Reporter : MRI
ILUSTRASI |
Red,Policewatch.news - Salah satu korban yang melaporkan kasus
pinjaman online dan mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Asep,
akhirnya buka suara soal kekejaman bunga yang menjerat pinjamannya.
Asep mengaku mulai melakukan peminjaman tahun 2017 silam.
Percaya atau tidak, Asep hingga kini masih terjerat bunga pinjaman itu. Bermula
dari pinjaman berjumlah Rp4 juta, ia dibebani bunga Rp1,6 juta perbulan.
"Sekitar awalnya cuma 4 juta karena ada kebutuhan,
sampai akhirnya kenaikkannya itu, bunga 40 persen, dari Rp4 juta bunganya Rp1,6
juta perbulan. Saya gak bisa nutupin bunga," ujarnya saat menghadiri
diskusi di LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (4/2/2018).
Disinilah lilitan hutang yang tak berkesudahan dimulai, Asep
tak mampu membayar bunga di bulan pertama. Tak sampai disitu bunga tersebut
terus berlipat hingga 1 tahun. Jumlah bunga Rp1,6 juta perbulan berlipat 12
menjadi Rp19,2 juta.
Untuk menutupi lilitan bunga ini, Asep kembali meminjam ke
aplikasi pinjaman online lainnya. Terus menerus hingga mencapai 15 aplikasi
pinjaman online, dengan pinjaman beragam mulai dari 3 hingga Rp4 juta setiap
aplikasi.
Asep mengaku sudah tidak mampu lagi melepaskan diri dari
jeratan pinjaman ini. Ia mengaku tak lagi memiliki kemampuan membayar. Namun
tekanan dari setiap penyelenggara tak bisa ia tahan.
"Karena untuk tutupi bunga akhirnya pendapatan gak
sesuai, saya collapse setelah itu mulai lah penagih-penagih datang,"
katanya. seperti di langsir Pantau.com
Ia mengaku mendapatkan tekanan yang cukup besar, pasalnya
penagihan dilakukan melalui banyak orang. Mulai dari rekan kerja, keluarga,
hingga tetangga di lingkungan tempat tinggalnya.
"Muncul penagih-penagih dengan tekanan, kurang sopan,
membuat saya tertekan stres, akhirnya keluarga tahu tetangga tahu semua kontak
tahu, diberitahukan ke semua kontak (oleh aplikator)," ungkapnya.
Akhirnya ia bekerja untuk menutupi pinjaman-pinjaman ini
namun tetap tak bisa menutupi. Lebih jauh lagi, ia mengorbankan
pembayaran-pembayaran untuk kebutuhan untuk menutupi jeratan hutang.
"Karena dengan tekanan dengan cara penagihan sampai
saya menunda pembayaran cicilan rumah, SPP anak, cicilan motor. Motor sudah 4
bulan enggak bayar, rumah udah 3 bulan enggak bayar jadi memang awalnya sih
hanya Rp4 juta, tapi bunganya membuat terjerat utang," katanya.
"Walaupun semua mampu bayar, pada akhirnya pasti semua
collapse, karena bunga karena pendapatan hanya untuk membayar itu. Jadi
harusnya ada pembatasan bunga," imbuhnya.
Hingga saat ini ia mengaku masih terjerat dengan 9 aplikasi
pinjaman online. Ia sempat meminta untuk restrukturisasi agar jeratan bunga
selesai namun tetap kesulitan, ia justru terus mendapatkan tawaran
pinjaman-pinjaman dari aplikasi lainnya. Sehingga ia memilih menonaktifkan
kontak untuk menghindari tawaran itu.
"Akhirnya saya enggak aktifkan no handphone, bukan
menghindari penagihan, tapi memang begitu satu nomor HP, satu KTP, sampai kapan
pun selama butuh uang terus saja ditawari," pungkasnya.