POLICEWATCH-Mataram.
Anggota DPR RI dari PDI Perjuangan H Rachmat Hidayat benar-benar tidak terima orang Sasak dilabeli memiliki ”semangat jurakan” yang diidentikkan dengan permainan tradisional panjat pinang yang acap mengganggu, menarik, dan menekan sesamanya, demi ambisi pribadi.
”Pejabat di daerah ini yang menyebut orang Sasak memiliki ”semangat jurakan” benar-benar telah melakukan kebohongan besar. Orang Sasak, tidak pernah dan tidak akan pernah memiliki ”semangat jurakan”,” tandas Rachmat di Mataram, kemarin (10/5).
Orang Sasak memiliki ”semangat jurakan” disebut oleh Kepala Dinas Sosial NTB H Ahsanul Khalik saat berpidato pada acara halalbihalal Himpunan Masyarakat Lombok (HIMALO) di Jakarta, Ahad (7/5) lalu. Hadir dalam halalbihalal tersebut sekitar seribu diaspora Lombok yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Sementara Khalik disebut hadir mewakili Gubernur NTB H Zulkieflimansyah.
Potongan video sambutan Khalik telah beredar luas dalam berbagai aplikasi percakapan dan telah mengundang kegeraman sejumlah tokoh masyarakat Sasak. Selain label ”semangat jurakan” dalam pidato sambutannya tersebut, Khalik juga membuat statemen yang mengarah politik. Rachmat dalam pernyataanya kepada media sehari sebelumnya menilai, dengan statemennya itu, Ahsanul Khalik terang-terangan terlibat dalam politik praktis dan melanggar kode etik sebagai Aparatur Sipil Negara yang kini memangku jabatan eselon II di Pemprov NTB.
Rachmat menegaskan, Khalik benar-benar offside. Karena itu, politisi kharismatik Bumi Gora ini akan terus mengawal tuntutannya kepada Gubernur Zulkieflimansyah agar pejabat daerah yang terlibat politik praktis mendapat tindakan tegas.
Rachmat menyebut tindakan para pejabat yang terlibat politik praktis jelas-jelas mencoreng korps ASN di Pemprov NTB. Dan dirinya tidak ingin, nama ribuan pegawai negeri tersebut rusak hanya karena perilaku segelintir pejabat yang berpolitik praktis tersebut.
”Tetap saya akan tuntut tindakan tegas dari Gubernur. Saya akan kawal sendiri. Lebih-lebih dia (Khalik) sebagai pejabat yang mewakili gubernur tidak membaca sambutan tertulis gubernur. Apa itu suara Gubernur yang diwakili itu. Apalagi ini halalbihalal, kok dimasuki dengan politik. Walaupun apa konteksnya di dalam penjelasan dia, nggak boleh masuk politik. Di situ dia (Khalik) offside,” tandas Rachmat.
Terkait ”semangat jurakan”, Rachmat memberi contoh terang benderang, bagaimana semangat itu tidak dimiliki orang Sasak. Kata Rachmat, sebelum dan sesaat setelah Indonesia merdeka, daerah-daerah di Lombok masih terbagi dalam daerah-daerah Swatantra. Saat Mamiq Mustiarep, Mamiq Ripaah, Mamiq Sinaroh, dan Mamiq Fadlah, memimpin daerah-daerah itu, tidak ada orang Sasak yang saling iri hati. Tidak ada orang Sasak yang saling dengki.
Pun begitu, saat provinsi dan kabupaten sudah ajeg terbentuk. Di Lombok Timur misalnya, ketika Mamiq Amin, orang Sasak pertama yang menjabat sebagai Sekda, tidak ada orang ribut. Pun begitu saat Lombok Timur dipimpin Bupati Lalu Muslihin, HL Djafar Surayad, H Syahdan, H Ali BD, hingga kini HM Sukiman Azmy, Tidak ada orang saling tarik-tarik seperti ”semangat jurakan”, yang bawah mengganggu yang di atas, yang di atas mendorong-dorong yang di bawah.
”Jadi melabeli orang Sasak memiliki ”semangat jurakan” adalah kebohongan,” tandas Anggota Komisi VIII DPR RI ini.
Pun di Lombok Tengah. Kata Rachmat, saat Mamiq Srigede menjadi Bupati, tidak ada orang Sasak saling bejengah. Saat Mamiq Suhaimi jadi bupati, lalu Mamiq Ngoh, kemudian Suhaili FT, hingga kini HL Pathul Bahri, semuanya meraih posisi puncak sebagai pimpinan daerah melalui persaingan sehat dalam kontestasi. Alih-alih ”semangat jurakan”.
Begitu pula di Lombok Barat. Ada Mamiq Ratmaji yang pernah menjadi Bupati, Mamiq Mudjitahid, kemudian H Iskandar, yang diteruskan H Zaini Arony, dan sekarang H Fauzan Khalid. Nggak ada orang-orang Sasak kata Rachmat yang macam-macam.
”Kalau orang Sasak memiliki ”semangat jurakan” tentu orang Sasak sudah menarik-narik kaki Fauzan. Tapi kan ini tidak ada yang begitu,” kata Rachmat memberi tamsil.
Demikian juga di Kota Mataram. Rachmat memberi contoh. PDI Perjuangan menjadi pemenang Pemilu tahun 1999. Memiliki 10 kursi di DPRD Kota Mataram.
”Kak Tuan Haji Mohammad Ruslan datang kepada saya. Bilang, ”Arik Tuan, tyang ingin jadi wali kota”. Waktu itu ada almarhum H Ahmad Akeang. Ada juga Gusti Ekadana bersama saya. Apa saya bilang. ”Kak Tuan Ruslan, ini ada Gusti Ekadana. Kalau dia aok, saya setuju,” tutur Rachmat.
Maka yang terjadi kemudian, sejarah mencatat, H Mohammad Ruslan terpilih sebagai Wali Kota Mataram dengan kemenangan tipis dalam pemilihan di DPRD Kota Mataram. Saat itu, kemudian Madiono dari PDIP terpilih sebagai Ketua DPRD Kota Mataram dan TGH Ahyar sebagai Wakil Ketua DPRD.
”Apakah dengan terpilihnya Kak Tuan Ruslan jadi Wali Kota Mataram kita sesama orang Sasak ada yang macam-macam di Kota Mataram? Nggak. Begitu juga dengan saat Kota Mataram dipimpin Wali Kota HL Masud,” tandas Rachmat.
”Dan yang terbaru, saat Pilkada Kota Mataram tahun 2020 kemarin. Putra Kak Tuan Ruslan, Mohan Roliskana bertanding dengan bibiknya Selly Andayani, istri saya, di Pilkada, dan Mohan memenangkan kontestasi. Apa saya ribut? Apa lalu kita tarik-tarik kakinya dan mengganggu Mohan? Nggak ada,” sambung Rachmat.
Karena itu, politisi lintas zaman ini mengemukakan, jika ada pejabat yang melabeli orang Sasak memiliki ”semangat jurakan” saat ini, maka tindakannya itu disebutnya sangat identik dengan mendorong perpecahan. Apalagi, hal tersebut disuarakan di hadapan anak-anak muda. Generasi masa kini.
Padahal, kata Rachmat, anak-anak muda Indonesia saja sudah memproklamirkan Sumpah Pemuda pada 95 tahun yang lalu, di mana mereka bersumpah untuk Berbangsa Satu, Bertanah Air Satu, dan Berbahasa Satu. Itu pula sebabnya, Rachmat mengkritik juga pejabat seperti Khalik dalam pidatonya masih menggunakan diksi “Bangsa Sasak”. Sebab, menurut Rachmat, saat ini yang ada hanya Bangsa Indonesia. Sementara Sasak, seperti halnya Samawa, dan Mbojo, adalah suku di Indonesia. Karena itu, setiap warga negara di Indonesia, kata Rachmat, boleh menjadi apa saja di Republik Indonesia, tanpa melihat kesukuannya.
“Memangnya semenjak NTB menjadi provinsi, Gubernurnya selalu dari sini? NTB pernah memiliki Gubernur orang Madura, orang Sunda, orang Jawa. Kan baru-baru belakangan saudara kita H Harun Al Rasyid, lalu HL Serinata, kemudian TGB HM Zainul Majdi, dan saat ini Gubernur kita H Zulkieflimansyah. Apakah saat orang Sasak menjadi gubernur, lalu orang Sasak yang lain merong-rong dan menggangu seperti semangat jurakan, kan tidak,” tandasnya.
Yang Rachmat tahu, orang Sasak adalah orang-orang yang istiqomah dan teguh memegang sikap. Seperti dalam pakaian adat Sasak, di mana orang Sasak memegang atau membawa keris. Nyekep, dalam istilah Sasak. Itu kata dia, adalah perlambang orang Sasak memiliki keteguhan sikap. Tidak mengadu domba. Tidak mencela sesamanya.
Dia pun memberi contoh, bagaimana Bung Karno, Presiden pertama Indonesia, yang kemana-mana juga membawa keris sebagai perlambang sikap tersebut. Maka, ketika Indonesia diremehkan dan direndahkan Amerika, Bung Karno kata Rachmat, memilih membawa Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Bung Karno juga menggelar Konfrensi Asia Afrika, mendirikan Gerakan Non Blok, itu juga adalah keteguhan sikap.
Karena itu, jika kini muncul pejabat yang mengemukakan bahwa orang Sasak memiliki ”semangat jurakan”, Rachmat menegaskan, sangat patut dicurigai, bahwa tindakan tersebut hendak memecah belah.
Rachmat pun menyebut, jika sebelumnya Gubernur Zulkieflimansyah meminta ada pihak yang masih perlu sekolah lagi, maka sesungguhnya yang perlu dan sangat cocok untuk sekolah lagi adalah pejabat yang berpolitik praktis dan berpotensi memecah belah di tengah masyarakat.
”Jika saya berbicara lantang sekarang, bukan karena saya ingin penghormatan untuk pribadi saya. Hormatlah pada Republik ini. Kita tidak ingin, ada pejabat yang enak saja pidato mewakili gubernur, atas nama gubernur, lalu hendak memecah belah kita,” tandasnya.
MN