 |
| Wartawan Policewatch bersama salah satu warga | | | | dari suku yang ada di papua |
Red,(MPW,Sejarah Suku Irian
Jaya) ~ Irian terletak
di Pulau Irian/Papua sebelah barat. Bagian sebelah timurnya berdiri sebuah
negara merdeka dengan nama Papua Nugini. Pulau Irian atau New Guinea panjangnya
1.500 mil dan lebarnya 500 mil, dinyatakan sebagai pulau nomor 2 terbesar dunia
setelah Pulau Greenland. Panjangnya 1.500 mil dari ujung kepala ke ujung ekor,
dan luasnya sekitar 299.310 mil bujursangkar. Bentuknya seperti seeokor burung
purba yang sedang melompat terbang di atas Benua Australia menuju ke daratan
Asia. Pada zaman dulu pulai tersebut dikenal dengan nama Papua dan sejarahnya
paling tidak dapat ditelusuri sejak adanya kerajaan Sriwijaya yang dianggap
meluaskan hegemoninya sampai ke ujung Irian bagian barat. Setelah kerajaan itu
hilang peranan hegemoni tersebut diteruskan oleh sultan-sultan Tidore dan
ternate dari Kepulauan Maluku. Sedangkan para penjelajah Eropa mulai
mengenalnya sejak abad ke-16.
Menurut pengakuan resmi penjelajah Barat, pulau ini ditemukan oleh dua orang
pelaut Portugis, d'Abrue dan Sarrano pada tahun 1511. Para penjelajah yang
mencari rempah-rempah itu rupanya tidak tahu kalau di beberapa tempat di pulau
itu juga ditanami rempah-rempah, sehingga luput dari penguasaan mereka. Pada
tahun 1545 datanglah pelaut Spanyol, Inigo Ortis de Retes dari arah timur.
Melihat pulau ini cukup menarik maka penjelajah ini segera menancapkan bendera
negara di sebelah timur muara Sungai Memberamo, kemudian pulau itu diberinya
nama Nova Guinea (New Guinea).
 |
| suku di papua tempo dulu |
Tapi rupanya kerajaan Spanyol ketika itu tidak tertarik
untuk memiliki pulau itu. Orang Belanda pertama yang sampai di pulai ini adalah
William Janz (1606). Dilanjutkan oleh beberapa ekspedisi lain, sampai pada
pertengahan abad ke-17 didirikan sebuah pos militer untuk menjaga kegiatan
perdagangan yang mulai berkembang di pulau itu. Ketika penjelajah Jerman dan
Perancis sudah berani pula menghampiri Irian/Papua, Belanda buru-buru
memproklamasikan bagian barat pulau itu sebagai bagian dari wilayah Nederland
(1828). Wilayah itu mereka kontrol dari
Ambon.
Sementara itu orang Inggris menancapkan pula bendera kerajaannya di bagian
timur, tepatnya di Port Moresby (1883).
Daerah pedalaman pertama kali disingkapkan oleh orang luar ketika Belanda
melaksanakan suatu ekspedisi yang dipimpin oleh Dr H A Lorentz pada tahun 1909.
Tujuh belas tahun kemudian berangkat pula suatu ekspedisi Belanda-Amerika yang
dipimpin oleh Dr M Stirling. Ekspedisi inilah yang pertama sekali mengadakan
kontak dengan penduduk Lembah Baliem di pegunungan tengah. Penduduk asli yang
menyebut dirinya Ndani tersebut mereka beri nama
Dani.
Selanjutnya ada lagi ekspedisi yang dipimpin oleh Richard Arcbold dari American
Museum of Natural History pada tahun 1938. Sebelum Jepang menguasai pulau itu
pada perang dunia II sejumlah missionaris sudah mulai menyebarkan Injil di
Irian/Papua. Penduduk Jepang hanya terpusat di bagian barat dan utara saja. Dua
tahun kemudian pulau itu dibebaskan oleh Jenderal Douglas Mac Arthur yang
mendirikan basis di dekat Danau Sentani.
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 dan baru diakui oleh Belanda empat tahun
kemudian wilayah Irian bagian barat mulai pula dituntut oleh bangsa Indonesia,
karena merupakan bagian dari keseluruhan bekas jajahan Belanda yang merdeka
menjadi negara Indonesia. Belanda berusaha mempertahankannya sehingga Indonesia
mengadakan ekspedisi militer dengan sandi Komando Mandala pada bulan januari
1962.
PBB turun tangan menengahi sejak bulan oktober tahun itu sampai bulan Mei 1963.
Setelah memberi kesempatan kepada orang Irian untuk menyatakan setuju atau
tidak bergabung dengan Indonesia, maka pada tanggal 9 April 1969 resmilah Irian
bagian barat itu menjadi bagian dari Indonesia. Irian Jaya menjadi wilayah
provinsi Indonesia ke 17 sejak tahun 1969.
Nama lain dari Irian Jaya pada zaman dulu adalah Papua, Netherland New Guinea,
Dutch New Guinea, dan West New Guinea. Pada mulanya Indonesia menyebut bagian
barat itu Irian Barat. Kata Irian berasal dari bahasa
Biak
untuk menyebut daratan Irian, artinya "daerah iklim panas". Setelah
menjadi bagian dari negara Indonesia ditambah dengan kata jaya (glorious),
sehingga menjadi Irian Jaya (1973). Ibukota provinsi itu pada zaman Belanda
disebut kota baru. Setelah menjadi wilayah Indonesia disebut Soekarnopura,
kemudian tahun 1973 diubah lagi menjadi Jayapura. Pada masa itu jumlah penduduk
Jayapura baru sekitar 75.000 jiwa dan penduduk Irian lainnya sekitar 140.000
jiwa.
Ahli ilmu bangsa-bangsa membedakan penduduk asli Irian Jaya menjadi dua
kelompok ras. Pertama kelompok Melanesia yang umumnya mendiami wilayah pesisir
dan kelompok Papua yang mendiami daerah pedalaman dan pegunungan. Penduduk
pedalaman dianggap masih hidup dalam kebudayaan neolitik sedangkan penduduk
pesisir umumnya mengembangkan kebudayaan mesolitik. Pada masa sekarang
perbedaan tersebut hampir tidak kelihatan lagi. Penduduk Irian Jaya sebenarnya
terdiri dari ratusan kelompok etnik atau suku bangsa yang satu sama lain saling
terpisah bahkan terasing dalam kesatuan-kesatuan hidup yang terkadang amat
kecil jumlahnya.
Suku Momuna:
Berburu, meramu dan kepercayaan
 |
| Anton PS bersama Suku yang ada di papua |
Yahukimo, Suku
Momuna memiliki kesamaan dengan masyarakat Korowai terutama model rumah atau
rumah pohon. Orang Momuna menyebut rumah pohon atau rumah tradisional
mereka, dengan nama “Buku Subu”. Seperti apa kisahnya? Berikut jurnal yang
telah tayang di Koran Jubi, karya Piter Lokon.
Masyarakat suku Korowai, tersebar di tiga wilayah
administrasi: Boven Digoel, Mappi, dan Asmat. Sementara suku Momuna, tersebar
di dataran rendah kota Dekai, Yahukimo.
Namun sejurus perkembangan zaman, kini masyarakat suku Momuna sudah
jarang lagi tinggal di rumah pohon. Mereka sudah tinggal di rumah biasa, hasil
bantuan sosial pemerintah Kabupaten Yahukimo. Walau demikian, upaya untuk
membangun “Buku Subu” tetap dilakukan guna menarik turis lokal dan nusantara
untuk berkunjung ke kampung mereka di Dekai, ibukota Kabupaten Yahukimo.
Orang Momuna sejak dulu sudah memiliki keyakinan dan kepercayaan sendiri soal
penciptaan terutama Allah pencipta.

"Kami tidak percaya kepada pohon atapun kali,
kami meyakini bahwa ada yang menciptakan kami," kata Kepala Suku Besar
Momuna Ismail Keikera kepada Jubi belum lama ini di kediamannya.
Lebih lanjut dia menambahkan, ada yang menciptakan dan tentu pemilik ciptaan
itu pasti ada, sehingga ada tempat keramat atau tempat penghuni.
“Kami percaya bahwa orang yang berkuasa ada, sehingga kami tidak menyembah
pohon atau kali dan kepada apapun. Dulu itu ada hanya tempat keramatlah atau
larangan-larangan dari nenek moyang sampai generasi kami sekarang begitu,” kata
Keikera menambahkan.
Ia mencontohkan pada pohon, ada larangan orang tua bahwa kayu merah atau dengan
bahasa Momuna disebut "koweni“ jangan ditebang atau disentuh, sebab jika
menyentuh ataupun memotong pasti bisa menjadi gila.
"Jadi kita lihat orang banyak yang seperti gila meronta-meronta di rumah
sakit itu bukan karena apa, itu mereka sentuh pohon Koweni, kalo kami kena
tidak perlu kerumah sakit tetapi tinggal tiup sebentar saja sudah
sembuh,"katanya.
Dia menambahkan, sudah bertemu sebanyak lima warga yang meronta-ronta seperti
orang gila.
"Dokter sudah ikat kaki dan tangan tetapi orangnya
tetap saja meronta jadi dorang ada ganggu dia, saya sudah temukan sudah lima
kali,” kata Ismail.
Walau demikian Ismail menambahkan, suku Momuna belum pernah memberikan
penyembahan kepada pohon, batu atau kali.
"Tetapi kami menyembah kepada Potmadito (Allah)
Pencipta yang menguasai langit dan bumi. Jadi ternyata cerita Alkitab juga
sama tidak ada perubahan, sehingga kami percaya bahwa Allah pencipta ada,"
katanya.
Dia menegaskan jadi tua-tua itu menjadi kepala suku menurut silsilah yang
mereka anut.
"Kalau dilihat dari pembuangan Babel jadi kami jelas,
di mana pembuangan babel kita yakini Allah yang sama,” ucapnya.
Kepercayaan kepada Allah pencipta, membuat masyarakat Momuna sangat dekat
dengan alam dan lingkungan mereka. Hingga tak heran kalau mereka selalu
mempertahankan hidup dengan mencari ikan atau dalam bahasa Momuna disebut Ci,
menokok sagu atau (Mbi) dan Mate atau ubi hutan sudah menjadi makan pokok
sehari-hari dari orang Momuna.
Selain itu, orang Momuna juga berburu hasil hutan, seperti babi hutan, burung
Kasuari, buaya, kura-kura dan lain sebagainya. Setiap kali berburu selalu
dibekali dengan sagu, baru bisa mencari daging atau burung dan ikan.
Umumnya orang Momuna mengenal Ubi Gubu atau Matei dalam bahasa Momuna mulai
dikenal setelah misionaris datang membawa turun Injil ke Dekai.
Meramu dan berburu
Sejak dulu orang tua selalu hidup berpindah-pindah, kata Ismail. Karena ketika
sumber makanan habis, maka mereka harus pindah dan membuka kebun baru lagi.
Para antropolog menyebutkan, ada tiga macam kehidupan nomaden, yaitu sebagai
pemburu-peramu (hunter-gatherers), penggembala (pastoral nomads), dan pengelana
(peripatetic nomads).
Berburu-meramu lanjut pakar antropolog adalah metode
bertahan hidup yang paling lama bertahan dalam sejarah manusia, dan para
pelakunya berpindah mengikuti musim tumbuhan liar dan hewan buruan. Rotasi
perladangan berpindah-pindah itu akan berlangsung selama 20 tahun dan
masyarakat adat akan selalu kembali ke lokasi semula untuk berkebun karena
sudah subur.
Perladangan berpindah-pindah sebenarnya sesuai dengan kondisi nyata di
lapangan. Jika kesuburan lahan mulai berkurang mereka akan membiarkan lahan itu
(follow of period) untuk memperbaiki siklusnya dan ini sangat berbeda ketika
menerapkan pertanian menetap, karena lahan-lahan tropis tak selamanya subur
jika tak diberi pupuk.
Antropolog Indonesia Prof Dr Subur Budi Santoso dalam penelitiannya mengatakan,
etos kerja dari masyarakat peramu dan pemburu sangat kuat untuk mencapai hasil
sebaik mungkin tanpa harus merusak lingkungan, sebagai pola-pola pengembangan
adaptasi manusia.
Makanan pokok orang-orang Momuna sejak dulu sagu dan ubi-ubian tetapi sagu
adalah makanan pokok masyarakat setempat.
"Tidak ada sagu juga orang bisa lemah, tetapi sekarang ini baru ada
nasi," kata Kepala Suku besar Momuna.
Menurut dia tak boleh sembarang orang menebang sagu, karena itu makanan pokok
orang asli Momuna, jika ditebang jelas membunuh orang Momuna.
“Siapapun yang tebang sagu dendanya bisa sampai Rp50 juta ,
jangan macam-macam karena itu makanan pokok kami orang Momuna, karena ini sama
saja membunuh satu orang nyawa,” katanya.
Dia tak memungkiri kalau pemerintah juga pernah memberikan beras miskin atau
beras sejahtera yang diterima dari Pemerintah Yahukimo melalui PD Irian Bhakti
dan diserahkan kepada aparat desa.
“Kami berharap kedepan melalui desa bisa dapat beras perbulan sebagai warga negara
Indonesia,” kelakarnya.Bersambung,-(anton ps)