KISAH "SYEKH SUBAKIR SEORANG WALIYULLAH, "SANG PENUMBAL DAN PENUMPAS DEDEMIT" DI TANAH JAWA

/ 1 Mei 2020 / 5/01/2020 09:30:00 PM
Maqom Syekh Subakir di Gunung Tidar Magelang


Oleh : M Rodhi irfanto
Red, POLICEWATCH,- Di Indonesia, banyak sekali ulama yang populer mendakwahkan agama Islam selain Wali Songo. Salah satu ulama yang populer, khususnya di masyarakat muslim Jawa Tengah, adalah Syekh Subakir. Ia merupakan ulama besar di Nusantara sebelum hadirnya Wali Songo.

Konon, kewalian Syekh Subakir diyakini masyarakat luas lantaran memiliki kekuatan luar biasa dalam mengusir lelembut yang ada di tanah Jawa.

Perkembangan agam Islam yang pesat di Pulau Jawa, tak lepas dari jasa besar dari para Wali Songo yang menjadi penyebarnya. Meski masing-masing dari para figur para wali tersebut dikenal luas oleh generasi di era modern, ada sebuah nama yang mungkin jarang terdengar namun memiliki jasa besar bagi proses penyebaran agama Islam di Pulau Jawa.


Sosok tersebut adalah Syekh Subakir, ulama asal Persia yang merupakan generasi Wali Songo Pertama dalam upaya penyebaran Islam di tanah Jawa. Diutus oleh khalifah dari Kesultanan Turki Utsmaniyah Sultan Muhammad I, Syekh Subakir juga dikenal lantaran keberhasilannya menaklukkan bangsa jin di pulau Jawa. Seperti apa kisahnya?


Diutus untuk menangani perkara yang berkaitan dengan urusan ghaib di Pulau Jawa

Sebagai ulama besar, Syekh Subakir secara khusus diutus oleh Sultan Muhammad I dari kekalifahan Usmani di Instanbul, Turki. Tak sendiri, ia bersama delapan orang lainnya yang merupakan rombongan Wali Songo Periode Pertama yang akan berangkat ke Pulau Jawa. Masing-masing dari utusan tersebut, memiliki keahlian tertentu.

Khusus untuk Syekh Subakir, dirinya mempunyai keahlian di bidang ilmu spiritual dan spesialis menetralisir daerah angker yang dihuni oleh jin jahat. Saat tiba di tanah Jawa, Syekh Subakir mendapati bahwa masyarakat pulau tersebut rupa-rupanya masih memegang teguh kepercayaan lama yang bercampur dengan hal-hal mistis.

Syekh Subakir mengetahui bahwa keberadaan para jin kafir di sanalah yang menjadi penyebab agama Islam sulit berkembang karena kerap dihalang-halangi. Untuk mengatasi masalah spiritual ini, ia membawa batu bertuah dari tanah Arab yang telah dirajah.
Tugu di tanamnya Batu Hitam yang sekarang dikenal sebagai PAKUNYA Pulau Jawa

Kemudian, batu yang dikenal dengan nama Aji Kalacakra inilah yang digunakan Syekh Subakir untuk menetralisir kekuatan negatif dari bangsa jin di sana agar menghilang. Karena memancarkan hawa yang sangat panas selama tiga hari tiga malam, banyak dari para bangsa jin yang tak kuat hingga memutuskan untuk menyingkir ke lautan.


Menurut sumber dan cerita yang berkembang, Syekh Subakir membawa batu hitam yang dipasang di seantero Nusantara sebagai benda yang diyakini memiliki kekuatan magis positif. Di tanah Jawa, batu tersebut konon ditancapkan di tengah-tengah Pulau Jawa yakni di Gunung Tidar, Magelang, Jawa Tengah.

Batu hitam yang memiliki energi positif untuk menghalau kekuatan gaib di tanah Jawa tersebut membuat jin, lelembut, dan mahluk gaib lainnya bergejolak melawan kekuatan dari Syekh Subakir. Pertempuran kekuatan gaib tersebut akhirnya dimenangkan oleh Syekh Subakir.

Oleh karena itu, Gunung Tidar sebagai 'pusarnya Pulau Jawa' menjadi gunung sakral yang memiliki kepanjangan dalam bahasa Jawa 'nek ora mati yo modar' (kalau tidak mati ya binasa).

Figur besar penyebar Islam yang dikenal dengan kesaktiannya

Salah satu kisahnya yang masyhur adalah, saat Syekh Subakir beradu kesaktian dengan Ki Semar Badranaya Sang Danyang Tanah Jawa alias Sabda Palon selama 40 hari 40 malam. Karena keduanya merupakan tokoh sakti, Sabda Palon sampai menawarkan perundingan kepada ulama asal Persia itu.
Oleh Sabda Palon, Syekh Subakir diperbolehkan menyebarkan agama Islam namun dengan beberapa syarat, yakni membiarkan adat dan budaya tetap berkembang sebagaimana mestinya. 

Sabda Palon bahkan mengijinkan para raja yang nantinya beragama Islam untuk berkuasa di tanah Jawa.
prasasti atau petilasan tempat eyang ismoyo jati (SEMAR)


Sebagai salah satu dari wali sembilan yang menyebarkan Islam di tanah Jawa, sosok Syekh Subakir memang tak banyak dikenal oleh masyarakat modern saat ini. Meski demikian, jasa-jasa dan kisahnya di masa lalu tetap akan dikenang dan tak lekang oleh zaman. Hal ini ditandai dengan adanya petilasan Syekh Subakir yang masih tetap ada hingga saat ini di gunung tidar magelang


(Semar itu/ Pamomong ksatria utama/ Hati dan raganya Selalu menjadi satu/ Seluruh dusta dan khianat habis terkikis)

Semar dipuja oleh dewa dari sebutir telur. Dari kulitnya terciptalah Antaga. Dari dagingnya yang putih terciptalah dirinya. Dan dari kuning itu telur terciptalah adiknya, Manikmaya.

Syahdan, setelah beranjak dewasa, terbitlah ambisi di antara ketiganya. Mereka berebut tua. Maklum, seperti lazimnya, yang tertua akan menjadi sang pengganti ayahanda. Sayembara dimulai: menelan kemudian memuntahkan kembali sebuah gunung.

Antaga tak berhasil, mulutnya sobek. Gunung itu tak dapat ditelannya. Ismaya, putera kedua dari Sang Hyang Tunggal ini, berhasil menelannya. Tapi celaka, gunung itu tak dapat dimuntahkannya. Perutnya buncit, mengandung itu gunung.

Mereka berdua, Antaga dan Ismaya, nggege mangsa (terburu-buru), menyebabkan murkanya sang ayahanda. Sudah jelek terkutuk pula. Keduanya dibuang ke dunia. Antaga bertugas memomong para ksatria berwatak jahat. Dan Ismaya memomong para ksatria utama, trahing witaradya (keturunan manusia utama).

Tinggallah Manikmaya, ketiban beja (beruntung), ambisi tak terlampiaskan tersebab gunung telah terbenam dalam perut Ismaya. Maka atas nama beja (peruntungan) jadilah ia sang penguasa Triloka yang jika dirunut menurunkan para ksatria utama.

Siapa di antara ketiganya yang sesungguhnya paling tua? Banyak sumber mengatakan, Manikmaya, karena ia tak kebagian pamer. Tapi tak sesederhana itu sebenarnya. Jawa nggone semu, jawa itu tempatnya kiasan, yang tak mudah ditelan mentahan.

Kisah Perjanjian antara Sabdopalon dengan Syeh Subakir


Konon ada semacam perjanjian antara Sabdopalon sebagai Pamomong (Danyang Gaib) Tanah Jawa dengan Syeh Subakir sebagai penyebar Agama Islam generasi awal di Jawa ini. Tersebutlah kisah tersebut dalam tulisan lontar kuno. Lontar tersebut diperkirakan ditulis oleh Kanjeng Sunan Drajad atau setidak – tidaknya oleh murid atau pengikut beliau.

Cerita tentang kisah ini pernah dipentaskan sebagai lakon wayang kulit bergenre wayang songsong (wayang kulit yang berisi cerita hikayat dan legenda Jawa) yang digelar di Desa Drajad, Paciran, Lamongan ( sebuah desa tempat situs Sunan Drajad ).

Kisah diawali dengan adanya persidangan di Istana Kesultanan Turki Utsmania di Istambul yang dipimpin langsung oleh Sultan Muhammad I. Persidangan kali ini membahas mimpi Sang Sultan. Menurut Sultan Muhammad, beliu bermimpi mendapat perintah untuk menyebarkan dakwah islamiah ke Tanah Jawa. Adapun mubalighnya haruslah berjumlah sembilan orang. Jika ada yang pulang atau wafat maka akan digantikan oleh ulama lain asal tetap berjumlah sembilan.

Maka dikumpulkanlah beberapa ulama terkemuka dari seluruh dunia Islam waktu itu. Para ulama yang dikumpulkan tersebut mempunyai spesifikasi keahlian masing-masing. Ada yang ahli tata negara, ahli perubatan, ahli tumbal, dll. Titah dari Baginda Sultan Muhammad kepada mereka adalah perintah untuk mendatangi Tanah Jawa dengan tugas khusus yaitu penyebaran Agama Islam.

Dibawah ini adalah dialog antara Sabdopalon dengan Syeh Subakir yang terjadi di atas Gunung Tidar. 

Syeh Subakir adalah salah satu ulama yang diutus Sultan Muhammad untuk menyebarkan Islam di Tanah Jawa ini. Adapun keahlian Syeh Subakir adalah dalam bidang membuat danmemasang tumbal. Dialog yang penulis turunkan ini adalah dialog versi imaginer yang penulis olah dari hikayat tersebut dengan bahasa penulis sendiri.

Syeh Subakir : Kisanak, siapakah kisanak ini, tolong jelaskan.

Sabdopalon :  Aku ini Sabdopalon, pamomong (penggembala) Tanah Jawa sejak jaman dahulu kala. Bahkan sejak jaman kadewatan (para dewa) akulah pamomong para kesatria leluhur. Dulu aku dikenali sebagai Sang Hyang Ismoyo Jati, lalu dikenal sebagai Ki Lurah Semar Bodronoyo dan sekarang jaman Majapahit ini namaku dikenal sebagai Sabdopalon.

Syeh Subakir : Oh, berarti Kisanak ini adalah Danyang (Penguasa) Tanah Jawa ini. Perkenalkan Kisanak, namaku adalah Syeh Subakir berasal dari Tanah Syam Persia.

Sabdopalon : Ada hajad apa gerangan Jengandiko (Anda) rawuh (datang) di Tanah Jawa ini ?

Syeh Subakir : Saya diutus oleh Sultan Muhammad yang bertahta di Negeri Istambul untuk datang ke Tanah Jawa ini. Saya tiadalah datang sendiri. Kami datang dengan beberapa kawan yang sama-sama diutus oleh Baginda Sultan.

Sabdopalon : Ceritakanlah selengkapnya Kisanak. Supaya aku tahu duduk permasalahannya.

Syeh Subakir : Baiklah. Pada suatu malam Baginda Sultan Muhammad bermimpi menerima wisik (ilham). Wisik dari Hyang Akaryo Jagad, Gusti Allah Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Luhur. Diperintahkan untuk mengutus beberapa orang ‘alim ke Tanah Jawa ini. Yang dimaksud orang ‘alim ini adalah sebangsa pendita, brahmana dan resi di Tanah Hindu. Pada bahasa kami disebut ‘Ulama.

Sabdopalon : Jadi Jengandiko ini termasuk ngulama itu tadi ?

Syeh Subakir : Ya, saya salah satu dari utusan yang dikirim Baginda Sultan. Adapun tujuan kami dikirim kemari adalah untuk menyebarkan wewarah suci (ajaran suci), amedar agama suci. Yaitu Islam.

Sabdopalon : Bukankah Kisanak tahu bahwa di Tanah Jawa ini sudah ada agama yang berkembang yaitu Hindu dan BudHa yang berasal dari Tanah Hindu ? Buat apa lagi Kisanak menambah dengan agama yang baru lagi ?

Syeh Subakir : Biarkan kawulo dasih (rakyat) yang memilih keyakinannya sendiri. Bukankah Kisanak sendiri sebagai Danyangnya Tanah Jawa lebih paham bahwa sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa ini, disinipun sudah ada kapitayan (kepercayaan) ? Kapitayan atau ‘ajaran’ asli Tanah Jawa yang berupa ajaran Budhi ?

Sabdopalon : Ya, rupanya Kisanak sudah menyelidiki kawulo Jowo disini. Memang disini sejak jaman sebelum ada agama Hindu dan Budha, sudah ada ‘kapitayan’ asli. Kapitayan adalah kepercayaan yang hidup dan berkembang pada anak cucu di Nusantara ini.

Syeh Subakir : Jika berkenan, tolong ceritakan bagaimana kapitayan yang ada di Tanah Jawa ini.

Sabdopalon : Secara ringkas Kepercayaan Jawa begini. Manusia Jawa sejak dari jaman para leluhur dahulu kala meyakini ada Sang Maha Kuasa yang bersifat ‘tan keno kinoyo ngopo’, tidak bisa digambarkan bagaimana keadaannya. Dialah pencipta segala-galanya. Bawono Agung dan Bawono Alit. Jagad besar dan jagad kecil. Alam semesta dan ‘alam manusia’. Wong Jowo meyakini bahwa Dia Yang Maha Kuasa ini dekat. Juga dekat dengan manusia. Dia juga diyakini berperilaku sangat welas asih.
Dia juga diyakini meliputi segala sesuatu yang ada. Karena itu masyarakat Jawa sangat menghormati alam sekelilingnya. Karena bagi mereka semuanya mempunyai sukma. Sukma ini adalah sebagai ‘wakil’ dari Dia Yang Maha Kuasa itu.
Jika masyarakat Jawa melakukan pemujaan kepada Sang Pencipta, mereka lambangkan dengan tempat yang suwung. Suwung itu kosong namun sejatinya bukan kosong namun berisi SANG MAHA ADA. Karena itu tempat pemujaan orang Jawa disebut Sanggar Pamujan. Di salah satu bagiannya dibuatlah sentong kosong (tempat atau kamar kosong) untuk arah pemujaan. Karena diyakini bahwa dimana ada tempat suwung disitu ada Yang Maha Berkuasa.

Syeh Subakir : Nah itulah juga yang menjadi ajaran agama yang kami bawa. Untuk memberi ageman (pegangan atau pakaian) yang menegaskan itu semua. Bahwa sejatinya dibalik semua yang maujud ini ada Sang Wujud Tunggal yang menjadi Pencipta, Pengatur dan Pengayom alam semesta. Wujud tunggal ini dalam bahasa Arab disebut Al Ahad. Dia maha dekat kepada manusia, bahkan lebih dekat Dia daripada urat leher manusianya sendiri. Ajaran agama kami menekankan budi pekerti yang agung yaitu menebarkan welas asih kepada alam gumebyar, kepada sesama sesama titah atau makhluk.
Lihatlah Sang Danyang, betapa sudah rusaknya tatanan masyarakat Majapahit sekarang. Bekas-bekas perang saudara masih membara. Rakyat kelaparan. Perampokan dan penindasan ada dimana-mana. Ini harus diperbaharui budi pekertinya.

Sabdopalon : Aku juga sedih sebenarnya memikirkan rakyatku. Tatanan sudah bubrah. Para pejabat negara sudah lupa akan dharmanya. Mereka salin sikut untuk merebutkan jabatan dan kemewahan duniawi. Para pandito juga sudah tak mampu berbuat banyak. Orang kecil salang tunjang (bersusah payah) mencari pegangan. Jaman benar-benar jaman edan.

Syeh Subakir : Karena itulah mungkin Sang Maha Jawata Agung menyuruh Sultan Muhammad Turki untuk mengutus kami ke sini. Jadi, wahai Sang Danyang Tanah Jawa, ijinkanlah kami menebarkan wewarah suci ini di wewengkon (wilayah) kekuasaanmu ini.

Sabdopalon : Baiklah jika begitu. Tapi dengan syarat -syarat yang harus kalian patuhi.

Syeh Subakir : Apa syaratnya itu wahai Sang Danyang Tanah Jawa ?

Sabdopalon : 
-Pertama, Jangan ada pemaksaan agama, dharma atau kepercayaan. 
-Kedua, Jika hendak membuat bangunan tempat pemujaan atau ngibadah, buatlah yang wangun (bangunan) luarnya nampak cakrak (gaya) Hindu Jawa walau isi dalamannya Islam. 
-Ketiga, jika mendirikan kerajaan Islam maka Ratu yang pertama harus dari anak campuran. Maksud campuran adalah jika bapaknya Hindu maka ibunya Islam. Jika bapaknya Islam maka ibunya harus Hindu. 
-Keempat, jangan jadikan Wong Jowo berubah menjadi orang Arab atau Parsi. Biarkan mereka tetap menjadi orang Jawa dengan kebudayaan Jawa walau agamanya Islam. Karena agama setahu saya adalah dharma, yaitu lelaku hidup atau budi pekerti. Hati-hati jika sampai Orang Jawa hilang Jawanya, hilang kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung maka aku akan datang lagi. Ingat itu. Lima ratus tahun lagi jika syarat – syarat ini kau abaikan aku akan muncul membuat goro-goro.

Syeh Subakir : Baiklah. Syarat pertama sampai keempat aku setujui. Namun khusus syarat keempat, betapapun aku dengan kawan-kawan akan tetap menghormati dan melestarikan budaya Jawa yang adiluhung ini. Namun jika suatu saat kelak karena perkembangan jaman dan ada perubahan maka tentu itu bukan dalam kuasaku lagi. Biarlah Gusti Kang Akaryo Jagad yang menentukannya.

Memang susah untuk mengetahui keadaan, asal usul atau gambaran kondisi sebuah masyarakat nun jauh ke masa lalu. Semakin jauh masa itu, semakin gelap gambarannya. Namun, upaya-upaya ahli sejarah dan lainnya untuk menguaknya patut dihargai. Paling tidak ada sedikit gambaran yang mungkin bisa kita lihat, meski tidak sepenuhnya benar seratus persen.

Beberapa naskah yang beredar mencoba menggambarkan hal itu. Seperti dalam Serat Jangka Syeh Subakir.

“Sampun sangang ewu warsa, inggih wonten pulo ngriki, dedukuh ing hardi Tidar, saweg antuk sewu warsi, langkung taun puniki, Syech Bakir gawok angrungu, dika niku wong napa, napa ta ayekti janmi, umur dika dene ta kaliwat-liwat”

Yang artinya antara lain :
“Sudah 9000 tahun, ya (saya Semar) sudah ada di pulau ini (Jawa), di pedusunan di Gunung Tidar, tapi baru 1000 tahun berjalan, di sini, Syech Subakir heran mendengarnya, engkau ini makhluk apa, apa benar manusia? Kok usianya luar biasa?”

Demikian perkenalan Semar dengan Syech Subakir. Selama ribuan tahun itu Semar bertapa di Gunung Merbabu dan tidak mengetahui keadaan manusia di Jawa. Gambaran tentang kondisi Pulau Jawa juga digambarkan dalam Serat tersebut penuh dihuni oleh demit, jin, gendruwo bekasaan dan sejenisnya. Bahkan beberapa utusan dari negeri Rum sebelum Syeh Subakir dimakan demit (Binadog demit). Dari serat ini, ditegaskan bahwa Raja Rum mendapat petunjuk untuk mengisi pulau Jawa : “jeng Sultan Rum kang winarni, angsal sasmitaning Sukma, dinawuhan angiseni, manungsa pilo Jawi,…”

Syeh subakir mengambil orang-orang Keling (?) untuk dibawa mengisi pulau Jawa, sebanyak 2 laksa (20000) keluarga. Dari serat ini, maka yang mengisi (menjadi penghuni P. Jawa) adalah dari bangsa Keling yang dibawa oleh Syeh Subakir. Padahal dalam naskah itu pula, Semar adalah manusia.

“Sang Hyang Semar lon wuwusnya, gih sumangga karsa Aji, sajatine gih kawula, lan kiraka tiyang Jawi, ing kina prapteng mangkin, kawak daplak inggih ulun, wong Jawa kuna mula, saderenga dika prapti, kula manggen Marbabu pucak haldaka”.

Namun, selama bertapa ribuan tahun itu pula pulau Jawa sudah berubah isinya, bukan manusia seperti Semar, tetapi sudah dikuasai oleh para demit.

Dalam SERAT JANGKA TANAH JAWI gambarannya tidak beda jauh dengan serat Jangak Syeh Subakir, yaitu pertemuan antara Semar dengan Syeh Subakir ketika memberi tumbal (mengusir) para dedemit yang menguasai tanah Jawa. Dalam serat ini ada dialog yang sebenarnya adalah bantahan anggapan bahwa tanah Jawa belum dihuni oleh manusia, hanya oleh bangsa jin dan demit.

“Syekh Bakir lon angandika, sayrkti ing tanah Jawi, pan durung ana manungsa, pan isih rupa wanadri, Hyang Semar matur aris, kawula sajatosipun, ing kina makina, saderenging tuwan prapti, hamba kalih dhedhukuh Rebabu arga”

Artinya :
Syeh Subakir berkata, sebenarnya di tanah Jawa, belum ada manusia, masih berupa hutan. Hyang Semar menjawab dengan lembut, hamba ini sebenarnya, di masa lalu, sebelum kedatangan tuan, hamba berdua (Semar dan Togog) ini penghuni Jawa yang bertempat di gunung Merbabu”.

Namun, dalam serat ini Semar sendiri menjelaskan bahwa dia bukan manusia, tetapi keturunan dewa, Sang Yang Tunggal atau Manikmaya. Agak sedikit berbeda memang dengan serat Jangka Syeh Subakir. Namun pada intinya bahwa Semar dan Togog di masa lalu adalah penghuni pulau Jawa.

 Apakah hanya mereka berdua? Tentu ini bisa disinkronkan dengan sumber-sumber lain misalnya Babad Demak Pesisiran yang menerangkan silsilah orang tua Syang Hyang Tunggal adalah Sang Yang Wenang, putra dari Sang Yang Wening, putra dari Sang Yang Nurasa, putra dari Sang Yang Nurcahyo atau Sayid Anwar, putra dari Nabi Sis.

 (dalam versi lain, Sang Yang Wening dan Wenang adalah satu pribadi). Dalam Serat Jangka Tanah Jawi, Semar adalah keturunan dari Nabi Sis (jika digabungkan Babad Demak Pesisiran, karena anak dari Sang Yang Tunggal). Namun, dalam Babad Demak Pesisiran, nama Semar tidak muncul sebagai anak Sang Yang Tunggal. 

Di sinilah letak gelapnya lagi, Semar di satu sisi mengaku anak Sang Yang Tunggal, namun dalam babad Demak Pesisiran, tidak masuk. Demikian pula dalam Babad Tanah Jawa, Semar dan Togog itu menjadi “penderek” Raden Palasara yang merupakan keturunan dari Sayid Anwar. Dalam babad Tanah Jawa, Palasara merupakan cikal bakal leluhur Jawa, dimana kemudian, Kurawa, Pandawa adalah bagian dari keturunannya (ini menjadi terbalik, bahwa kisah mahabarata itu mulanya dari Jawa).

Dalam serat Babad Demak Pesisiran, Nabi Ibrahim itu berbeda dengan Bathara Brhama. Nabi Ibrahim berada pada garis silsilah Sayid Anwas (saudara Sayid Anwar). Batara Brahma adalah keturunan dari Sayid Anwar.

Masa-masa gelap ini memang memunculkan banyak versi mengenai leluhur Jawa. Buku lain, yaitu SEJARAH KAWITANE WONG JAWA LAN WONG KANUNG menggambarkan : 

- Pertama jaman jamajuja (puluhan ribu- buku ini ditulis pada tahun 1931) sudah ada manusia, tetapi masih bertelanjang, seperti kera, hidupnya di gua-gua. Masih dalam masa jamajuja periode 5000 tahun (sebelumnya) manusianya sudah mengalami kemajuan, sudah memakai cawet dari dedaunan, sudah menempati di luar gua. Mereka sudah berkumpul dalam sebuah komunitas. 

Masyarakat ini disebut dengan masyarakat Lingga (Suku Lingga). Masa kuna (sebelum masehi), orang-orang Sampit berhijrah ke Nusa Kendheng yang kemudian disebut sebagai orang Jawa. Kata Jawa sendiri dirujukkan pada sebutan Bantheng yang “gemati” penuh perhatian terhadap anaknya. Sebab bantheng perempuan disebut Jawi, yang “gemati” kemudian disebut Jawa. 

Orang-orang Sampit yang mengungsi ke Jawa ini kemudian membuat pertanda awal sebagai orang Jawa, yaitu 230 tahun sebelum masehi (bukan saka). 

Tahun itu disebut tahun Hwuning (pengingat). Tokoh pimpinan rombongan eksodus ini namanya Khi Seng Dhang, yang kelak kemudian disebut Dhang Hyang (Danyang). Mereka berasal dari Sampit yang keturunan dari suku Hainan. Dari catatan ini, maka orang Jawa (dalam pengertian) pendatang baru yang “gemati”, mau menghormati orang Lingga adalah 230 SM. Namun penduduk Jawa asli, Suku Lingga kemudian bercampur dan kelak memenuhi Jawa.

Dengan demikian, mulainya peradaban Jawa itu 230SM, karena adanya kebudayaan Hainan yang dibawa, sementara suku Lingga yang masih tertinggal, hidup di gua, hutan dan bergantung pada alam, belum disebut sebagai orang Jawa. Ini tentu berbeda dengan versi Serat Jangka Syeh Subakir dan Serat Jangka Tanah Jawi. 

Jika kita lihat kedatangan Syeh Subakir di tanah Jawa dari sumber lain, sekitar tahun 1404. Jika berasumsi bahwa sebelum tahun itu tanah Jawa tak ada manusianya, maka akan muncul banyak persoalan, bagaimana dengan kerajaan Singasari, Kediri dan lainnya yang sebelumnya ada? 

Tentu membaca SERAT JANGKA SYEH SUBAKIR dan SERAT JANGKA TANAH JAWI ini tidak bisa seleterlek ini. 

Mungkin butuh analisis simbol, semiotik, hermeneutik dan lain sebagainya agar mendapat pemahaman yang lebih luas. Sebab SERAT JANGKA itu pesan besarnya adalah mengenai “prediksi” masa depan Jawa dalam periodisasi tertentu, bukan membahas asal usul bangsa Jawa.

So, masih terbuka lebar untuk penelitian yang lebih jauh dan mendalam siapa sebenarnya leluhur orang Jawa di masa lampau sekali. Tentu tidak akan ditemukan jawaban tunggal, sebab sebuah masyarakat terdiri dari berbagai unsur, keluarga dan sebagainya, maka akan dimungkinkan banyak versi.

Kembali lagi, bahwa kata Jawa itu bisa diartikan “gemati”, perhatian, menghargai, menyayangi. Jadi siapapun mereka bisa melakukan itu semua di pulau Jawa ini, akan menjadi leluhur Jawa, entah dia dari belahan dunia manapun.

Keberhasilan Syekh Subakir membuatnya menjadi sangat terkenal di Nusantara saat itu. Imbasnya, masyarakat begitu fanatik terhadapnya dan seolah menuhankan beliau.


Atas dasar itu pula, Syekh Subakir akhirnya memutuskan untuk kembali ke Persia pada tahun 1462 M. Kepulangan Syekh Subakir dimaksudkan untuk mengembalikan ketauhidan masyarakat Jawa agar tidak terlalu fanatik terhadapnya.
Bebeberapa tahun setelah pulang, Syekh Subakir wafat. Estafet dakwah Islam di Nusantara lalu dilanjutkan oleh Wali Songo tahap ke 2 yaitu :

-Sunan Ampel
Sunan Ampel memiliki nama asli yaitu Raden Rahmat. Sunan Ampel tidak berasal dari Jawa. Ia berasal dari sebuah negeri bernama Negeri Champa. beliau lahir pada tahun 1401 masehi. 78 tahun setelahnya yaitu pada tahun 1479, Raden Rahmat alias Sunan Ampel mendirikan Masjid Demak sebagai sarana untuk berdakwah.
Kemudian ia juga membangun pusat pendidikan yaitu pesantren yang menjadi pusat pendidikan dan berpengaruh di dunia.

-Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati yang bernama asli Syarif Hidayatullah menjadikan Kota Cirebon sebagai pusat dakwahnya.
Sunan Gunung Jati adalah cucu raja Pajajaran prabu Siliwangi. Menurut sebuah pendapat, Sunan Gunung Jati dihormati oleh Kerajaan Demak dan Pajang, Beliau memiliki jasa yang amat besar dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, Di Cirebon, Sunan Gunung Jati mendirikan Kasultanan Cirebon dan Banten serta pesantren Gunung Jati.

-Sunan Gresik
Maulana Malik Ibrahim atau akrab disebut Sunan Gresik merupakan walisongo yang lahir ditempat yang sama sebagaimana lahirnya Sunan Ampel yaitu di Negeri Champa.
Masyarakat Jawa biasa menyebut Sunan Gresik sebagai Asmaraqandi. Sunan Gresik merupakan walisongo yang dapat dikatakan senior. Karena Sunan Gresik merupakan orang pertama yang menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa, Desa yang menjadi tempat bernaung Sunan Gresik untuk berdakwah adalah daerah Laren. Selain itu, Sunan Gresik juga membuka toko di Desa Romo.

-Sunan Kalijaga
Bernama asli Raden Said yang lahir diperkirakan pada tahun 1450. Ia adalah putra dari Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta atau lebih dikenal dengan Raden Sahur.
Sunan Kalijaga adalah Sunan yang paling merakyat tatkala menyebarkan agama Islam pada masyarakat Jawa, Sunan Bonang adalah guru dari Sunan Kalijaga. Pendekatan yang digunakan Sunan Kalijaga dalam mensyiarkan agama Islam adalah melalui kesenian dan kebudayaan. Beberapa kesenian yang menjadi warisan Sunan Kalijaga adala Wayang, Seni Ukir, Seni Tulis dan Gamelan.
Mungkin kamu juga tidak asing dengan lagu Lir Ilir dan Gundul Pacul. Kedua lagu tersebut juga merupakan warisan Sunan Kalijaga. Dengan metode tersebut, beliau bisa menarik hati masyarakat.

-Sunan Kudus
Sunan Kudus memiliki nama asli yaitu Jafar Sodiq. Ia merupakan anak dari Utsman Haji yang merupakan seorang pendakwah di daerah Jipang Panolan, Blora, Sunan Kudus memiliki keilmuan dalam agama Islam berupa ilmu fiqih, ushul fiqih, tauhid, hadist, dan logika, Gending maskumambang dan Mijil adalah sebuah cerita yang Ia buat untuk kepentingan dakwah.
Beliau wafat pada tahun 1550 Masehi dan dimakamkan di pemakaman masjid Menara Kudus.

-Sunan Muria
Lereng Gunung Muria adalah tempat kelahiran dari walisongo yang satu ini. Kata Muria pun diambil dari kata Gunung Muria yang terletak 18 kilometer dari utara Kota Kudus, Metode dakwah yang digunakan oleh Sunan Muria adalah penyebaran agama Islam dengan cara yang halus, Beliau amat senang berdakwah di tempat terpencil dan jauh dari ekosistem kota.
Di tempat beliau berdakwah yaitu di sekitar Gunung Muria, karena daerah tersebut merupakan pegunungan maka Sunan Muria berinteraksi dengan masyarakat dengan mengajarkan cara bercocok tanam, berdagang serta melaut.

-Sunan Drajat
Sunan Drajat merupakan salah satu anggota walisongo yang merupakan putra dari Sunan Ampel serta adik dari Sunan Bonang, Akrab disapa Raden Qasim, beliau belajar agama Islam melalui ayahnya di Pondok Pesantren yang berlokasi di daerah Ampel.
Sunan Drajat terkenal akan jiwa sosialnya yang tinggi. Ini kemudian sejalan dengan tema-tema dakwah yang beliau bawakan yang mana terkait dengan gotong royong/saling membantu, Beliau sangat senang menolong orang, mengasihi anak yatim dan menyantuni fakir miskin. Hingga akhirnya beliau wafat pada tahun 16 Masehi dan dimakamkan di Pacitan.

-Sunan Bonang
Sunan Bonang atau Raden Makhdum adalah putra dari Sunan Ampel. Beliau menempuh pendidikan agama Islam di Malaka tepat setelah ayahnya wafat, Usai menyelesaikan pendidikan, ia kembali ke Tuban dan akhirnya mendirikan pondok pesantren, Dakwahnya sarat akan kesenian yaitu kesenian sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil, Tahu tembang tombo ati?
Itu juga merupakan hasil karya Sunan Bonang yang sampai saat ini akrab ditelinga masyarakat Indonesia. kompleks makam Sunan Bonang yang berada di Dukuh Kauman, Kelurahan Kutorejo, Tuban,

-Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku adalah putra dari Maulana Ishaq dan Nyi Sekardadu (putri Blambangan).
Dikisahkan dalam sejarah, ketika dilahirkan Sunan Giri yang saat itu masih bayi dihanyutkan di Selat Bali atas perintah kakeknya yaitu Raja Blambangan.Kemudian Sunan Giri yang masih bayi tersebut ditemukan oleh wanita dari Tuban bernama nyi Ageng Pinateh yang memiliki kapal saudagar.
Ketika usianya memasuki remaja, ia belajar agama Islam di Pondok Pesantren milik Sunan Ampel.
Ikhtiarnya dalam menuntut ilmu terlihat dari prosesnya menuju pondok pesantren yaitu dengan berjalan kaki dari Tuban. Ia diberi nama Raden Paku karena Paku merupakan sebuah benda yang kuat. Sehingga harapannya bahwa Sunan Giri dapat menjadi tonggak agama Islam yang kuat di Jawa.
Sunan Giri kemudian menjadi tokoh yang sangat berpengaruh di Kesultanan Demak. 
Bahkan beliau sempat menjadi raja selama masa transisi sebelum akhirnya diserahkan kepada Raden Patah, Usai menunaikan pendidikannya, Sunan Giri mendirikan pesantren di daerah Giri, Tuban tempat ia dibesarkan. Kemudian ia wafat pada abad 16 Masehi dan dimakamkan di Gresik Jawa Timur.




Komentar Anda

Berita Terkini