Sejarah Suku Irian Jaya

/ 12 Maret 2018 / 3/12/2018 07:45:00 AM

Wartawan Policewatch bersama salah satu warga    dari suku yang ada di papua


Red,(MPW,Sejarah Suku Irian Jaya) ~ Irian terletak di Pulau Irian/Papua sebelah barat. Bagian sebelah timurnya berdiri sebuah negara merdeka dengan nama Papua Nugini. Pulau Irian atau New Guinea panjangnya 1.500 mil dan lebarnya 500 mil, dinyatakan sebagai pulau nomor 2 terbesar dunia setelah Pulau Greenland. Panjangnya 1.500 mil dari ujung kepala ke ujung ekor, dan luasnya sekitar 299.310 mil bujursangkar. Bentuknya seperti seeokor burung purba yang sedang melompat terbang di atas Benua Australia menuju ke daratan Asia. Pada zaman dulu pulai tersebut dikenal dengan nama Papua dan sejarahnya paling tidak dapat ditelusuri sejak adanya kerajaan Sriwijaya yang dianggap meluaskan hegemoninya sampai ke ujung Irian bagian barat. Setelah kerajaan itu hilang peranan hegemoni tersebut diteruskan oleh sultan-sultan Tidore dan ternate dari Kepulauan Maluku. Sedangkan para penjelajah Eropa mulai mengenalnya sejak abad ke-16.

Menurut pengakuan resmi penjelajah Barat, pulau ini ditemukan oleh dua orang pelaut Portugis, d'Abrue dan Sarrano pada tahun 1511. Para penjelajah yang mencari rempah-rempah itu rupanya tidak tahu kalau di beberapa tempat di pulau itu juga ditanami rempah-rempah, sehingga luput dari penguasaan mereka. Pada tahun 1545 datanglah pelaut Spanyol, Inigo Ortis de Retes dari arah timur. Melihat pulau ini cukup menarik maka penjelajah ini segera menancapkan bendera negara di sebelah timur muara Sungai Memberamo, kemudian pulau itu diberinya nama Nova Guinea (New Guinea).
suku di papua tempo dulu
Tapi rupanya kerajaan Spanyol ketika itu tidak tertarik untuk memiliki pulau itu. Orang Belanda pertama yang sampai di pulai ini adalah William Janz (1606). Dilanjutkan oleh beberapa ekspedisi lain, sampai pada pertengahan abad ke-17 didirikan sebuah pos militer untuk menjaga kegiatan perdagangan yang mulai berkembang di pulau itu. Ketika penjelajah Jerman dan Perancis sudah berani pula menghampiri Irian/Papua, Belanda buru-buru memproklamasikan bagian barat pulau itu sebagai bagian dari wilayah Nederland (1828). Wilayah itu mereka kontrol dari Ambon. Sementara itu orang Inggris menancapkan pula bendera kerajaannya di bagian timur, tepatnya di Port Moresby (1883).

Daerah pedalaman pertama kali disingkapkan oleh orang luar ketika Belanda melaksanakan suatu ekspedisi yang dipimpin oleh Dr H A Lorentz pada tahun 1909. Tujuh belas tahun kemudian berangkat pula suatu ekspedisi Belanda-Amerika yang dipimpin oleh Dr M Stirling. Ekspedisi inilah yang pertama sekali mengadakan kontak dengan penduduk Lembah Baliem di pegunungan tengah. Penduduk asli yang menyebut dirinya Ndani tersebut mereka beri nama Dani.

Selanjutnya ada lagi ekspedisi yang dipimpin oleh Richard Arcbold dari American Museum of Natural History pada tahun 1938. Sebelum Jepang menguasai pulau itu pada perang dunia II sejumlah missionaris sudah mulai menyebarkan Injil di Irian/Papua. Penduduk Jepang hanya terpusat di bagian barat dan utara saja. Dua tahun kemudian pulau itu dibebaskan oleh Jenderal Douglas Mac Arthur yang mendirikan basis di dekat Danau Sentani.

Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 dan baru diakui oleh Belanda empat tahun kemudian wilayah Irian bagian barat mulai pula dituntut oleh bangsa Indonesia, karena merupakan bagian dari keseluruhan bekas jajahan Belanda yang merdeka menjadi negara Indonesia. Belanda berusaha mempertahankannya sehingga Indonesia mengadakan ekspedisi militer dengan sandi Komando Mandala pada bulan januari 1962.

PBB turun tangan menengahi sejak bulan oktober tahun itu sampai bulan Mei 1963. Setelah memberi kesempatan kepada orang Irian untuk menyatakan setuju atau tidak bergabung dengan Indonesia, maka pada tanggal 9 April 1969 resmilah Irian bagian barat itu menjadi bagian dari Indonesia. Irian Jaya menjadi wilayah provinsi Indonesia ke 17 sejak tahun 1969.

Nama lain dari Irian Jaya pada zaman dulu adalah Papua, Netherland New Guinea, Dutch New Guinea, dan West New Guinea. Pada mulanya Indonesia menyebut bagian barat itu Irian Barat. Kata Irian berasal dari bahasa Biak untuk menyebut daratan Irian, artinya "daerah iklim panas". Setelah menjadi bagian dari negara Indonesia ditambah dengan kata jaya (glorious), sehingga menjadi Irian Jaya (1973). Ibukota provinsi itu pada zaman Belanda disebut kota baru. Setelah menjadi wilayah Indonesia disebut Soekarnopura, kemudian tahun 1973 diubah lagi menjadi Jayapura. Pada masa itu jumlah penduduk Jayapura baru sekitar 75.000 jiwa dan penduduk Irian lainnya sekitar 140.000 jiwa.

Ahli ilmu bangsa-bangsa membedakan penduduk asli Irian Jaya menjadi dua kelompok ras. Pertama kelompok Melanesia yang umumnya mendiami wilayah pesisir dan kelompok Papua yang mendiami daerah pedalaman dan pegunungan. Penduduk pedalaman dianggap masih hidup dalam kebudayaan neolitik sedangkan penduduk pesisir umumnya mengembangkan kebudayaan mesolitik. Pada masa sekarang perbedaan tersebut hampir tidak kelihatan lagi. Penduduk Irian Jaya sebenarnya terdiri dari ratusan kelompok etnik atau suku bangsa yang satu sama lain saling terpisah bahkan terasing dalam kesatuan-kesatuan hidup yang terkadang amat kecil jumlahnya.

Suku Momuna: Berburu, meramu dan kepercayaan
 
Anton PS bersama Suku yang ada di papua
Yahukimo, Suku Momuna memiliki kesamaan dengan masyarakat Korowai terutama model rumah atau rumah pohon. Orang Momuna menyebut rumah pohon atau rumah tradisional  mereka, dengan nama “Buku Subu”. Seperti apa kisahnya? Berikut jurnal yang telah tayang di Koran Jubi, karya Piter Lokon.
Masyarakat suku Korowai, tersebar di tiga wilayah administrasi: Boven Digoel, Mappi, dan Asmat. Sementara suku Momuna, tersebar di dataran rendah kota Dekai, Yahukimo.

Namun  sejurus perkembangan zaman, kini masyarakat suku Momuna sudah jarang lagi tinggal di rumah pohon. Mereka sudah tinggal di rumah biasa, hasil bantuan sosial pemerintah Kabupaten Yahukimo. Walau demikian, upaya untuk membangun “Buku Subu” tetap dilakukan guna menarik turis lokal dan nusantara untuk berkunjung ke kampung mereka di Dekai, ibukota Kabupaten Yahukimo.

Orang Momuna sejak dulu sudah memiliki keyakinan dan kepercayaan sendiri soal penciptaan terutama Allah pencipta.
 "Kami tidak percaya kepada pohon atapun kali, kami meyakini bahwa ada yang menciptakan kami," kata Kepala Suku Besar Momuna Ismail Keikera kepada Jubi belum lama ini di kediamannya.

Lebih lanjut dia menambahkan, ada yang menciptakan dan tentu pemilik ciptaan itu pasti ada, sehingga ada tempat keramat atau tempat penghuni.

“Kami percaya bahwa orang yang berkuasa ada, sehingga kami tidak menyembah pohon atau kali dan kepada apapun. Dulu itu ada hanya tempat keramatlah atau larangan-larangan dari nenek moyang sampai generasi kami sekarang begitu,” kata Keikera menambahkan.

Ia mencontohkan pada pohon, ada larangan orang tua bahwa kayu merah atau dengan bahasa Momuna disebut "koweni“ jangan ditebang atau disentuh, sebab jika menyentuh ataupun memotong pasti bisa menjadi gila.

"Jadi kita lihat orang banyak yang seperti gila meronta-meronta di rumah sakit itu bukan karena apa, itu mereka sentuh pohon Koweni, kalo kami kena tidak perlu kerumah sakit tetapi tinggal tiup sebentar saja sudah sembuh,"katanya.

Dia menambahkan, sudah bertemu sebanyak lima warga yang meronta-ronta seperti orang gila.
"Dokter sudah ikat kaki dan tangan tetapi orangnya tetap saja meronta jadi dorang ada ganggu dia, saya sudah temukan sudah lima kali,” kata Ismail.

Walau demikian Ismail menambahkan, suku Momuna belum pernah memberikan penyembahan kepada pohon, batu atau kali.
 "Tetapi kami menyembah kepada Potmadito (Allah) Pencipta yang menguasai langit dan bumi. Jadi ternyata cerita Alkitab juga sama tidak ada perubahan, sehingga kami percaya bahwa Allah pencipta ada," katanya.

Dia menegaskan jadi tua-tua itu menjadi kepala suku menurut silsilah yang mereka anut.
"Kalau dilihat dari pembuangan Babel jadi kami jelas, di mana pembuangan babel kita yakini Allah yang sama,” ucapnya.

Kepercayaan kepada Allah pencipta, membuat masyarakat Momuna sangat dekat dengan alam dan lingkungan mereka. Hingga tak heran kalau mereka selalu mempertahankan hidup dengan mencari ikan atau dalam bahasa Momuna disebut Ci, menokok sagu atau (Mbi) dan Mate atau ubi hutan sudah menjadi makan pokok sehari-hari dari orang Momuna.

Selain itu, orang Momuna juga berburu hasil hutan, seperti babi hutan, burung Kasuari, buaya, kura-kura dan lain sebagainya. Setiap kali berburu selalu dibekali dengan sagu, baru bisa mencari daging atau burung dan ikan.
Umumnya orang Momuna mengenal Ubi Gubu atau Matei dalam bahasa Momuna mulai dikenal setelah misionaris datang membawa turun Injil ke Dekai.
 
Meramu dan berburu
Sejak dulu orang tua selalu hidup berpindah-pindah, kata Ismail. Karena ketika sumber makanan habis, maka mereka harus pindah dan membuka kebun baru lagi.

Para antropolog menyebutkan, ada tiga macam kehidupan nomaden, yaitu sebagai pemburu-peramu (hunter-gatherers), penggembala (pastoral nomads), dan pengelana (peripatetic nomads). 
Berburu-meramu lanjut pakar antropolog adalah metode bertahan hidup yang paling lama bertahan dalam sejarah manusia, dan para pelakunya berpindah mengikuti musim tumbuhan liar dan hewan buruan. Rotasi perladangan berpindah-pindah itu akan berlangsung selama 20 tahun dan masyarakat adat akan selalu kembali ke lokasi semula untuk berkebun karena sudah subur.

Perladangan berpindah-pindah sebenarnya sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Jika kesuburan lahan mulai berkurang mereka akan membiarkan lahan itu (follow of period) untuk memperbaiki siklusnya dan ini sangat berbeda ketika menerapkan pertanian menetap, karena lahan-lahan tropis tak selamanya subur jika tak diberi pupuk.

Antropolog Indonesia Prof Dr Subur Budi Santoso dalam penelitiannya mengatakan, etos kerja dari masyarakat peramu dan pemburu sangat kuat untuk mencapai hasil sebaik mungkin tanpa harus merusak lingkungan, sebagai pola-pola pengembangan adaptasi manusia.

Makanan pokok orang-orang Momuna sejak dulu sagu dan ubi-ubian tetapi sagu adalah makanan pokok masyarakat setempat.
"Tidak  ada sagu juga orang bisa lemah, tetapi sekarang ini baru ada nasi," kata Kepala Suku besar Momuna.
Menurut dia tak boleh sembarang orang menebang sagu, karena itu makanan pokok orang asli Momuna, jika ditebang jelas membunuh orang Momuna.

“Siapapun yang tebang sagu dendanya bisa sampai Rp50 juta , jangan macam-macam karena itu makanan pokok kami orang Momuna, karena ini sama saja membunuh satu orang nyawa,” katanya.

Dia tak memungkiri kalau pemerintah juga pernah memberikan beras miskin atau beras sejahtera yang diterima dari Pemerintah Yahukimo melalui PD Irian Bhakti dan diserahkan kepada aparat desa.

“Kami berharap kedepan melalui desa bisa dapat beras perbulan sebagai warga negara Indonesia,” kelakarnya.Bersambung,-(anton ps)

Komentar Anda

Berita Terkini