Red,POLICEWATCH,- TERBITNYA Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan Untuk Pengendalian Penyebaran Covid 19 yang dibarengi dengan pernyataan sang menteri disertai emphasis kepada kepala daerah bahwa mereka yang melanggar akan diberhentikan sebagai kepala daerah.
Publik intelligite kepada siapa ancaman tersebut ditujukan,
namun demi kredit point positif dihadapan Tuan Presiden, Mendagri Tito
“seperti” mengabaikan peraturan-peraturan dasar yang berlaku dan digunakan
sebagai pijakan dalam mengelola Negara agak tidak ugal-ugalan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang berdasar pada hukum (rechtstaat)
dan bukan Negara yang berdasar kepada kekuasaan (machtstaat). Hal ini jelas
dinyatakan dalam Konstitusi kita Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: Negara
Indonesia adalah Negara Hukum.
Pendekatan yang dilakukan oleh Mendagri Tito adalah
pendekatan kekuasaan bukan pendekatan hukum, mungkin Mendagri lupa bahwa beliau
bukan lagi Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang dapat kapanpun mengganti
Kapolres dan Kapolda menggunakan pendekatan kekuasaan.
Selain tentang pendekatan hukum, persoalan tentang daerah-daerah yang berada
dalam wilayah NKRI juga diatur tersendiri dalam Bab VI tentang pemerintahan
daerah dalam konstitusi kita.
Konstitusi secara tegas menyatakan dalam Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi :
Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi,
kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Bahkan persoalan kewenangan pun
dinyatakan secara tegas dalam Pasal 18 ayat (5) yang berbunyi: Pemerintah
Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh
Undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Jelas dalam konstitusi
persoalan kepala daerah merupakan hal yang tidak secara serampangan bisa
ditabrak menggunakan pola pendekatan kekuaasaan.
Dasar hukum yang digunakan oleh Mendagri Tito dalam menerbitkan Instruksi
Menteri, sepanjang pemahaman saya, tidak ada yang memuat ketentuan tentang
pemberhentian kepala daerah, kecuali dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah Pasal 78 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c dan
d juncto pasal 67 huruf b.
Norma yang digunakan dalam pemberhentian kepala daerah adalah norma hukum yang
melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) wilayah kepala daerah tersebut
diberhentikan dan akhirnya akan diputuskan oleh melalui Mahkamah Agung,
sedangkan pola pendekatan yang digunakan oleh Mendagri Tito adalah norma
kekuasaan bahwa siapapun kepala daerah yang menurut Mendagri Tito secara
subjektif melanggar peraturan akan diberhentikan menggunakan dasar hukum aquo yang
ditafsirkan secara ugal-ugalan. Pun dalam praktiknya pemberhentian kepala
daerah yang menggunakan dasar Pasal 78 dalam berbagai yurisprudensi adalah
akibat pelanggaran hukum pidana khusus dalam bentuk korupsi maupun suap.
Dalam konteks tersebut penerbitan Instruksi Menteri Dalam Negeri dan pernyataan
Mendagri Tito memiliki potensi melanggar konstitusi. Sudah selayaknya Mendagri
Tito memberikan klarifikasi atas pernyataannya tersebut sebelum pada akhirnya
bergulir menjadi persoalan hukum tersendiri yang akhirnya merugikan Presiden
Joko Widodo
Giofedi, SH.,MH.
Penulis adalah Ketua Umum Kahmi Muda