Sumber: Suwargi Dalem R. Mas Bagus Harun / Ki Ageng Bashoriyah Sewulan Madiun
(Blogger Keluarga)
![]() |
Gunung lawu |
Red,MPW,-Kisah misteri Gunung Lawu menjadi daya tarik tersendiri bagi para
pendaki gunung tersebut disamping panorama alamnya yang indah.
Sehingga gunung yang terletak di perbatasan Kabupaten Karanganyar dan Magetan, Jawa Timur ini sudah cukup populer di kalangan para pendaki.
Gunung yang terkenal dengan julukan Seven Summits of Java (Tujuh Puncak Pulau Jawa) pun kerap dikunjungi pendaki yang ingin berziarah maupun menggelar ritual di puncak Gunung Lawu meski suhu disana bisa mencapai minus lima derajat celcius.
Gunung Lawu konon termasuk paling angker dan menyimpan banyak cerita mengenai keberadaan Raja Majapahit yang terakhir Prabu Brawijaya V.
Bahkan gunung ini kerap menelan korban para pendaki yang tidak berhati-hati. terakhir pada 19 Oktober lalu di mana tujuh pendaki ditemukan tewas terbakar di Gunung Lawu.
Hingga kini Gunung Lawu yang memiliki tiga puncak ini yaitu Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah diyakini dijaga oleh dua makhluk gaib yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala.
Konon kedua penjaga ini tadinya adalah manusia biasa. Mereka adalah kepala dusun di sekitar kaki Gunung Lawu yang menemani Prabu Brawijaya V saat mengasingkan diri di gunung tersebut. Kisah keduanya diceritakan turun temurun oleh penduduk di sekitar kaki gunung tersebut.
Karena kesetiaannya saat menemani Prabu Brawijaya V, Dipa Menggala diangkat menjadi penguasa Gunung Lawu membawahi semua mahluk gaib.
Wilayah kekuasaannya ke barat hingga Gunung Merapi, Merbabu; ke timur hingga Gunung Wilis; ke selatan hingga Pantai Selatan; ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Sementara Wangsa Menggala diangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kiai Jalak.
Sementara ketiga puncak gunung tersebut juga menjadi tempat yang dianggap sakral di Tanah Jawa. Puncak Hargo Dalem misalnya diyakini sebagai tempat moksa (menghilangnya) Prabu Brawijaya V setelah memeluk agama Islam.
Puncak Hargo Dumiling konon dipercaya sebagai tempat moksanya Ki Sabda Palon yang merupakan abdi setia dari Prabu Brawijaya V.Sementara puncak Hargo Dumilah merupakan tempat meditasi bagi penganut kejawen.
Selain itu ada daerah yang warganya dipantang untuk mendaki Gunung Lawu yaitu Cepu Blora. Konon pantangan ini bermula saat Prabu Brawijaya V yang mengasingkan diri dikejar pasukan pimpinan Adipati Cepu yang bermaksud menangkapnya hidup atau mati.
Karena Prabu Brawijaya V merupakan musuh bebuyutan Adipati Cepu. Namun tak satu pun dari pasukan Cepu yang berhasil menangkap Prabu Brawijaya V yang mengasingkan diri ke arah puncak Gunung Lawu melalui hutan belantara.
Di puncak Gunung Lawu, Prabu Brawijaya V mengeluarkan sumpah kepada Adipati Cepu yang konon isinya jika ada orang-orang dari daerah Cepu atau dari keturunan langsung Adipati Cepu naik ke Gunung Lawu, maka nasibnya akan celaka atau mati di Gunung Lawu.
Sehingga gunung yang terletak di perbatasan Kabupaten Karanganyar dan Magetan, Jawa Timur ini sudah cukup populer di kalangan para pendaki.
Gunung yang terkenal dengan julukan Seven Summits of Java (Tujuh Puncak Pulau Jawa) pun kerap dikunjungi pendaki yang ingin berziarah maupun menggelar ritual di puncak Gunung Lawu meski suhu disana bisa mencapai minus lima derajat celcius.
Gunung Lawu konon termasuk paling angker dan menyimpan banyak cerita mengenai keberadaan Raja Majapahit yang terakhir Prabu Brawijaya V.
Bahkan gunung ini kerap menelan korban para pendaki yang tidak berhati-hati. terakhir pada 19 Oktober lalu di mana tujuh pendaki ditemukan tewas terbakar di Gunung Lawu.
Hingga kini Gunung Lawu yang memiliki tiga puncak ini yaitu Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah diyakini dijaga oleh dua makhluk gaib yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala.
Konon kedua penjaga ini tadinya adalah manusia biasa. Mereka adalah kepala dusun di sekitar kaki Gunung Lawu yang menemani Prabu Brawijaya V saat mengasingkan diri di gunung tersebut. Kisah keduanya diceritakan turun temurun oleh penduduk di sekitar kaki gunung tersebut.
Karena kesetiaannya saat menemani Prabu Brawijaya V, Dipa Menggala diangkat menjadi penguasa Gunung Lawu membawahi semua mahluk gaib.
Wilayah kekuasaannya ke barat hingga Gunung Merapi, Merbabu; ke timur hingga Gunung Wilis; ke selatan hingga Pantai Selatan; ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Sementara Wangsa Menggala diangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kiai Jalak.
Sementara ketiga puncak gunung tersebut juga menjadi tempat yang dianggap sakral di Tanah Jawa. Puncak Hargo Dalem misalnya diyakini sebagai tempat moksa (menghilangnya) Prabu Brawijaya V setelah memeluk agama Islam.
Puncak Hargo Dumiling konon dipercaya sebagai tempat moksanya Ki Sabda Palon yang merupakan abdi setia dari Prabu Brawijaya V.Sementara puncak Hargo Dumilah merupakan tempat meditasi bagi penganut kejawen.
Selain itu ada daerah yang warganya dipantang untuk mendaki Gunung Lawu yaitu Cepu Blora. Konon pantangan ini bermula saat Prabu Brawijaya V yang mengasingkan diri dikejar pasukan pimpinan Adipati Cepu yang bermaksud menangkapnya hidup atau mati.
Karena Prabu Brawijaya V merupakan musuh bebuyutan Adipati Cepu. Namun tak satu pun dari pasukan Cepu yang berhasil menangkap Prabu Brawijaya V yang mengasingkan diri ke arah puncak Gunung Lawu melalui hutan belantara.
Di puncak Gunung Lawu, Prabu Brawijaya V mengeluarkan sumpah kepada Adipati Cepu yang konon isinya jika ada orang-orang dari daerah Cepu atau dari keturunan langsung Adipati Cepu naik ke Gunung Lawu, maka nasibnya akan celaka atau mati di Gunung Lawu.
Pada umumnya, perang antara
Majapahit dan Demak dalam naskah-naskah babad dan serat hanya dikisahkan
terjadi sekali, yaitu tahun 1478 Perang ini terkenal sebagai Perang Sudarma
Wisuta, artinya perang antara ayah melawan anak, yaitu Brawijaya melawan Raden
Patah
Naskah babad dan serat tidak mengisahkan lagi adanya perang
antara Majapahit dan Demak sesudah tahun 1478 Padahal menurut catatan Portugis
dan kronik Cina kuil Sam Po Kong, perang antara Demak melawan Majapahit terjadi
lebih dari satu kali
Dikisahkan, pada tahun 1517 Pa-bu-ta-la bekerja sama dengan
bangsa asing di Moa-lok-sa sehingga mengundang kemarahan Jin Bun. Yang dimaksud
dengan bangsa asing ini adalah orang-orang Portugis di Malaka Jin Bun pun
menyerang Majapahit Pa-bu-ta-la kalah namun tetap diampuni mengingat istrinya
adalah adik Jin Bun
Perang ini juga terdapat dalam catatan Portugis Pasukan
Majapahit dipimpin seorang bupati muslim dari Tuban bernama Pate Vira. Selain
itu Majapahit juga menyerang Giri Kedaton, salah satu sekutu Demak di Gresik
Namun, serangan ini gagal di mana panglimanya akhirnya masuk Islam dengan gelar
Kyai Mutalim Jagalpati
Dalam hal ini juga di jelaskan oleh beberapa tokoh spiritual
pada masa itu dalam serat Darmo gandul seperti di bawah ini:
Serat Darmagandul sudah diterbitkan beberapa kali setidaknya
hingga empat kali naik cetak di atas kertas Cetakan ke-empat dilakukan pada
tahun 1955 Dari beberapa sejarah dan karya sastra tersebut mengalami
beberapa tambahan dan sedikit pengurangan. Sementara itu, Darmagandul cetakan
pertama (mungkin dalam bentuk tulisan di atas daun lontar) sangat sulit dilacak
keberadaannya Berikut ini saya sertakan cetakan ke 3 Tanpa ada tendensi apapun
saya menayangkan Darmagandul sekedar menambah dan melestarikan karya sastra
kuno, demi menghargai para leluhur perintis bangsa. Selain itu saya berusaha
semaksimal mungkin untuk mencintai dan menggali produk-produk lokal yang sarat
muatan nilai kearifan Saya pun menyadari sering terjadi pemutarbalikan sejarah
masa lampau terutama apa yang terjadi pada masa abad 15 s/d 19. Dengan harapan
penayangan ini dapat menambah khasanah ilmu yang berfungsi menjadi bandul
penyeimbang sumber sejarah lainnya yang dianggap kontraversi dengan kejadian
masa lalu Dalam konteks ini saya berusaha tidak mengambil sikap pro kontra,
sebaliknya berangkat dari sikap ilmiah, dan etika akademisi Yang terpenting
saya mencoba merambah hakekat ilmu yang "katanya" bebas nilai,
walaupun saya sangat pesimis dengan pendapat tersebut. Namun dengan
sangat menyesal tayangan masih dalam bahasa Jawa sehingga belum bisa dipahami khalayak
umum Sementara ini kami masih menyelesaikan alih bahasa yang dibantu
sahabat-sahabat yang peduli dengan pelestarian kesusastraan kuno
BEBUKA
Sinarkara sarjunireng galih,
myat carita dipangiketira,
kihai Kalamwadine,
ing nguni anggeguru,
puruhita mring Raden Budi,
mangesthi amiluta,
duta rehing guru,
sru sêtya nglampahi dhawah,
panggusthine tan mamang ing lair batin,
pinindha lir Jawata.
Satuduhe Raden Budi ening,
pan ingembun pinusthi ing cipta,
sumungkem lair batine,
tan etung lebur luluh,
pangesthine ing awal akhir,
tinarimeng Bathara,
sasedyanya kabul,
agung nugraheng Hyang Suksma,
sinung ilham ing alam sahir myang kabir,
dumadya auliya.
Angawruhi sasmiteng Hyang Widdhi,
pan biyasa mituhu susetya,
mring dhawuh weling gurune,
kedah medharken kawruh,
karya suka pireneng jalmi,
mring sagung ahli sastra,
tuladhaning kawruh,
kyai Kalamwadi ngarang,
sinung aran srat Darmagandhul jinilid,
sinung tembang macapat.
Pan katemben amaos kinteki,
tembang raras rum seya prasaja,
trewaca wijang raose,
mring tyas gung kumacelu,
yun darbeya miwah nimpeni,
pinirit tinuladha, lelepiyanipun,
sawusnya winaos tamat,
linaksanan tinedhak tinurun sungging,
kinarya nglipur manah.
Pan sinambi-sambi jagi panti,
saselanira ngupaya tedha,
kinarya cagak lenggahe,
nggennya dama cinubluk,
mung kinarya ngarem-aremi,
tarimanireng badan,
anganggur ngethekur,
ngebun - bun pasihaning Hyang,
suprandene tan kaliren wayah siwi,
sagotra minulyarja.
Wus pinupus sumendhe ing takdir,
pan sumarah kumambang karseng Hyang,
ing lokhilmakful tulise,
panitranira nuju,
ping trilikur ri Tumpak manis,
Ruwah Je warsanira,
Sancaya kang windu,
masa Nem ringkêlnya Aryang,
wuku Wukir sangkalanira ing warsi:
wuk guna ngesthi Nata
[taun Jawa 1830].
DARMAGANDHUL
Ing sawijining dina Darmagandhul matur marang Kalamwadi
mangkene "Mau-maune kêpriye dene wong Jawa kok banjur padha ninggal
agama Buddha salin agama Islam?"
Wangsulane Ki Kalamwadi: "Aku dhewe iya ora pati
ngrêti, nanging aku tau dikandhani guruku, ing mangka guruku kuwi iya kêna
dipracaya, nyaritakake purwane wong Jawa padha ninggal agama Buddha banjur
salin agama Rasul".
Ature Darmagandhul: "Banjur kapriye dongengane?"
Ki Kalamwadi banjur ngandika maneh: "Bab iki satêmêne
iya prêlu dikandhakake, supaya wong kang ora ngrêti mula-bukane karêben
ngrêti".
Ing jaman kuna nagara Majapahit iku jênênge nagara
Majalêngka, dene ênggone jênêng Majapahit iku, mung kanggo pasêmon, nanging
kang durung ngrêti dêdongengane iya Majapahit iku jênêng sakawit
Ing nagara Majalêngka kang jumênêng Nata wêkasan jêjuluk
Prabu Brawijaya
Ing wêktu iku, Sang Prabu lagi kalimput panggalihe, Sang
Prabu krama oleh Putri Cêmpa, (2) ing mangka Putri Cêmpa mau agamane Islam,
sajrone lagi sih-sinihan, Sang Rêtna tansah matur marang Sang Nata, bab luruhe
agama Islam, sabên marak, ora ana maneh kang diaturake, kajaba mung mulyakake
agama Islam, nganti njalari katariking panggalihe Sang Prabu marang agama Islam
mau.
Ora antara suwe kaprênah pulunane Putri Cêmpa kang aran
Sayid Rakhmat tinjo mênyang Majalêngka, sarta nyuwun idi marang Sang Nata,
kaparênga anggêlarake sarengate agama Rasu Sang Prabu iya marêngake apa kang
dadi panyuwune Sayid rakhmat mau. Sayid Rakhmat banjur kalakon dhêdhukuh ana
Ngampeldênta ing (3) anggêlarake agama Rasul Ing kono banjur akeh para ngulama
saka sabrang kang padha têka, para ngulama lan para maulana iku padhamarêk sang
Prabu ing Majalêngka, sarta padha nyuwun dhêdhukuh ing pasisir. Panyuwunan
mangkono mau uga diparêngake dening Sang Nata Suwe-suwe pangidhêp mangkono mau
saya ngrêbda, wong Jawa banjur akeh bangêt kang padha agama Islam.
Sayid Kramat dadi gurune wong-wong kang wis ngrasuk agama
Islam kabeh, dene panggonane ana ing Benang (4) bawah Tuban. Sayid Kramat iku
maulana saka ing 'Arab têdhake Kanjêng Nabi Rasulu'llah, mula bisa dadi gurune
wong Islam. Akeh wong Jawa kang padha kelu maguru marang Sayid Kramat. Wong
Jawa ing pasisir lor sapangulon sapangetan padha ninggal agamane Buddha, banjur
ngrasuk agama Rasul Ing Balambangan sapangulon nganti tumêka ing Bantên, wonge
uga padha kelu rêmbuge Sayid Kramat
Mangka agama Buddha iku ana ing tanah Jawa wis kêlakon urip
nganti sewu taun, dene wong-wonge padha manêmbah marang Budi Hawa. Budi
iku Dzate Hyang Widdhi, Hawa iku karêping hati, manusa ora bisa apa-apa, bisane
mung sadarma nglakoni, budi kang ngobahake.
Sang Prabu Brawijaya kagungan putra kakung kang patutan saka
Putri Bangsa Cina, miyose putra mau ana ing Palembang, diparingi têtêngêr Raden
Patah
Barêng Raden Patah wis diwasa, sowan ingkang rama, nganti
sadhereke seje rama tunggal ibu, arane Raden Kusen. Satêkane Majalêngka Sang
Prabu kewran panggalihe ênggone arêp maringi sêsêbutan marang putrane, awit yen
miturut lêluri saka ingkang rama, Jawa Buddha agamane, yen nglêluri lêluhur
kuna, putraning Nata kang pambabare ana ing gunung, sêsêbutane Bambang. Yen
miturut ibu, sêsêbutane: Kaotiang, dene yen wong 'Arab sêsêbutane Sayid utawa
Sarib. Sang Prabu banjur nimbali patih sarta para nayaka, padha dipundhuti
têtimbangan ênggone arêp maringi sêsêbutan ingkang putra mau Saka ature Patih,
yen miturut lêluhur kuna putrane Sang Prabu mau disêbut Bambang, nanging
sarehne ibune bangsa Cina, prayoga disêbut Babah, têgêse pambabare ana nagara
liya. Ature Patih kang mangkono mau, para nayaka uga padha mupakat, mula Sang
Nata iya banjur dhawuh marang padha wadya, yen putra Nata kang miyos ana ing
Palembang iku diparingi sêsêbutan lan asma Babah Patah. Katêlah nganti tumêka
saprene, yen blastêran Cina lan Jawa sêsêbutane Babah. Ing nalika samana, Babah
Patah wêdi yen ora nglakoni dhawuhe ingkang rama, mulane katone iya sênêng,
sênênge mau amung kanggo samudana bae, mungguh satêmêne ora sênêng bangêt
ênggone diparingi sêsêbutan Babah iku.
Ing nalika iku Babah Patah banjur jinunjung dadi Bupati ing
Dêmak, madanani para bupati urut pasisir Dêmak sapangulon, sarta Babah Patah
dipalakramakake oleh ing Ngampelgadhing, kabênêr wayahe kiyai Agêng Ngampel.
Barêng wis sawatara masa, banjur boyong marang Dêmak, ana ing desa Bintara,
sarta sarehne Babah Patah nalika ana ing Palembang agamane wis Islam, anane ing
Dêmak didhawuhi nglêstarekake agamane, dene Raden Kusen ing nalika iku
jinunjung dadi Adipati ana ing Têrung (5), pinaringan nama sarta
sêsêbutan Raden Arya Pêcattandha.
Suwening suwe sarak Rasul saya ngrêbda, para ngulama padha
nyuwun pangkat sarta padha duwe sêsêbutan Sunan, Sunan iku têgêse budi, uwite
kawruh kaelingan kang bêcik lan kang ala, yen wohe budi ngrêti marang kaelingan
bêcik, iku wajib sinuwunan kawruhe ngelmu lair batin.
Ing wêktu iku para ngulama budine bêcik-bêcik, durung padha
duwe karêp kang cidra, isih padha cêgah dhahar sarta cêgah sare sang Prabu
Brawijaya kagungan panggalih, para ngulama sarake Buddha, kok nganggo sêsêbutan
Sunan, lakune isih padha cêgah mangan, cêgah turu. Yen sarak rasul, sirik cêgah
mangan turu, mung nuruti rasaning lesan lan awak. Yen cêgah mangan rusak, Prabu
Brawijaya uga banjur paring idi Suwe-suwe agama Rasul saya sumêbar. Ing
wêktu iku ana nalar kang aneh, ora kêna dikawruhi sarana netra karna sarta
lesan, wêtune saka engêtan, jroning utêk iku yen diwarahi budi nyambut gawe,
kang maca lan kang krungu nganggêp têmên lan ora, iya kudu ditimbang ing
sabênêre, saiki isih ana wujuding patilasane, isih kêna dinyatakake, mula saka
pangiraku iya nyata.
Dhek nalika samana Sunan
Benang sumêdya tindak marang Kadhiri, kang ndherekake mung sakabat loro
Satêkane lor Kadhiri, iya iku ing tanah Kêrtasana, kêpalangan banyu,
kali Brantas pinuju banjir Sunan Benang sarta sakabate loro padha nyabrang,
satêkane wetan kali banjur niti-niti agamane wong kono apa wis Islam, apa isih
agama Budi. Ature Ki Bandar wong ing kono agamane Kalang, sarak
Buddha mung sawatara, dene kang agama Rasul lagi bribik-bribik, wong ing kono
akeh padha agama Kalang, mulyakake Bandung Bandawasa. Bandung
dianggêp Nabine, yen pinuji dina Riyadi, wong-wong padha bêbarêngan mangan
enak, padha sênêng-sênêng ana ing omah. Sunan Benang ngandika: "Yen ngono
wong kene kabeh padha agama Gêdhah, Gêdhah iku ora irêng ora putih,
tanah kene patut diarani Kutha Gêdhah".
Ki Bandar matur: "Dhawuh pangandika panjênêngan,
kula ingkang nêkseni". Tanah saloring kutha kadhiri banjur jênêng
Kutha Gêdhah, nganti têkane saiki isih karan Kutha Gêdhah, nanging kang
mangkono mau arang kang padha ngrêti mula-bukane.
Sunan Benang ngandika marang sakabate: "Kowe goleka
banyu imbon mênyang padesan, kali iki isih banjir, banyune isih buthêk, yen
diombe nglarani wêtêng, lan maneh iki wancine luhur, aku arêp wudhu, arêp
salat".
Sakabate siji banjur lunga mênyang padesan arêp golek banyu,
têkan ing desa Pathuk ana omah katone suwung ora ana wonge lanang,
kang ana mung bocah prawan siji, wajah lagi arêp mêpêg birahi, ing wêktu iku
lagi nênun. Sakabat têka sarta alon calathune: "mBok Nganten, kula nêdha
toya imbon bêning rêsik". mBok Prawan kaget krungu swarane wong lanang,
barêng noleh wêruh lanang sajak kaya santri, MBok Prawan salah cipta,
pangrasane wong lanang arêp njêjawat, mêjanani marang dheweke, mula ênggone
mangsuli nganggo têmbung saru: "ndika mêntas liwat kali têka ngangge
ngarani njaluk banyu imbon, ngriki botên entên carane wong ngimbu banyu, kajaba
uyuh kula niki imbon bêning, yen sampeyan ajêng ngombe".
Santri krungu têtêmbungan mangkono banjur lunga tanpa pamit
lakune dirikatake sarta garundêlan turut dalan, satêkane ngarsane Sunan Benang
banjur ngaturake lêlakone nalika golek banyu Sunan Benang mirêng ature
sakabate, bangêt dukane, nganti kawêtu pangandikane nyupatani, ing panggonan
kono disabdakake larang banyu, prawane aja laki yen durung tuwa, sarta jakane
aja rabi yen durung dadi jaka tuwa, barêng kêna dayaning pangandika mau, ing
sanalika kali Brantas iline dadi cilik, iline banyu kang gêdhe nyimpang nrabas
desa alas sawah lan patêgalan, akeh desa kang padha rusak, awit katrajang
ilining banyu kali kang ngalih iline, kali kang maune iline gêdhe sanalika dadi
asat. Nganti tumêka saprene tanah Gêdhah iku larang banyu, jaka lan prawane iya
nganti kasep ênggone omah-omah. Sunan Benang têrus tindak mênyang Kadhiri.
Ing wêktu iki ana dhêmit jênênge Nyai Plêncing, iya iku
dhêmit ing sumur Tanjungtani, tansah digubêl anak putune, padha wadul yen
ana wong arane Sunan Benang, gawene nyikara marang para lêlêmbut,
ngêndêl-êndêlake kaprawirane, kali kang saka Kadhiri disotake banjur asat
sanalika, iline banjur salin dalan kang dudu mêsthine, mula akeh desa, alas,
sawah sarta patêgalan, kang padha rusak, iya iku saka panggawene Sunan Benang,
kang uga ngêsotake wong ing kono, lanang wadon ngantiya kasep ênggone
omah-omah, sarta kono disotake larang banyu sarta diêlih jênênge tanah aran
Kutha Gêdhah, Sunan Benang dhêmêne salah gawe. Anak putune Nyai Plêncing padha
ngajak supaya Nyai Plêncing gêlêma nêluh sarta ngrêridhu Sunan Benang, bisaa
tumêka ing pati, dadi ora tansah ganggu gawe Nyai Plêncing krungu wadule anak
putune mangkono mau, enggal mangkat mêthukake lakune Sunan Benang, nanging
dhêmit-dhêmit mau ora bisa nyêdhaki Sunan Benang, amarga rasane awake padha
panas bangêt kaya diobong. Dhêmit-dhêmit mau banjur padha mlayu marang Kadhiri,
satêkane ing Kadhiri, matur marang ratune, ngaturake kahanane kabeh Retune
manggon ing Selabale. (6) Jênênge Buta Locaya, dene Selabale iku dununge
ana sukune gunung Wilis. Buta Locaya iku patihe Sri Jayabaya, maune
jênênge kiyai Daha, duwe adhi jênênge kiyai Daka. Kiyai daha iki
cikal-bakal ing Kadhiri, barêng Sri Jayabaya rawuh, jênênge kiyai Daha
dipundhut kanggo jênênge nagara, dheweke diparingi Buta Locaya, sarta banjur
didadekake patihe Sang Prabu Jayabaya.
Buta iku têgêse: butêng utawa bodho, Lo têgêse kowe, caya
têgêse: kêna dipracaya, kiyai Buta Locaya iku bodho, nanging têmên mantêp
sêtya ing Gusti, mulane didadekake patih. Wiwite ana sêbutan kiyai, iya iku
kiyai daha lan kiyai Daka, kiyai têgêse: ngayahi anak putune sarta wong-wong
ing kanan keringe.
Jêngkare Sri Narendra anjujug ing omahe kiyai Daka, ana ing
kono Sang Prabu sawadya-balane disugata, mula sang Prabu asih bangêt marang
kiyai Daka, jênênge kiyai Daka dipundhut kanggo jênêng desa, dene kiyai
Daka banjur diparingi jênêng kiyai Tunggulwulung, sarta dadi senapatining pêrang.
Samuksane Sang Prabu Jayabaya lan putrane putri kang aran Ni
Mas Ratu Pagêdhongan, Buta Locaya lan kiyai Tunggulwulung uga padha
muksa; Ni Mas Ratu Pagêdhongan dadi ratuning dhêmit nusa Jawa, kuthane ana
sagara kidul sarta jêjuluk Ni Mas Ratu Anginangin. Sakabehe lêlêmbut kang
ana ing lautan dharatan sarta kanan keringe tanah Jawa, kabeh padha sumiwi
marang Ni Mas Ratu Anginangin
Buta Locaya panggonane ana ing Selabale, dene kiyai
Tunggulwulung ana ing gunung Kêlut, rumêksa kawah sarta lahar, yen
lahar mêtu supaya ora gawe rusaking desa sarta liya-liyane.
Ing wêktu iku kiyai Buta Locaya lagi lênggah ana ing kursi
kêncana kang dilemeki kasur babut isi sari, sarta kinêbutan êlaring mêrak,
diadhêp patihe aran Megamêndhung, lan putrane kakung loro uga padha ngadhêp,
kang tuwa arane Panji Sêktidiguna, kang anom aran panji Sarilaut.
Buta Locaya lagi ngandikan karo kang padha ngadhêp, kaget
kasaru têkane Nyai Plêncing, ngrungkêbi pangkone, matur bab rusake tanah lor
Kadhiri, sarta ngaturake yen kang gawe rusak iku, wong saka Tuban kang sumêdya
lêlana mênyang Kadhiri, arane Sunan Benang. Nyai Plêncing ngaturake sus
Bersambung ke bagian 2 Jejak Brawijaya V / Sunan Lawu