Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie |
Jakarta, POLICEWATCH, - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengingatkan aparat kepolisian agar tidak menafsirkan
sendiri arti 'penghinaan presiden' dalam melakukan penindakan.
Pasalnya, menurut dia, MK melalui putusan nomor 013-022-PUU-IV/2006 telah
membatalkan pasal-pasal dalam KUHP yang menyasar kepada kasus-kasus penghinaan
presiden seperti pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 ayat (1) Ia menambahkan Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP yang direncanakan akan
disahkan dalam waktu dekat sudah berganti menjadi delik aduan.
Pernyataan tersebut dilontarkan Jimly berkaitan dengan terbitnya Surat Telegram
Kapolri Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 yang berisi sanksi pidana terhadap
masyarakat yang menghina Presiden dan Pejabat Pemerintah di media sosial
terkait pelaksanaan penanganan Covid-19.
"Jadi, orang yang merasa terhina itu yang mengadu. Jangan petugas yang
menafsirkan sendiri si A, si B, terhina. Itu nanti merusak demokrasi,"
kata Jimly Selasa
(7/4).
Jimly menegaskan penghinaan dilarang atas dasar apa pun. Hanya saja, terkait
proses hukum, menurutnya, hanya bisa dilakukan jika ada yang mengadu Ia menambahkan, dalam kehidupan berdemokrasi sebaiknya
pejabat pemerintah sudah siap menikmati jabatannya dengan segala hak istimewa
dan beban yang ada.
"Jadi, jangan menerima yang enak saja. Tapi, yang tidak enaknya, ya,
dinikmati juga. Itulah akibat demokrasi, harus kita terima plus minusnya,"
ucap dia.
Kapolri melalui telegramnya menggunakan pasal 207 KUHP. Dalam pasal itu
disebutkan, barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan
menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan
pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sementara itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik keras
langkah represif yang dikedepankan Kapolri Jenderal Idham Azis dalam menangani
kasus-kasus ujaran kebencian dan penghinaan terhadap presiden terkait
penanganan Covid-19.
ICJR berpendapat, aparat bisa dianggap melawan konstitusi ketika secara eksesif
melakukan penegakan hukum dengan tidak didasari argumen hukum yang tepat
terhadap orang-orang yang mengemukakan pendapat dan pikiran secara sah.
"Pasal 28 UUD 1945 jelas menjamin hak warga negara untuk bebas
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan," kata Direktur Eksekutif
ICJR, Erasmus AT Napitupulu melalui keterangan tertulis, Selasa (7/4).
Erasmus meminta Polri segera menghentikan segala proses hukum khususnya
terhadap setiap orang yang sedang menggunakan haknya untuk berekspresi secara
sah dan dijamin oleh konstitusi.
Selain karena menerapkan pasal-pasal UU ITE dan KUHP secara keliru, terang dia,
tindakan aparat untuk membungkam kemerdekaan berekspresi dengan mengedepankan
langkah represif dengan menggunakan ancaman pidana hanya akan semakin
memperburuk iklim ketakutan di tengah masyarakat.
"Lebih memprihatinkan, polisi secara terbuka melawan putusan Mahkamah
Konstitusi," ujarnya
PEWARTA : MRI