menyampaikan
kepada Kyai Selaening tentang ilmu agama yang sebenarnya. Kedua orang tersebut kemudian
saling berdebat
ilmu. Akan tetapi karena Kyai Selaening tidak mampu menandingi ilmu Syekh
Maulana, sejak saat itu Kiai Selaening ganti berguru kepada Syekh Maulana. Kiai Selaening kemudian
masuk agama Islam.
Pada waktu itu, di padepokan Kyai Selaening sudah ada dua orang putra pelarian
dari Kerajaan Majapait yang berlindung di sana yaitu Raden Dhandhun dan Raden Dhandher.
Keduanya anak dari Prabu Brawijaya V dari Majapait. Karena Kyai Selaening masuk Islam, dua putra
Raja Majapait itu juga kemudian menjadi Islam. Kedua orang itu kemudian berganti nama menjadi
Syekh Bela-Belu dan Kyai Gagang (Dami) Aking.
Meski berhasil mengislamkan Kiai Saleaning dan para muridnya, Syekh Maulana
tidak segera meninggal Mancingan. Di sana beliau tinggal selama beberapa tahun, membangun
padepokan dan mengajarkan agama Islam kepada warga desa. Beliau tinggal di padepokan di atas
Gunung Sentono dekat candi. Candi tersebut sedikit demi sedikit dikurangi fungsinya sebagai
tempat pemujaan.
Hingga meninggal, Kyai Selaening masih menetap di padepokan sebelah timur
Parangwedang. Sebelumnya beliau berpesan kepada anak cucunya agar kuburannya jangan diistimekan.
Baru tahun 1950-an makam Kiai Selaening dipugar oleh kerabat dari Daengan . Kemudian pada
tahun 1961 diperbaiki hingga lebih baik lagi oleh salah seorang pengusaha dari kota.
Sesudah dianggap cukup menyampaikan syiar di sana, Syekh Maulana meninggalkan
Mancingan kemudian berpesan agar padepokannya dihidup-hidupkan seperti halnya ketika
orang-orang itu menjaga candi. Di padepokan tersebut kemudian orang-orang membuat makam
bernisan. Siapa yang ingin meminta berkah Syekh Maulana cukup meminta di depan nisan tersebut,
seolah berhadapan langsung dengan beliau. Sesudah dari Mancingan, Syekh Maulana Maghribi atau
Syekh Maulana Malik Ibrahim melanjutkan syiar agama Islam ke wilayah Jawa Timur.
Setelah
meninggal jenazahnya dimakamkan di makam Gapura, wilayah Gresik.
Silsilah Syekh Maulana Maghribi menurunkan raja-raja Mataram:
- Syekh Jumadil
Qubro (Persia Tanah Arab) --- Ny Tabirah --- Syekh Maulana Maghribi + Dewi Rasa Wulan, putri
Raden Temenggung Wilatikta Bupati Tuban (diperistri Syekh Maulana) ---Jaka Tarub
(memperistri Dewi Nawangwulan) --- Nawangsih (memperistri Raden Bondhan Kejawan) --- Kiai Ageng
Getas Pendhawa --- Kiai Ageng Sela --- Kiai Ageng Anis/Henis --- Kiai Ageng Pemanahan
(Kiai Ageng Mataram) --- Kanjeng Panembahan Senapati --- Kanjeng Susuhunan Seda
Krapyak-Kanjeng Sultan Agung Anyakrakusuma-Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat (Seda Tegalarum)-Kanjeng Susuhunan Paku Buwana I-Kanjeng Susuhunan Mangkurat Jawi-raja-raja Keraton
Surakarta, Yogyakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran.
Kendati makam Syekh Maulana di Gunung Sentana bukan tempat jenazah yang
sebenarnya, tetapi setiap ada rombongan peziarah Wali Sanga selalu memerlukan ziarah di makam
Syekh Maulana Parangtritis.
Seperti halnya makam leluhur keraton lainnya, setiap bulan
Sya’ban, makam Syekh Maulana Maghribi juga menerima uang dan perlengkapan pemberian dari Keraton
Yogyakarta. Setiap
tanggal 25 Sya’ban di makam ini diadakan upacra sadranan
Cerita versi lain
Kisah Syekh Maulana Magribi di Gunung Panungkulan Menghislamkam Putra Raja Pajajaran Melalui Adu Kesaktian Syekh Maulana Magribi seorang wali yang berasal dari Timur
Tengah datang ke Pulau Jawa setelah mendapat ilham untuk mendatang
Tiga Cahaya Putih. Ia berhasil mengislamkam seorang pertapa anak
Raja Pajajaran yang telah menguasai cahaya tersebut setelah adu kesaktian.
Berikut ini kisahnya.
- Syekh Maulana Magribi seorang ulama dari Timur Tengah bukan
hanya memiliki ilmu agama yang cukup tinggi. Tapi juga mempunyai ilmu karomah
tingkat tinggi. Oleh karena itu, dalam dakwahnya juga menggunakan ilmu karomah
yang disertai ilmu silat tenaga dalam. Hal tersebut sesuai dengan zamannya.
Suatu hari Syekh Maulana
Magribi, sesudah sholat Subuh mendapat Ilham agar
menemukan tiga buah cahaya putih menjulang tinggi diangkasa yang
letaknya di Pulau Jawa. Maka berangkatlah bersama-sama
dengan 298 sahabatnya menuju Pulau Jawa dengan mengarungi samudera yang
ombaknya cukup besar.
Kemudian sampailah mereka di pelabuhan Gresik.
Dipandangilah langit-langit yang penuh dengan bintang. Tapi tidak
terlihat ada tanda-tanda tiga cahaya putih yang sesuai dengan
ilhamnya.
Setelah sekian lama tinggal di Gresik, terlihatlah
cahaya terang yang sedang dicarinya itu disebelah barat. Kemudian mengambil
keputusan kembali kearah barat menuju pelabuhan Pemalang Jawa Tangah.
Ditempat tersebut Syekh Maulana Maghribi meminta para armadanya untuk pulang ke
negerinya, sedangkan Syekh Maulana Maghribi ditemani oleh Haji Datuk dan untuk
sementara bermukim ditempat itu
Karena tekadnya yang kuat, pendakian itu dilakukan hingga
akhirnya sampailah di tempat yang dituju. Terlihat oleh mereka
seorang pertapa yang menyandarkan dirinya pada sebatang pohon jambu yang
mengeluarkan sinar yang bercahaya menjulang tinggi ke angkasa.
Dari Pemalang menuju ke selatan menyusuri hutan belantara
tanpa mengenal bahaya ‘Pertapa itu adalah Raden Mundingwangi putra Raja Pajajaran
I. Ia tidak mau dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya. Tapi
lebih suka menjadi seorang pertapa disejumlah gunung.
Bahkan berhasil menemukan
Tiga Cahaya Putih beserta 160 pengikutnya di Gunung Panungkulan di
Desa Grantung Kecamatan Karangmoncol,”ungkap KH. KRT. MUrsyiddafa Alfatahillah,
SH, MA pewaris ilmu Syekh Jambu Karang dari Banjarnegara. .
Perlahan-lahan Syekh Maulana Maghribi dan Haji Datuk menuju mendekati tempat
tersebut sambil mengucapkan salam ‘Assalamu’alaikum’, tetapi tidak dijawab oleh
Raden Mundingwangi. Karena tidak paham dengan bahasa Arab.
Lantas Haji Datuk dan Syekh Maulana Maghribi menyapa
dengan bahas India.
Mendengar bahasa India, maka Raden Mundingwangi
menjawab : ‘Sesungguhnya saya ini adalah orang Budha yang Sakti’.
Kemudian Syekh Maulana Maghribi meminta kepada pertapa tersebut
untuk menunjukkan kesaktiannya.
Maka diambillah tutup kepalanya yang
berupa kopiah itu dapat terbang di angkasa. Syekh Maulana Maghribi mengimbangi dengan
melepaskan bajunya dan dilemparkan keatas, ternyata baju tersebut dapat terbang
di udara dan selalu menutupi kopiah si pertapa.
Hal itu menandakan bahwa kesaktiannya
lebih unggul. Tetapi Raden Mundingwangi belum mau menyerah dan masih akan
mempertontonkan lagi kepandaiannya yang berujud menyusun telur setinggi langit.
Syekh Patas Angin Melihat keadaan tersebut diatas Syekh Maulana Maghribi
merasa heran, namun demikian ia tidak mau dikalahkan begitu saja, maka dengan
tenangnya diperintahkan kepada si pertapa agar ia mau mengambil telur itu satu
persatu dari bawah tanpa ada yang jatuh.
Ternyata pertapa itu tidak sanggup melakukannya.
Karena si
pertapa sudah benar-benar tidak melakukannya hal tersebut, maka Syekh Maulana
Maghribi mengambil tumpukan telur tadi dimulai dari bawah sampai selesai dengan
tidak ada satupun yang jatuh.
Syekh Maulana Maghribi masih merasa belum puas dan masih
meneruskan perjuangannya sekali lagi dengan memperlihatkan pemupukan
periuk-periuk berisi air sampai menjulng tinggi. Lalu, Syekh Maulana Maghribi
berkata : ‘Ambillah periuk-periuk itu satu demi satu dari bawah tanpa ada yang
berjatuhan’. Setelah ternyata tidak ada kesanggupan dari Raden Mundingwangi,
maka beliau sendirilah yang melakukannya dan periuk yang terakhir itu pecah dan
airnya memancar kesegala penjuru.
Akhirnya Raden Mundingwangi menyerah kalah serta
berjanji akan memeluk agama Islam. Janji tersebut diterima oleh Syekh Maulana Maghribi dan
Jambu Karang diperintahkan untuk memotong rambut dan kukunya dan selanjutnya
dikubur di ‘Penungkulan’ (tempat dimana si pertapa menyerah kalah).
Kemudian
dilakukan upacara penyucian dengan air zam-zam yng dibawa oleh Haji Datuk dari
Tanah Suci atas perintah Syekh Maulana Maghribi dengan mempergunakan tempat
dari bambu (bumbung).
Setelah upacara penyucian selesai, bumbung berisikan sisa
air disandarkan pada pohon waru, tetap karena kurang cermat menyandarkannya
maka robohlah bumbung tadi dan pecah sehingga air sisa tersebut berhamburan dan
di tempat tersebut konon kabarnya menjadi mata air yang tidak mengenal kering
dimusim kemarau.
Adapun Syekh Jambu Karang tetap bermukim di Gunung Kraton,
dan setelah wafat dimakamkan ditempat itu pula dan tempat pemakamannya disebut
‘Gunung Munggul’ (puncak yang tertinggi didaerah itu).
Sesaat setelah Syekh Jambu Karang menerima wejangan, turun
hujan lebat disertai dengan angin ribut yang mengakibatkan pohon-pohon disekeliling
tempat itu menundukkan dahan-dahannya seperti sedang menghormati Gunung Kraton
yaitu tempat dimana Syekh Maulana Maghribi sedang memberikan wejangan
(membai’at) Syekh Jambu Karang menjadi seorang Muslim.
Sebagai rasa terimakasih, maka Syekh Jambu Karang
mempunyai seorang putri bernama ‘Rubiah Bhakti’ yang dipersunting oleh Syekh
Maulana Maghribi, setelah Syekh Jambu Karang menjadi seorang Muslim dengan mas
kawin berupa mas merah setanah Jawa.
Setelah memperistrikan putri Syekh Jambu Karang, Syekh Maulana
Maghribi berganti nama menjadi ‘Atas Angin’. Dari perkawinannya tersebut
menurunkan lima orang putera dan puteri, yaitu :Makdum Kusen, Makdum
Medem, Makdum Umar, Makdum, Makdum Sekar.
Setelah pertapa disucikan menjadi pemeluk agama Islam, maka
namanya diubah menjadi ‘Syekh Jambu Karang’. Kemudian Syekh Jambu Karang akan
mendapatkan wejangan (bai’at), beliau menunjukkan suatu tempat yang serasi dan
cocok untuk upacara bai’at tersebut yaitu diatas bukit ‘Kraton’.
Sumber : Babat tanah jawi
: Wali songo tahap Pertama
: SEJARAH