Oleh : M Rodhi irfanto
Red, POLICEWATCH,- Ragam: Cerita Tentang Perjalanan, Pencerahan Dan Kebesaran
Sunan Pandanaran , Gapura Pamuncar Pintu Masuk Makam Sunan Pandanaran
Sunan Bayat atau juga Sunan Pandanaran adalah sosok besar dalam sejarah
penyebaran agama Islam terutama di kawasan Jawa Tengah.
Sosok yang hidup di
masa yang sama dengan Wali Sanga ini berjuang selama 25 tahun untuk menyebarkan
agama bersama sahabat dan pengikutnya dari kawasan Bayat, Klaten.
Di Bayat pula
Sunan dimakamkan dan di sana pula kemudian sebuah kompleks pemakaman megah
dibangun untuk mengenang jasa-jasanya. Sosok besar nyaris tidak pernah luput
dengan cerita-cerita besar yang muncul selama hidup mereka, termasuk di diri
Sunan Pandanaran, baik selama dia hidup bahkan setelah wafatnya.
Dari masa dia
masih menjabat status sosial keduniawian hingga saat pencerahan, dari saat dia
memilih jalan Islam hingga dia meninggal dunia, tidak pernah sosok besarnya
lepas dari cerita-cerita kebesaran.
Baik cerita “kedewaan” hingga cerita
kebijaksanaannya sebagai seorang manusia telah berkembang dan diceritakan turun
temurun hingga saat ini.
Ragam cerita Sunan Pandanaran kali
ini akan diceritakan tentang Sunan Bayat yang masih menjabat sebagai Adipati
Pandanaran, bupati Semarang, di saat sedang terjadi transisi dari kerajaan
Hindu Buddha Majapahit ke kerajaan Islam Mataram.
Beberapa bagian dari cerita
ini juga tertuang dalam jurnal berbahasa Inggris yang diterbitkan dalam sebuah
buku kumpulan jurnal tentang dunia Islam berjudul “The Muslim World: Special
Issue” dalam edisi 91, September 2001, yang berjudul “The Pilgrimage to
Tembayat: Tradition and Revival in Indonesia Islam,” tulisan dari Nelly van
Doorn-Harder (Valparaiso University) dan Kees de Jong (Universitas Duta Wacana
Yogyakarta).
Gerbang Makam Sunan Pandanaran |
Sejarah Sunan Pandanaran
Masa Menjadi Bupati Semarang Sunan Pandanaran dahulu kala menjabat
sebagai seorang bupati Semarang, dia dikenal sebagai sosok pemimpin yang kikir.
Hidupnya bergelimang harta.
Dia suka membeli barang dengan harga rendah dan
menjualnya dengan harga yang tinggi untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Datangah suatu waktu Sunan Kalijaga yang ingin mengajak bupati untuk masuk
Islam. Namun Sunan tidak datang begitu saja. Sunan datang dengan menyamar
sebagai seorang penjual rumput.
Sunan Kalijaga datang membawa satu karung
rumput (alang-alang – bahasa Jawa) pada Sunan Pandanaran yang kala itu masih
bergelar Adipati. Rumputnya pun dibeli dengan harga murah seperti biasanya.
Yang tidak biasa dari hari itu adalah ketika Adipati Pandanaran membuka karung
rumput dan dia menemukan pusaka (kandelan) yang terbuat dari emas tersembunyi
di dalam rumput.
Emas dalam karung ini sebenarnya hanyalah sebuah ujian
kejujuran yang diberikan Sunan Kalijaga pada Adipati. Sunan Kalijaga bukan
tanpa maksud melakukan itu semua.
Sebuah pesan sebenarnya dia kirimkan melalui
alang-alang dan kandelan tadi, tetapi sayang Adipati tidak menangkap maksudnya
dan justru senang mendapati emas.
Kata “alang” dalam alang-alang sejatinya
mengandung arti “menolak”. Dengan memberikan sekarung rumput tadi, Sunan
sebenarnya mempertanyakan kenapa Adipati selalu menolak ajakan Sunan untuk
masuk Islam. Sedangkan dalam kata “kandelan” terkandung kata “andel” yang dapat
diartikan sebagai “mempercayai”. Dan jika saja Adipati mengerti nasihat yang
ada dalam maksud Sunan Kalijaga, maka dia akan membaca nasihat tadi sebagai
“Percayalah dan kembalikan kepadaku.” Adipati tidak mengembalikan emas tadi
tetapi justru kemudian membangun rumah mewah yang berdekorasikan emas.
Setelah
rumah itu jadi, dia mengadakan pesta besar dikediaman barunya itu. Sunan
Kalijaga tentu saja tidak diundang, namun dia tetap datang ke pesta itu, tanpa
disadari oleh siapa pun. Namun karena dia hanya mengenakan pakaian sederhana,
tidak ada orang di dalam pesta itu yang memperhatikan keberadaannya. Dan
setelah dia mengganti baju dengan pakaian mewah, barulah dia dipersilahkan
duduk bersama tamu-tamu penting Adipati.
Setelah berakhirnya pesta, Sunan
kembali mengganti pakaian yang dikenakannya dengan pakaian biasa.
Hal itu
dipandang aneh oleh Adipati dan dianggap sebagai lelucon saja. Padahal dari
tindakan itu, terkandung sebuah pesan spiritual yang dalam.
Namun, lagi-lagi
Adipati tidak membaca pesan Sunan Kalijaga. Setelah cara-cara yang dipakainya
menemui kegagalan. Sunan menyadari bahwa dia harus menggunakan cara keras untuk
membuat bupati mengerti maksudnya. Sunan Kalijaga kembali mendatangi Adipati
dan kali ini menyamar sebagai seorang peminta-minta.
Beberapa kali bupati
melemparkan koin padanya namun pengemis itu tidak juga pergi. Melihat hal itu,
Adipati pun murka. Di saat itu pula pengemis tadi menjelaskan niat
kedatangannya ke hadapan Adipati. Pengemis itu datang bukan untuk uang
melainkan untuk mendengar suara bedug pertanda waktu sholat tiba. Setelah itu,
pengemis tadi melemparkan tanah yang digenggamnya ke arah Adipati.
Adipati
terkaget-kaget dengan apa yang dilihatnya saat itu. Tanah yang tadi dilempar
oleh pengemis berubah menjadi sebongkah emas sesaat setelah dia tangkap.
Dan di
saat itu pula Adipati mendapatkan pencerahan tentang kehidupan dunia yang hanya
bersifat sementara. Barulah kemudian Adipati Pandanaran mengeri apa yang
dimaksudkan Sunan Kalijaga dan bersedia dibimbing Sunan. Namun sebelum lebih
jauh lagi, Sunan mengajukan empat syarat pada Adipati jika dia ingin menjadi
muridnya.
Keempat syarat tadi adalah:
-1. Bupati harus berdoa dengan rutin dan
mengajarkan Islam, mengajak semua penduduk yang berada di wilayah kekuasaanya
masuk ke agama Islam.
-2. Adipati harus memberi makan santri dan ulama, membuat
bedug di langgar-langgar.
-3. Memberi dan menyumbang dengan ikhlas dan
menyerahkan kekayaannya pada yang membutuhkan dalam bentuk zakat.
-4. Ikut
pulang ke rumah Sunan Kalijaga dan menjadi orang yang bersedia menyalakan lampu
rumah Sunan.
Dan barulah setelah itu kisah Adipati Pandanaran, seorang yang
baru saja berjanji untuk lepas dari keduniawian, berlanjut untuk menuntut ilmu
pada Sunan Kalijaga di Jabalkat, Bayat.
Dan kisah selanjutnya dari Adipati
Pandanaran adalah kisah perjalannnya menuju Jabalkat bersama istrinya. Ragam:
Cerita Tentang Perjalanan, Pencerahan, Dan Kebesaran Sunan Pandanaran
Perjalanan Menaiki Anak Tangga Gunung Jabalkat Tembayat Setelah Sunan
Kalijaga mengajukan empat syarat yang harus dipenuhi oleh Adipati Pandanaran,
Adipati akhirnya melakukan perjalanan ke Jabalkat, Tembayat.
Dalam perjalanan
tersebut, Adipati tidak sendiri melainkan ditemani oleh istrinya, Nyi Ageng
Kaliwungu, yang tidak mau meninggalkan suaminya.
Kisah perjalanan Adipati
Pandanaran menuju Gunung Jabalkat mencari Sunan Kalijaga penuh dengan rintangan
dan cerita yang membesarkan namanya hingga dikenal luas oleh masyarakat pada
waktu itu.
Cerita-cerita tentang kesaktian dan kebijakan Adipati akhirnya
mengantarkan Adipati pada gelar Sunan Pandanaran dan diterima baik oleh
masyarakat luas dan juga mereka yang masih lekat dengan kepercayaan Orang Jawa
di saat itu.
Tidak hanya jasanya dalam menyebarkan agama Islam, hingga saat ini
masyarakat luas percaya bahwa dalam perjalanan tersebut Sunan Pandanaran adalah
sosok besar yang memberikan nama pada beberapa tempat di Jawa seperti Salatiga,
Boyolali, Wedi dan Jiwo.
Bahkan Sunan Pandanaran juga yang
disebut-sebut-sebagai sosok yang meninggalkan jejak kesaktian seperti Sendang
Kucur dan batu Kali Pepe. Perjalanan Panjang Dari Semarang Menuju Gunung
Jabalkat Perjalanan yang penuh dengan petualangan ditempuh Sunan Bayat dengan
jarak kurang lebih 120 km.
Dan dalam perjalanan ini lah Adipati Pandanaran
diramalkan menjadi seorang pemimpin besar umat Muslim nantinya. Adipati tidak
melakukan perjalanannya seorang diri.
Karena tidak ingin meninggalkan suaminya
yang memilih jalan agama dengan meninggalkan semua kekayaannya dan melakukan
perjalanan panjang mencari Sunan Kalijaga di Gunung Jabalkat, Nyi Ageng
Kaliwungu, memilih ikut bersama suaminya.
Namun tidak sepenuhnya Nyi Ageng Kaliwungu
dapat meninggalkan segala kekayaan yang dimiliki seperti yang dilakukan
Adipati.
Dalam perjalanan itu, dia memasukan beberapa perhiasan dalam tongkat
bambu yang dibawanya dengan maksud untuk berjaga-jaga selama di perjalanan.
Apa
yang dilakukan istrinya ternyata menuntun pada sebuah perkenalan dengan dua
perampok yang nantinya menjadi pengikut setia Sunan Bayat.
Hal itu berawal
ketika mereka sampai pada suatu daerah (kini Salatiga) dan di sana mereka
dihentikan oleh dua orang perampok bernama Sambang Dalan dan seorang rekannya.
Saat mereka meminta harta benda, Adipati yang tidak membawa apa-apa menyuruh
dua perampok tadi mengambil bambu yang dibawa istrinya.
Adipati juga mengatakan
bahwa isi dalam bambu itu cukup untuk memenuhi kebutuhan seumur hidup mereka.
Adipati juga berpesan agar mereka tidak melukai istrinya.
Namun sifat serakah
para perampok makin menjadi karena mengira istrinya pasti membawa barang
berharga lainnya.
Kedua perampok tadi pun mulai menggeledah istri Adipati untuk
menemukan benda berharga lainnya. Seketika pula istri Adipati berteriak minta
pertolongan.
Dari kejadian ini dipercaya nama kota Salatiga berasal. Saat itu
Adipati berujar, “Wong salah kok isih tega temen” (Sudah berbuat salah tetap
saja tega). Dan dia juga menyebut bahwa mereka bertiga telah berbuat salah.
Dan
kemudian lokasi perampokan itu disebut Salatiga yang berasal dari kata “salah”
dan “tiga”, Salahtiga (Salatiga).
Dari kejadian itu juga dua perampok yang
menghentikan perjalanan mereka mendapatkan pelajaran. Sambang Dalan disebut
oleh Adipati telah berbuat keterlaluan seperti domba (hewan) dan seketika itu
pula wajahnya berubah menyerupai domba.
Rekan dari Sambang Dalan ketakutan
melihat kejadian itu hingga tubuhnya gemetaran (Jawa – ngewel). Saat itu juga
berubah menyerupai ular.
Mereka berdua akhirnya menyesali perbuatan mereka dan
memohon ampun kepada Adipati. Mereka juga berjanji untuk mengabdi dan setia
kepada Adipati dan akan ikut dalam perjalanan menuju Jabalkat.
Dua perampok
tadi akhirnya menjadi pengikut pertama Adipati setelah sang istri dan dijuluki
sebagai Syeh Domba (Sambang Dalan) dan Syeh Kewel (yang ngewel dan berwajah
ular).
Cerita perjalanan Adipati berlanjut saat mereka sampai ke daerah yang
sekarang dikenal dengan nama Boyolali.
Di daerah itu Adipati yang berjalan di
depan meninggalkan jauh istri yang menggendong anaknya. Hingga pada akhirnya
karena kelelahan di tengah terik matahari Adipati duduk beristirahat di atas
batu besar menunggu rombongannya yang tertinggal.
Dari kejadian ini Nyi Ageng
Kaliwungu kemudian berujar, “Karo bojo mbok ojo lali” (Jangan lupa dengan
istri).
Dan setelah kejadian tersebut nama Boyolali yang dipercaya berasal dari
frase “mbok ojo lali” mulai digunakan untuk menyebut daerah itu.
Jejak kisah
perjalanan juga terdengar di kawasan Wedi (kecamatan di sebelah utara Bayat).
Nama Wedi dipercaya juga berasal dari kisah perjalanan Sunan, tidak berbeda
dengan nama Salatiga dan Boyolali.
Di tempat ini Adipati memilih untuk menetap
dan bekerja sementara sebelum kembali melanjutkan perjalananannya.
Dua pengikut
setianya, Syeh Domba dan Syeh Kewel, diminta untuk menetap di gunung untuk
menjalankan meditasi hingga Adipati kembali akan melanjutkan perjalanan.
Di
daerah ini Adipati bekerja pada seorang juragan beras bernama Gus Slamet. Konon
di Wedi inilah nama besar Sunan kian dikenal di kalangan masyarakat.
Saat
menetap di Wedi terdapat tiga kisah tentang kesaktian yang ditunjukan oleh
Sunan. Kejadian pertama adalah kejadian asal mula nama Wedi. Kejadian yang
melibatkan seorang penjual beras dan Adipati.
Suatu hari saat Adipati diminta
untuk mencari beras oleh majikannya dia bertemu dengan seorang penjual di
jalan. Penjual itu membawa gerobak dan akan menuju pasar.
Ketika ditanya apakah
dia membawa beras (karena berniat untuk membelinya), penjual tadi mengatakan
tidak.
Dia berbohong pada Adipati karena tidak mau menjual beras kepada Adipati
dan justru mengatakan dia sedang membawa wedi (pasir).
Penjual itu kemudian
melanjutkan perjalannya ke pasar untuk menjual berasnya. Namun dia sangat terkejut
ketika sampai di pasar dan membongkar muatannya.
Dia mendapati semua beras yang
dibawanya telah berubah menjadi wedi, persis seperti apa yang dikatakannya pada
Adipati. Kejadian berikutnya adalah saat Adipati membantu istri majikannya, Nyi
Tasik, untuk berjualan makanan di pasar.
Suatu hari, setibanya di pasar untuk
berjualan sama seperti setiap harinya, Nyi Tasik lupa membawa kayu bakar. Nyi
Tasik kemudian memarahi Adipati karena hal itu dan saat menghadapi hal itu dia
justru menawarkan tangannya sebagai pengganti kayu bakar.
Sesaat kemudian
Adipati meletakan tangan di tungku masak dan seketika itu pula api menyembur
dari tangannya seperti kayu yang terbakar api.
Hal itu tentu tidak hanya
menakjubkan bagi Nyi Tasik tetapi juga bagi masyarakat yang kemudian banyak
mengenal nama Adipati Pandanaran.
Dan konon setelah kejadian itu, Nyi Tasik
menjadi salah satu pengikut Sunan dan turut dalam perjalanan ke Gunung
Jabalkat.
Kisah terakhir Adipati di Wedi adalah saat Adipati menjadi tukang
pengisi air wudhu.
Suatu hari saat menjalankan tugasnya dia menggunakan
keranjang bambu untuk mengisi air dalam padasan (gentong tempat menyimpan air
wudhu).
Tentu saja semua orang terkejut melihat kejadian itu karena mereka
mendapati tidak setetes air pun keluar melalui sela rajutan bamboo yang
digunakan Adipati untuk mengisi padasan.
Kemudian tiba waktu saat Adipati
Pandanaran melanjutkan perjalanan menuju Gunung Jabalkat. Kini dia bersiap
menerima petunjuk dan arahan yang lebih dari Sunan Kalijaga.
Dalam perjalanan
itu dia tak lupa menjemput kedua pengikut setianya, Syeh Domba dan Syeh Kewel,
dari tempat meditasi mereka.
Dalam perjalanan menuju Jabalkat ini kembali lagi
ada satu cerita tentang kesaktian Adipati. Cerita itu diawali dengan anak
Adipati yang menangis karena kehausan.
Adipati tidak dapat menemukan sumber
mata air di kawasan itu, dan kemudian sebuah peristiwa magis terjadi.
Terdapat
dua versi cerita tentang bagaimana kejadian ini berlangsung, yaitu: Ada yang
percaya bahwa Adipati menggunakan tongkatnya untuk memunculkan sumber mata air
di lokasi tadi.
Dia menghujamkan tongkatnya hingga air mengucur dan tidak
berhenti keluar dari lubang itu hingga membentuk sumur.
Cerita lain yang juga
dipercaya warga di sana saat ini adalah Adipati menggunakan kukunya untuk
memunculkan sumber air. Dia menggoreskan kukunya ke tanah.
Dan seketika itu
juga dari bekas goresan kuku Adipati menyembur air hingga membentuk genangan
air.
Dari genangan itu kemudian anak dan istri Adipati dapat mengobati rasa
haus mereka tadi.
Konon genangan air jejak dari kesaktian Adipati itu adalah
Sendang Kucur yang terdapat di dalam hutan angker Kucur yang terletak di
Paseban, Bayat, Klaten.
Kelanjutan kisah dari perjalanan ini adalah sampainya
Adipati dan rombongan di Gunung Jabalkat dan di sana dia mendapatkan nama Sunan
Pandanaran atau Sunan Bayat atau Sunan Tembayat.
Di sana pula dengan segala
ketenaran yang telah dimilikinya selama perjalanan dia menjalankan tugas syiar
Islam ke seluruh penjuru Jawa khususnya Jawa Tengah dengan mendirikan masjid
yang sekaligus menjadi pesantren pertama.
Kompleks Pemakaman Sunan Pandanaran
Gunung Jabalkat Tembayat Kisah terakhir dari Sunan Pandanaran adalah masa
ketika dirinya sampai di Tembayat.
Puncak Gunung Jabalkat |
Di Tembayat Sunan menderikan sebuah masjid
di atas Gunung Jabalkat yang sekaligus difungsikan sebagai tempat pendidikan
agama.
Tempat itu pun akhirnya menjadi pesantren pertama atau sekolah asrama
pertama di Jawa Tengah. Namun usaha yang dilakukan Sunan tidaklah semudah itu.
Setelah memilih jalan agama dan melakoni perjalanan yang penuh petualangan
ternyata mambatan masih saja ada saat dia berada di Tembayat.
Salah satunya
adalah perlawanan dari para pemimpin mistis Jawa.
Disebutkan dalam kisah ini
adalah seorang pemimpin di Jawa harus memiliki kekuatan sakti di luar kekuatan
pengetahuan dan wibawa.
Dan di saat seseorang memiliki itu semua, barulah semua
kalangan di Jawa percaya dengan maksud keberadaanya. Selain meninggalkan jejak
cerita pada saat dirinya menyebarkan agama Islam dari Tembayat.
Ternyata
kekuatan kebesaran Sunan masih terasa hingga pada masa Sultan Agung, yang hidup
di masa setelah Sunan.
Beberapa kisah pertemuan Sultan dan Sunan juga beredar
dan menjadi salah satu cerita tentang awal mula berdirinya kompleks pemakaman
Sunan Bayat yang megah dan elok.
Masa Kebesaran Sunan di Tembayat Di awal tugas
di Tembayat inilah saat Sunan Pandanaran mendapat perlawanan dari pemimpin
mistis Jawa.
Mereka adalah orang-orang yang mempertanyakan kekuatan sakti yang
dimiliki oleh Sunan. Salah satunya adalah perlawanan dari Prawira Sakti,
seorang penganut ilmu kebatinan.
Sunan menerima tantangan Prawira Sakti untuk
melakukan uji kewibawaan. Beberapa tantangan dilakoni oleh Sunan dan yang
pertama adalah tantangan untuk menangkap merpati yang dilepas ke udara oleh
Prawira.
Yang dilakukan Sunan untuk menangkap merpati itu adalah dengan hanya
melemparkan sandal kayunya. Dan dengan sekali lempar burung itu berhasil
dijatuhkan.
Tantangan kedua adalah menangkap topi yang oleh Prawira dilempar ke
langit jauh hingga tak terlihat oleh mata.
Dengan sebelah sandal kayu yang
masih ada Sunan berhasil dengan sangat mudah mengenai topi itu dan lolos
tantangan kedua.
Pada tantangan ketiga Sunan ditantang untuk mencari keberadaan
Prawira yang bersembunyi. Keberadaan Prawira tidak tampak karena dia bersembunyi
dengan cara yang tidak biasa.
Namun dengan mudah Sunan berhasil menemukan
keberadaan Prawira yang bersembunyi di bawah sebongkah batu besar.
Setelah tiga
tantangan berhasil dilalui dengan mudah oleh Sunan. Kini giliran Sunan
memberikan satu tantangan pada Prawira.
Dan sekarang menjadi giliran Prawira
untuk mencari keberadaan Sunan yang bersembunyi. Dan Prawira yang sakti gagal
menjalankan tantangan Sunan karena tidak dapat menemukan Sunan yang bersembunyi
di antara kedua alisnya.
Selain cerita tentang kesaktian yang dimiliki Sunan
untuk menghadapi perlawanan para pemimpin mistis Jawa beredar juga cerita
tentang kebesaran yang lainnya.
Dikisahkan adalah suara adzan yang terlalu kuat
dan keras yang didengar oleh salah satu Wali yang berada di Demak.
Suara adzan
tadi ternyata adalah suara dari panggilan sholat Sunan Pandanaran dari
Tembayat, ratusan kilometer jaraknya.
Tentu saja suara yang terlalu keras itu
mengganggu Wali tadi hingga kemudian dia meminta Sunan untuk menurunkan suara
adzan yang dibuatnya.
Menyaguhi permintaan Wali tadi, Sunan kemudian
memindahkan masjid yang berada di puncak Jabalkat.
Dan dengan kesaktiannya
Sunan menarik masjid tadi hingga sampai di lereng gunung. Kebesaran Sunan
Setelah Meninggal Kebesaran nama Sunan sebagai seorang pemimpin agama tetap
terjaga hingga dirinya meninggal setelah menjalankan syiar selama 25 tahun di
Tembayat.
Salah satu yang membuktikan kebesaran nama Sunan adalah Sultan Agung,
pemimpin besar kerajaan Mataram, yang merubah makam Sunan hingga menjadi salah
satu kompleks pemakaman termegah di Jawa.
Bukti bahwa Sultan pernah berada di
Tembayat ditemukan dalam catatan seorang pemimpin kolonial Belanda (1631 –
1634) yang menyebutkan bahwa penguasa Mataram pergi ke suatu tempat yang
bernama Tembaijat untuk melakukan pengorbanan.
Keberadaan Sultan di Tembayat
dianggap lazim karena dalam hirarki kekuatan Jawa seorang penguasa “diwajibkan”
untuk mencari saran dan petunjuk kepada mereka yang disucikan atau diagungkan.
Dan orang suci yang ada di wilayah Mataram adalah Sunan Bayat yang berada di
Tembayat. Terdapat dua cerita yang beredar tentang kunjungan Sultan Agung itu.
Dan dari kedua cerita tadi semuanya berujung pada penghormatan yang dilakukan
Sultan kepada Sunan dengan membangun kompleks pemakaman.
-Kisah pertama yang beredar
hingga saat ini adalah ketika suatu hari Sultan bersama orang kepercayaannya,
Juru Taman, tersesat di dalam hutan di sekitar istananya.
Sultan terpisah dari
Juru Taman dan tidak dapat menemukannya hingga dia merasa putus asa. Hingga
akhirnya Sultan memutuskan untuk melakoni pertapaan sebagai usaha menemukan
jalan keluar. Ternyata usaha Sultan menemui kebuntuan hingga secara tiba-tiba
muncul sesosok priyayi yang muncul ke hadapan Sultan dan menawarkan bantuan
kepadanya.
Sultan menyambut bantuan orang itu dengan menceritakan masalah yang
dihadapinya. Orang tadi kemudian menyarankan Sultan untuk mempelajari sebuah
ilmu terlebih dahulu hingga selesai. Setelah Sultan menyaguhinya dan
menyelesaikannya baru priyayi tadi memperkenalkan diri sebagai Sunan yang tinggal
di Bayat.
Sosok Sunan tadi kemudian membantu Sultan untuk pulang kembali
keistananya. Secara ajaib sosok Sunan tadi menggunakan lengan bajunya untuk
memindahkan Sultan hingga kembali keistananya dalam sekejap.
Sesampainya di
istana barulah Sultan bertemu dengan Juru Taman. Saat itu pula Sultan baru
mengetahui bahwa ternyata selama dicari Juru Taman justru pergi ke tempat
tinggal istri-istri Sultan.
Semua orang menyambut dengan bahagia kepulangan
Sultan dan sebagai balas jasa atas bantuan sosok Sunan tadi Sultan Agung
mengatakan akan membangun kompleks pemakaman baru untuk kuburan Sunan Bayat.
Pembangunan akhirnya dilaksanakan dan menggunakan cara yang luar biasa. Semua
itu dilakukan karena Sunan dianggap sebagai sosok suci dan luar biasa.
Seluruh
kebutuhan dipilih dengan teliti termasuk para pekerja bangunan. Para pekerja
itu harus memiliki perilaku yang santun dengan rohani yang mendukung.
Terpilihlah 300.000 orang sebagai pekerja kompleks pemakaman Sunan Bayat.
Ratusan ribu pekerja tadi dikisahkan duduk berderet dari lokasi tambang batu
hingga makam.
Mereka duduk dengan posisi bersila dan dengan kedua tangannya
mereka memindahkan satu per satu batu-batu dari tambang hingga ke makam.
Kisah
tentang apa yang dilakukan ratusan ribu pekerja ini kemudian memunculkan
gambaran tentang besarnya pengorbanan yang dilakukan untuk membangun kompleks
pemakaman Sunan.
Dan dengan pengorbanan yang besar itu, kompleks pemakaman
Sunan dianggap sebagai salah satu makam tercantik yang pernah ada di Jawa.
-Kisah kedua tentang pertemuan Sultan Agung dengan sosok Sunan Bayat adalah
dalam sebuah pergelaran wayang kulit. Saat itu Sultan sedang menyaksikan
pergelaran wayang kulit yang berada jauh dari istananya.
Di saat itulah Sultan
menyadari ancaman yang sedang dihadapinya. Ancaman itu antara lain adalah
konspirasi kerajaan Balambangan dan Bali untuk melawan Mataram dan juga
pengkhianatan Juru Taman yang menjalin hubungan dengan istri Sultan dan ingin
menggantikan posisi Sultan.
Menyadari hal-hal tadi membuat Sultan putus asa hingga
jatuh bersujud. Di dalam sujudnya Sultan memohon ampun kepada Tuhan atas
dosa-dosanya hingga menempatkan Sultan pada posisi yang sulit.
Di saat itu pula
muncul di hadapan Sultan sosok orang tua. Sosok itu dipercaya sebagai sosok
Sunan Bayat.
Sosok Sunan Bayat yang menemui Sultan kemudian berusaha membantu
Sultan agar dapat pulang ke istana secepat mungkin. Sosok itu menggunakan
tongkatnya untuk menolong Sultan.
Dengan mengayunkan tongkat, Sultan pun
terlempar jauh hingga sampai di istana secepat kilat. Dan dari kisah itu, konon
Sultan berterima kasih pada sosok Sunan Pandanaran dengan merenovasi makamnya
dengan bentuk dan gaya yang luar biasa
Mari Berwisata!
Kompleks Pemakaman Sunan
Bayat di Gunung Jabalkat Regol Sinaga Kompleks Pemakaman Sunan Bayat Klaten
Membayar tiket masuk seharga Rp 2.000 mungkin bukan hal yang memberatkan untuk
memasuki sebuah kawasan wisata.
Tetapi jika harus menaiki 250 anak tangga yang
cukup menanjak terlebih dahulu untuk bisa menikmati kawasan itu baru terasa
berat bagi sebagian orang. Adalah Makam Tembayat, makam dari Sunan Bayat yang
terletak di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, yang terletak di
atas perbukitan Gunung Jabalkat.
Lokasi makam yang berada di ketinggian 860
meter dpl ini dapat dicapai dengan terlebih dahulu menaiki 250 anak tangga.
Sunan Bayat adalah seorang tokoh religius penyebar agama Islam di kawasan Jawa
Tengah pada abad 16.
Sunan Bayat berjuang menyebarkan agama Islam pada waktu
yang sama dengan Wali Sanga. Dan karena kebesaran nama dan pengaruhnya, Sunan
Bayat bahkan dianggap sebagai Wali yang kesepuluh dari Wali Sanga. Sunan Bayat
yang memiliki banyak nama dan sebutan adalah murid dari Sunan Kalijaga.
Setelah
mendapatkan pencerahan dan menyebarkan agama Islam dari kawasan Bayat, sosoknya
mendapatkan julukan Sunan Bayat. Namun ada juga yang menamainya sebagai Sunan
Tembayat, Sunan Padang Aran, Sunan Pandanaran, atau Ki Ageng Pandanaran. Gapura
Panemut Kompleks Pemakaman Sunan Bayat Klaten Kompleks pemakaman Sunan Bayat
dibangun pada tahun 1620 M oleh raja besar Mataram, Sultan Agung.
Sebelum
dijadikan kompleks pemakaman oleh Sultan Agung, makam Sunan Bayat diperkirakan
sudah dibangun sejak tahun 1526 M, seperti yang tertera pada Gapura Segara
Muncar (1448 Saka) yang terdapat di bawah bukit dan berfungsi sebagai pintu
gerbang pertama pemakaman.
Kompleks pemakaman yang pernah dianggap sebagai
salah satu kompleks pemakaman termegah di era Kerajaan Mataram ini memiliki
bagian-bagian yang menunjukan budaya peralihan dari Hindu ke Islam.
Hal itu
dapat dilihat dari keberadaan gapura-gapura Hindu di dalam kompleks pemakaman.
Namun yang membuat gapura ini berbeda adalah tidak adanya ornamen binatang
seperti yang biasa ada dalam gapura Hindu.
Gapura Pamuncar Kompleks Pemakaman
Sunan Bayat Klaten Dan memang masa perjuangan Sunan Bayat dalam menyebarkan
agama Islam adalah pada masa transisi kekuasaan dan kebudayaan dari kerajaan
Hindu Buddha Majapahit ke kerajaan Islam Mataram.
Sunan Bayat yang dipercaya
sebagai seorang Bupati Semarang sebelum dirinya menjadi seorang pemimpin agama
adalah tokoh utama dalam kompleks pemakaman Tembayat.
Kompleks pemakaman yang
berada di Gunung Cokro Kembang (bagian dari perbukitan Gunung Jabalkat) terbagi
dalam beberapa bagian penting sebelum peziarah mencapai makam Sunan Bayat yang
berada pada bagian paling atas.
Gapura Balekencur Kompleks Pemakaman Sunan
Bayat Klaten Dimulai dari pintu gerbang pertama adalah Gapura Segara Muncar,
lalu Gapura Dhuda, dan pintu ketiga yaitu Gapura Pangrantungan. Gapura
Pangrantungan berada di “garis finis” dari 250 anak tangga menuju makam.
Di
kompleks gapura ini terdapat Bangsal Nglebet (untuk tamu wanita) dan Bangsal
Jawi (untuk pria) sebagai lokasi beristirahat dan menghela nafas setelah lelah
menapaki anak tangga.
Di bangsal ini pula, pengunjung wajib mendaftarkan diri
sebelum masuk ke area pemakaman. Pengunjung kembali harus mengeluarkan “uang
donasi” di bangsal ini untuk biaya tiket.
Dari bangsal ini pengunjung kemudian
mengarah ke kompleks pemakaman sahabat Sunan dan kembali akan menemukan Gapura
Panemut yang juga memiliki gaya bangunan Hindu.
Masuk lebih dalam lagi kita
akan melewati Gapura Pamuncar, Gapura Balekencur, dan Gapura Prabayeksa, gapura
terakhir sebelum memasuki makam Sunan.
Dari gapura terakhir tadi pengunjung
akan bertemu dengan seorang juru doa yang duduk di depan sebuah perapian yang
terletak di bawah Regol Sinaga. Gentong Sinaga Kompleks Pemakaman Sunan
Tembayat Klaten Juru doa ini adalah seseorang yang dapat dimintai bantuan untuk
memintakan izin dan mendoakan peziarah yang datang mengunjungi makam Sunan
Bayat.
Di kanan dan kiri Regol Sinaga yang berpintu tiga diletakan
masing-masing sebuah gentong yang diberi nama Gentong Sinaga, yang dipercaya
sebagai padasan atau tempat air wudhu Sunan Bayat. Gentong Sinaga Kompleks
Pemakaman Sunan Pandanaran Klaten Beberapa peziarah yang datang atau
meninggalkan makam Sunan selalu menyempatkan diri untuk meminum air dari dalam
gentong atau menyimpan sedikit dalam botol untuk dibawa pulang.
Dari Regol
Sinaga pengunjung dapat langsung masuk ke dalam bangunan utama yang terdapat di
puncak bukit ini. Di dalam bangunan inilah Sunan Bayat dimakamkan.
Makam Sunan
Bayat terdapat di tengah bangunan tersembunyi dalam bilik kayu berbentuk
persegi mirip seperti Ka’bah di Mekah.
Banyak peziarah yang masuk, akan
mengantri di samping makam untuk dapat mendekati makam Sunan. Beberapa dari
mereka juga terlihat sibuk menyalin teks Jawa yang tertulis pada sebuah batu
yang diletakan di samping makam.
Di samping makam Sunan Bayat terdapat dua
makam istri Sunan Bayat yaitu Nyi Ageng Kali Wungu dan Nyi Ageng Krakitan.
Sementara (bagian dalam) di depan pintu masuk bangunan utama terdapat beberapa
makam sahabat-sahabat Sunan Bayat.
Dari dalam makam Sunan Bayat pengunjung
kemudian dapat mengunjungi dua makam sahabat Sunan yang berada di bagian luar
bangunan utama.
Dua makam itu adalah makam Dampu Awang dan Ki Pawilangan.
Dampu
Awang dipercaya sebagai seorang pedagang dari Semarang dan dia adalah seorang
keturunan Tionghoa.
Makam Dampu Awang tampak berbeda dengan makam lainnya
karena ukuran panjang yang tidak biasa.
Ukuran makam Dampu Awang tampak sangat
panjang daripada makam-makam lain yang ada didekatnya termasuk milik Ki
Pawilangan.
Makam Dampu Awang Pemakaman Sunan Padang Aran Sebuah tradisi unik
sering dilakukan oleh para peziarah saat mengunjungi makam Dampu Awang dan Ki
Pawilangan.
Tersebar cerita kuno bahwa bagi siapa yang berhasil menyentuh dua
batu nisan (masing-masing di bagian ujung) makam Dampu Awang dengan
membentangkan tangannya, maka keinginannya akan terkabul.
Dan bagi kerabat yang
pertama menyentuh orang yang berhasil tadi juga akan mendapatkan sebagian dari
berkahnya.
Sedangkan cerita kuno pada makam Ki Pawilangan adalah bagi siapa
yang menghitung jumlah batu hias pada makam sebanyak tiga putaran dengan jumlah
berbeda dan membesar.
Maka dia akan mendapatkan berkah. Sementara jika hasil
perhitungan selama tiga kali menghasilkan jumlah menurun maka dia akan
mendapatkan kebalikannya.
Kebanyakan pengunjung yang datang ke kompleks
pemakaman Sunan Bayat adalah para peziarah yang datang dari Jawa Tengah
terutama Semarang.
Hal ini bisa jadi karena latar belakang asal-usul Sunan yang
datang dari Semarang sebelum menjalani hidup religius di bawah bimbingan Sunan
Kalijaga.
Selain makam Sunan Bayat, pengunjung juga dapat mengunjungi Masjid
Golo, dengan bedugnya, yang dibangun oleh Sunan Bayat.
Ada juga makam Syeh
Domba di Gunung Cakaran, pengikut setia Sunan, yang diceritakan pernah
berkepala domba karena merampok istri Sunan.
Atau makam Syeh Kewel di Makam
Sentana, pengikut setia Sunan, yang diceritakan pernah berkepala Ular karena
juga turut merampok istri Sunan. Kompleks Pemakaman Sunan Pandanaran Paseban
Bayat Klaten Dan seperti halnya kawasan sakral lainnya di Jawa, lokasi ini juga
menggelar sebuah acara budaya yang sudah menjadi tradisi.
Upacara Ruwatan atau
Jodangan digelar oleh warga di sana setiap tanggal 27 pada hari Jum’at Kliwon
di bulan Ruwah.
Upacara ini adalah upacara peringatan jasa besar Sunan Bayat
yang digelar dengan rangkaian upacara bersih makam, mengganti kain penutup
makam, selamatan, serta pertunjukan Reog.
Untuk dapat mencapai lokasi kompleks
pemakaman Sunan Bayat yang terletak di Kecamatan Bayat, perjalanan dengan mobil
atau motor dapat dipilih.
Kurang lebih perjalanan akan memakan waktu kurang dari
satu jam dari kota Solo.
Jalur terdekat yang dapat diambil adalah jalur
Wonosari, Juwiring, Pedan, Cawas/Trucuk kemudian Bayat. Jalur ini lebih cepat
ditempuh daripada harus masuk melalui jalur Klaten kota.
Sumber Artikel :
Sejarah, Cerita, Legenda, Mitos, TOKOH, Situs
Di dalam cerita disebutkan istri sunan tembayat ada 2. Tlg diceritakan ttg nyi Ageng Krakitan itu sosok yg spt apa hgg namany Diabadikan sbg nama sebuah taman. Makam beliau ada. Tp cerita ttg sosok beliau tdk ada