PRT ......! Mereka Pekerja Bukan Budak

/ 10 Maret 2018 / 3/10/2018 08:19:00 PM
PRT,Dalam Penapungan Fasilitas Tidur & Makan pun jauh dari layak


Pekerja Rumah Tangga (PRT) sudah dikenal sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Para pembantu di rumah orang Belanda biasanya mempekerjakan satu keluarga pribumi. Kini, sebutan "pekerja" dinilai lebih tepat dibanding "pembantu"


  Red,Media policewatch.news,-- Seorang perempuan duduk di depan tungku sedang meniup bara dengan bambu. Dia mengenakan pakaian tradisional Jawa dengan rambut disanggul rapi. Di dekatnya, bocah kecil menghampiri dengan membawa kayu bakar. Sementara seorang lelaki berkulit sawo matang berdiri sambil menyemir sepatu. Mengenakan baju tanpa kancing sehingga dadanya terlihat. Celananya putih dilapisi sarung pada bagian pinggang hingga ke lutut. Sebuah ikat kepala seperti blangkon terpasang rapi.

Begitulah kehidupan pembantu pribumi di rumah orang Belanda pada tahun 1880-an yang tergambar dalam sebuah lukisan di Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda. Lukisan dibuat oleh Josias Cornelis Rappard, seorang berkewarganegaraan Belanda. Dia membuat lukisan antara tahun 1881-1889, semasa tinggal di Hindia Belanda.

Lukisan karya Rappard setidaknya memberikan gambaran bagaimana pembantu bekerja pada zaman kolonial. Biasanya, para pembantu di rumah orang Belanda merupakan satu keluarga yang dipekerjakan secara keseluruhan. Ibu mengurus masakan, mencuci dan mengurus anak majikan. Bapak menjadi kusir atau melakukan pekerjaan berat. Sementara anak mereka membantu sang ibu mengerjakan urusan domestik. Pada masa itu, secara umum mereka disebut babu.

Dalam sejarah, secara resmi tidak dapat dipastikan kapan pekerjaan pembantu muncul. Namun, setelah sistem perbudakan pada awal abad 19 dihapuskan, pembantu seolah menjadi penggantinya. Sebelum itu, para budak diperjualbelikan dan bekerja seumur hidup pada majikan. Mereka tidak hanya melakukan pekerjaan domestik, tapi juga bekerja di kebun milik majikan tanpa upah.

Setelah gelombang perjuangan penghapusan sistem perbudakan di Amerika oleh Abraham Lincoln, sistem itu pun mulai ditinggalkan. Para budak menjadi manusia merdeka dan bekerja dengan mendapatkan upah meski kecil.

Pada zaman kerajaan di Nusantara, peran pembantu semacam itu sebenarnya juga sudah ada. Mereka juga memasak, merawat anak-anak raja dan pejabat tinggi kerajaan, bersih-bersih dan mencuci. Bedanya, di lingkungan kerajaan, mereka tidak mendapatkan upah seperti layaknya pembantu rumah tangga di keluarga Belanda pada zaman kolonial.

Mereka biasanya bekerja atas dasar pengabdian kepada kerajaan dan mendapat rejeki secukupnya dari kerajaan. Praktik semacam itu masih terlihat di lingkungan Keraton Yogyakarta. Para Abdi Dalem bekerja semata-mata atas dasar pengabdian, bukan karena imbalan.

Rodolf Mrazek dalam bukunya Engineer of Happy Land menuliskan, kondisi para pembantu yang tinggal di perkampungan pribumi di kota besar dan kota kecil Hindia Belanda pada tahun 1937. Para pembantu yang tinggal di sana mendapatkan gaji begitu kecil. Para majikan pun terpaksa membayar ongkos mereka untuk naik bus, jitney atau dokar ke tempat kerja. Para majikan menyadari konsekuensi jika para pembantu dipaksa berjalan kaki. Mereka akan kehabisan tenaga ketika tiba di tempat kerja.

Kondisi di Hindia Belanda tertinggal jauh dengan Inggris. Pada tahun 1823, masyarakat Inggris sudah mengenal sistem Master and Servant Act yang merupakan hukum untuk mengatur hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja. Aturan sengaja dibuat untuk melindungi para pembantu yang pada waktu itu masih diperlakukan tidak baik dan adil oleh majikannya.

Share infografik
'Pembantu' Menjadi 'Pekerja'

Meski zaman sudah berubah, kondisi sosial masyarakat dalam memandang pembantu masih sangat terbelakang. Masyarakat masih belum bisa lepas dari kontruksi yang lekat pada pembantu pada tempo dulu. Pembantu masih dianggap sebagai orang yang harus melayani majikan. Mereka tidak dianggap sebagai pekerja.

Dampaknya, ketika seseorang memiliki pembantu, mereka seolah memiliki kekuasaan penuh atas diri pembantu. Para pembantu harus menuruti perintah majikan untuk berbagai macam jenis pekerjaan. Jika majikan meminta memasak, pembantu harus memasak. Jika majikan menyuruh menyapu, pembantu harus menyapu. Jika majikan haus, pembantu harus membawakan minum. Jika ada tamu, pembantu harus membuka pintu. Nyaris tidak ada batasan pekerjaan.

Perkembangan masyarakat pun menuntut istilah pembantu berubah makna. Dulu para pembantu disebut babu, jongos, atau opas. Istilah itu pun bermakna negatif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata babu diartikan sebagai hamba perempuan yang mengurus kamar, menyusui anak, mencuci.

Pasca kemerdekaan, istilah warisan kolonial itu pun ditanggalkan. Kata babu diganti dengan pembantu. Sebuah istilah yang sebenarnya tidak jauh berbeda maknanya. Dalam KBBI, pembantu diartikan orang upahan, yang pekerjaannya mengurus pekerjaan rumah tangga, memasak, mencuci, menyapu'. Istilah itu masih terus digunakan dalam masyarakat sampai saat ini. Oleh sebab itu, maknanya pun tak jauh berbeda, antara babu dan pembantu.

Dalam perkembangannya, para aktivis mulai mengenalkan istilah pekerja. Pembantu Rumah Tangga pun berganti menjadi Pekerja Rumah Tangga. Lita Anggraini, koordinator Jala PRT, menyebutkan bahwa pemilihan istilah Pekerja Rumah Tangga untuk menghapus makna negatif yang tersemat pada kata pembantu.

Istilah pekerja pun dirasa lebih tepat secara politis untuk mendorong pemerintah mengakui bahwa pembantu adalah sebuah pekerjaan. Selain itu, istilah Pekerja Rumah Tangga juga lebih menggambarkan kenyataan. Karena pada dasarnya, mereka melakukan pekerjaan sesuai dengan keahlian. Sama seperti pekerja pada umumnya. Tiada beda.

Perlindungan Pekerja Menaker Sahkan Aturan PRT


Peraturan dalam bentuk peraturan menteri tersebut mengatur hak dan kewajiban PRT dan majikan. Hanif mengatakan, prinsip pokok Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2/2015 ini ingin menunjukkan bahwa negara hadir untuk melindungi PRT di seluruh Indonesia. Kedua, meski ingin melindungi, namun isinya masih tetap menghormati tradisi, adat, dan konvensi terkait PRT.

Permenaker ini juga menegaskan keterlibatan pemerintah daerah dalam pengawasan lembaga penyalur PRT sehingga tidak melanggar. “PRT berhak atas cuti dan upah sesuai kesepakatan. Mereka berhak untuk beribadah dan diperlakukan manusiawi oleh majikan,” jamin Hanif di Jakarta kemarin. PRT yang disalurkan melalui lembaga penyalur rumah tangga ataupun yang direkrut langsung majikan harus dilengkapi perjanjian kerja secara lisan ataupun tulisan.

Surat kontrak ini wajib diketahui ketua rukun tetangga (RT). Perjanjian kerja ini sedikitnya memuat identitas para pihak, hak, dan kewajiban serta jangka waktu berlakunya perjanjian kerja dan tempat serta tanggal perjanjian. Peraturan tersebut juga memuat pengaturan lembaga penyalur pekerja rumah tangga.

 Mereka harus memiliki surat izin usaha yang diterbitkan gubernur, pelayanan penerbitan, dan perpanjangan surat izin usaha tanpa dipungut biaya, serta pembinaan dan pengawasan kepada lembaga penyalur yang diserahkan kepada gubernur.

“Yang berhak mencabut izin operasional lembaga penyalur adalah gubernur. Dari teguran, surat peringatan, hingga dijatuhkannya sanksi,” tuturnya. Politikus PKB ini menjelaskan, permenaker ini penting mengingat banyak kasus hukum yang dialami PRT. Seperti kasus penganiayaan PRT di Medan, Bogor, Bekasi, Tangerang yang baru-baru ini terjadi.



           KELAYAKAN & TANGGUNG JAWAB  PENAMPUNGAN JASA PENYALUR PRT
Tempat dan fasilitas nya PRT saat masih di Penapungan.

HAK DAN KEWAJIBAN LEMBAGA PENEMPATAN PRT
                             Pasal 18
(1) Lembaga penempatan PRT berhak mendapat imbalan jasa dari PJPRT.
(2) Imbalan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan perjanjian antara PJPRT dengan
lembaga penempatan PRT.
(3) Lembaga penempatan dilarang memungut biaya kepada PRT atas jasanya dalam menempatkan PRT dengan PJPRT.

                          Pasal 19
Lembaga Penempatan PRT berkewajiban:
a. menyediakan dan menempatkan PRT;
b. memberikan pelatihan kerja;
c. menyeleksi calon PJPRT;
d. membuat perjanjian penempatan antara Lembaga PRT dengan PRT
e. memberikan rasa aman bagi PRT selama di penampungan;
f. memeriksa kesehatan PRT;
g. memberikan PRT pengganti atau mengembalikan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) apabila dalam tenggang waktu 3 bulan PJPRT complain atau PRT tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja.

Sebagaimana kita ketahui bersama, kebanyakan penyalur pekerja – sesuai istilahnya – ya hanya menyalurkan pekerja. Mereka merekrut calon pekerja, sebagian ada yang menyediakan tempat penampungan dan melakukan pelatihan, kemudian melepaskan calon pekerja tersebut ke calon pengguna jasa  majikan yang berminat dan sepakat. Selesai. Ya, hubungannya terputus sampai di situ saja.
Artinya, jika di kemudian hari terjadi hal-hal yang melenceng atau berada dalam kondisi di luar yang seharusnya dari si pekerja – sebut saja: keterampilan tidak sesuai yang dijanjikan, berselisih, melakukan tindak kriminal, hingga kabur – maka itu di luar tanggung jawab penyalur. Nah, inilah yang sering menjadi keluhan pengguna jasa, yang pada akhirnya merusak citra/image dari dunia usaha penyediaan tenaga pekerja rumah tangga ini.
Sebaliknya, jika terjadi hal-hal melenceng dari sisi pengguna jasa, misalnya adanya tindak kekerasan fisik, pembulian, atau pelecehan seksual dari majikan terhadap pembantu, hingga pembayaran gaji yang tidak lancar, maka ini juga bukan menjadi urusan penyalur. Hal ini tentu saja akan menghantui para calon pekerja dan pihak keluarganya.(irfan)
Komentar Anda

Berita Terkini