Pesantren Al Zaitun Diantara "Kepentingan" Istana Negara Dengan Hukum

/ 8 Juli 2023 / 7/08/2023 06:16:00 PM
 Opini Hukum
Oleh
Ahmad Gozali


Red, policewatch,-Mahasiswa Program Studi Hukum Program Magister Program Pascasarjana Universitas Labuhan Batu (ULB) Rantau Prapat SUMUT

Diakhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin dalam masa Bhakti 2019 - 2024 yang tinggal menghitung bulan sebagaimana diamanahkan Undang - Undang Negara, Pesantren Al  Zaitun menjadi populer di seluruh senterio negeri karena lembaga pendidikan dibawah pengawasan Kementerian Agama Republik Indonesia tersebut dinilai mengajarkan dan mengamalkan ajaran Islam yang bertentangan dengan ketentuan hukum (syari'at) Islam yang  dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Diantara ajaran dan pengamalan yang dinilai bertentangan dengan hukum  Islam itu diantaranya, dibolehkannya para santri  melakukan hubungan suami istri (diluar nikah/zina) dan menebus dosa sebesar dua juta rupiah, dihalalkannya mengambil/merampas harta orang lain (yang tidak satu golongan/Dinilai kafir), dibolehkannya wanita shalat berada di shaf depan (satu shaf) dengan laki-laki dan lain-lain

Kontra versi yang tidak dapat dihindari diantara masyarakat sampai adanya aksi demonstrasi, statement MUI (Majelis Ulama Indonesia), pandangan antar tokoh dan pemuka agama bahkan sampai issu yang melibatkan pejabat - pejabat Istana Negara sebagai Back Up pimpinan Pesantren Al Zaitun Sekh Panji Gumilang yang disinyalir kebal hukum, walaupun terindikasi   melanggar hukum dan norma agama yang berlaku di negara Indonesia tidak dapat terjerat hukum.

Dalam berbagai informasi yang dapat diperoleh melalui sosial media maupun media cetak, Pimpinan Pesantren Al Zaitun Sekh Panji Gumilang dinilai mencoba membangun peradaban baru dalam konteks Islam Moderat yang dapat menerima ajaran berbagai agama yang diantaranya seperti agama Yahudi dapat diamalkan oleh pemeluk agama Islam dalam kehidupan sehari-hari seperti nyanyian Salom Elehem yang dikumandangkan Yahudi saat beribadah di hari Sabtu.

Sebagai warga negara Indonesia dengan idiologi Pancasila yang sudah menjadi sumber hukum negara dan telah melalui proses perjuangan dan perjalanan panjang yang dilakukan oleh para tokoh bangsa.

Dalam perumusannya penuh perdebatan pada masa lalu,

Perdebatan sengit tentang hubungan agama (Islam) dengan negara, hingga saat ini dapat kita jumpai di berbagai catatan sejarah,  pertama kali pada sidang BPUPK saat membahas tentang dasar negara. Pada saat itu, Mohammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno mengeluarkan gagasannya tentang dasar negara. Hingga pada akhirnya, tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengenalkan istilah Pancasila.

Gagasan Pancasila 1 Juni 1945 yang disampaikan oleh proklamator bangsa Soekarno pada saat itu bukanlah Pancasila yang disepakati. Setelah terbentuk tim Sembilan, barulah pada tanggal 22 Juni 1945 disepakati dasar negara. Kesepakatan itu kita kenal dengan istilah Piagam Jakarta.

Salah satu poin pentingnya adalah agama dan negara di Piagam Jakarta adalah sila pertama Pancasila. 

Pengaturan adanya kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya merupakan suatu kesepakatan para founding fathers pada saat itu. Kesepakatan ini lahir salah satunya karena realita bahwa Islam merupakan agama mayoritas pada masa itu dan bahkan sampai saat ini. Dengan demikian, menjadi hal yang sangat wajar ketika hukum (syari’at) Islam menjadi payung bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih-lebih lagi Islam bukan hanya sekadar agama, melainkan juga mengatur hubungan sosial antar sesama manusia yang disebut sebagai muamalah (hubungan sosial manusia dengan manusia)

Sehingga pada tanggal, 18 Agustus 1945, Sila Pertama Pancasila mengalami perubahan dengan penghapusan “tujuh kata”. Penghapusan itu dinilai sebagai bentuk toleransi dari perwakilan umat Islam kepada seluruh rakyat (Non Muslim) khusunya bagian Indonesia Timur dimasa itu.

Perdebatan ini akhirnya selesai ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit tersebut berisi untuk membubarkan Konstituante dan menegaskan kembali kepada UUD 1945. Menariknya, dalam Dekrit tersebut juga menegaskan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan menjadi suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.

Dalam konteks adanya upaya pimpinan pesantren Al Zaitun Sekh Panji Gumilang mencoba membangun peradaban baru melalui ajaran Islam Moderat  di dalam bingkai negara beridiologi Pancasila, cenderung dinilai akan gagal karena tidak sejalan dengan norma - norma yang berlaku menurut hukum Islam dan konsep demograsi dan toleransi antar ummat beragama yang dirumuskan dalam idiologi Pancasila, sehingga berbagai hal yang bertentangan dalam ajaran dan pengamalan agama Islam dan idiologi Pancasila lebih cenderung menodai norma agama yang disebut sebagai penistaan agama dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Sehingga pada perkembangannya yang kita lihat saat ini, pihak istana negara melalui, Staf Khusus Presiden Jenderal (P) Moeldoko telah menegaskan tidak ada keterlibatan Istana Negara (Presiden dan seluruh staf Presiden) terkait dengan seluruh pelanggaran hukum yang ada di Pesantren Al Zaitun Indramayu dan melalui MENKOPOLHUKAM Mahpud MD dipercayakan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin untuk membentuk tim investigasi yang melibatkan Aparat penegak hukum POLRI untuk mengusut tuntas peristiwa yang terjadi di Pesantren Al Zaitun - Indramayu   dengan progress proses hukum terhadap pihak terlapor (Sekh Panji Gumilang Cs) sudah ditingkat Penyidikan di MABES POLRI (AG/MPW)

Komentar Anda

Berita Terkini