Policewatch-Nusa Tenggara Barat.
07/12/2025.Banjir yang melanda Aceh dan berbagai pelosok Sumatra baru-baru ini bukan sekadar "musibah tahunan" yang bisa dibilang semata-mata karena hujan. Ini adalah deru kesalahan yang menggelegar – bukti nyata bahwa negara telah gagal melindungi hutan, sehingga membiarkan warga terhanyut oleh derasah bencana yang seharusnya bisa dicegah.
Di Aceh, data dari MapBiomas mencatat: deforestasi meningkat hampir tiga kali lipat hanya dalam 2024–2025, menghabiskan puluhan ribu hektare hutan. Ketika hujan lebat turun, tanah yang dulu menyerap air seperti spons kini hanya menjadi lapisan tanah kering yang mudah longsor. Area hulu yang tak terjaga berubah menjadi saluran banjir yang menerjang desa-desa di Aceh Tenggara dan Aceh Tamiang – ribuan warga mengungsi, rumah direndam lumpur tebal, dan kayu gelondongan besar berserakan di depan pintu rumah menjadi bukti tak terbantah bahwa penebangan hutan yang menyebabkan semua ini.
Situasi sama membanjiri Sumatra Utara dan Barat. Di Mandailing Natal, Nagan Raya, Pesisir Selatan, dan Agam, setiap kali banjir tiba, warga menemukan kayu-kayu yang terpotong rapi mengapung di sungai. WALHI mengkonfirmasi: itu hasil eksploitasi rahasia yang sudah berlangsung lama – tidak mungkin dari aktivitas legal. Hanya butuh satu malam, air bah menghancurkan desa-desa yang dulu aman, semuanya karena perlindungan vegetasi di hulu sudah hilang.
Namun pemerintah tetap "menutupi mata" dengan alasan yang sama: "hujan berlebih", "cuaca aneh", "faktor alam". Seolah-olah izin tambang sembrono, ekspansi sawit merajalela, dan pembiaran penebangan liar tidak ada hubungannya. Padahal, sungai yang meluap adalah cermin kelalaian negara – baik dalam pemberian izin maupun pengawasan.
Di tengah kegelapan itu, Irsan, Kepala Bidang Penelitian, Kajian, dan Pengembangan (PTKP) HMI Komisariat Nurcholish Madjid, muncul dengan suara yang tegas dan penuh makna. Dalam penyampaiannya, Irsan tidak hanya mengkritik, tetapi juga menggambarkan gambaran jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang harus dilakukan.
"Kami kecam keras pembiaran negara atas deforestasi yang berlangsung liar di Aceh dan Sumatra," ujarnya dengan nada tegas yang tidak bisa diabaikan. "Banjir yang merenggut nyawa warga bukan karena hujan – hujan hanyalah pemicu. Penyebab sesungguhnya adalah kerusakan hutan yang disebabkan oleh kebijakan yang sengaja menguntungkan perusahaan dan kalangan elit. Pemerintah harus tanggung jawab sepenuhnya – tidak ada cara untuk menyembunyikan itu lagi."
Irsan juga mengarahkan perhatian ke bukti yang terlihat jelas di depan mata warga: "Ketika warga melihat kayu-kayu besar yang terpotong rapi mengapung di sungai setelah banjir, itu bukanlah kebetulan. Itu adalah jejak kejahatan ekologi yang diizinkan oleh negara. Jika pemerintah tak berani tanggapi perusahaan yang merusak, berarti pemerintahlah yang bersangkutan dalam penderitaan warga – itu adalah fakta yang tak bisa disangkal."
Tidak berhenti hanya pada kritik, Irsan juga menyampaikan langkah konkret yang sudah direncanakan oleh bidang PTKP HMI yang dipimpinnya: "Kami akan terus mendorong evaluasi menyeluruh semua izin konsesi di daerah rawan bencana. Kami butuh kebijakan kehutanan yang lebih tegas, penegakan hukum yang tak main-main terhadap penebangan liar, dan pemberdayaan masyarakat adat untuk mengelola hutan kembali. Ini bukan tuntutan semata – ini adalah kebutuhan hidup atau mati bagi warga di daerah rawan bencana."
Banjir hari ini adalah peringatan yang menyakitkan, seperti yang ditegaskan Irsan: "Negara tidak boleh menyembunyikan diri di balik kata-kata manis tentang pembangunan, energi, atau pangan. Hutan adalah pelindung terakhir warga. Jika pelindung itu hancur demi kepentingan sesaat, maka banjir, longsor, dan kematian akan menjadi bagian dari kehidupan yang tak terhindarkan setiap tahun.
Pada intinya: negara yang membiarkan hutan musnah adalah negara yang membiarkan warga terhanyut – dan semua itu terlihat jelas di hadapan kita hari ini, sesuai dengan penyampaian mendalam dan penuh semangat dari Irsan.
Jurnalis
Mamen

Tidak ada komentar:
Posting Komentar