Popular Post

Recent post

Archive for April 2020




BOLTIM, SUL-UT, POLICEWATCH,-Seperti yang sedang viral dalam video live berdurasi 2 menit 37 detik, nampak Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim) Sulawesi Utara Ngomel atas aturan yang telah dibuat kementrian yang di anggap berbeda-beda, 29/4/2020.

Dalam video live di salah satu saluran Tv Swasta yang sedang viral, nampak Sehan Landjar Bupati Boltim menunjukkan kekecewaannya terhadap aturan dan kebijakan yang di keluarkan sejumlah Kementrian dalam kabinet Joko Widodo terkait penanganan virus Covid-19.

Di kutif dari video tersebut "Menteri berlagak tidak salah, main rubah - rubah aturan yang bikin kita bingung, menghadapi persoalan begini koordinasinya harus baik, ini saya katakan seolah kita ini para kepala daerah adalah semuanya perampok".


"Semestinya di berikan saja kita kewenangan, di awasi KPK, Kepolisian dan Kejaksaan, nantinya akan kita libatkan semua, tapi jangan di rubah-rubah. Sehingga kebingungan kita, keterlambatan di kabupaten/kota, kebingungan kita merubah APBD kita, kebingungan merubah Dana Desa kita".

"Sekarang memasuki bulan ramadhan, kita jadi binguuung. Semuanya serba terdesak, karena berubah-ubah. Saya tidak boleh membayangkan menteri desa menyuruh tidak boleh di buat beli sembako, tiba-tiba turun surat menteri dalam negeri untuk langkah antisipasi dalam penanganan covid bahkan bencana alam sekalipun dari Dana Desa, terang Sehan dalam video viral".


"Turun lagi perubahan dari menteri desa, itu kesalahan dia, yang lebih hebat di situ di gunakan BLT yang standartnya Rp. 600rb, kemudian bagaimana dengan surat menteri sosial yang PKH tidak boleh lagi dapat sembako.

Penerima PKH hanya Rp. 200rb satu keluarga, ini pemikiran tidak adil, makanya saya membuat kebijakan, tambahnya.

Sebelumnya juga hal yang sama  terjadi di Subang Jawa Barat Seperti yang di beritakan POLICEWATCH dengan Judul : VIRAL, Lewat Video "Seorang Kades di Subang"Protes Gubernur Jabar, Dirjen, Menteri, hingga Presiden

Bersambung......

(Tim Police Watch)
, makam  Syekh Maulana Ishaq, di Lamongan


Oleh : M Rodhi irfanto
Red : POLICEWATCH,-  Syekh Maulana Ishaq adalah seorang ulama yang berasal dari Samarqand (dekat Bukhara-Rusia Selatan). Dia adalah salah satu anggota Wali Songo periode pertama yang dikirim oleh Sultan Turki Ustmani ke nusantara (Indonesia kala itu) dengan spesialisasi ahli pengobatan.

Dia datang ke tanah Jawa pada 1404 Masehi bersama dengan ayahnya Syekh Maulana Ahmad Jumadil Qubro (Husein Jamaluddin) dan kakaknya Syekh Maulana Malik Ibrahim.

Kisah karomah Syekh Maulana Ishaq berawal saat dia datang di Gresik tanah Jawa kemudian ke Blambangan. Pada yang bersamaan Kerajaan Blambangan yang dipimpin Prabu Menak Sembuyu diserang wabah penyakit. Sudah berbulan-bulan rakyat Blambangan dilanda suatu penyakit yang menyebabkan kematian. Hampir setiap hari selalu ada saja rakyat Blambangan yang meninggal dunia karena wabah ini.


Wabah ini juga menyerang Dewi Sekardadu putri dari Prabu Menak Sembuyu. Sudah berbulan bulan Dewi Sekardadu terserang wabah. Sudah banyak dukun, tabib yang datang untuk menyembuhkannya, namun Dewi Sekardadu belum sembuh juga.

Kerajaan dirudung kesedihan. Karena melihat putrinya belum sembuh-sembuh dalam waktu yang cukup lama, kemudian Prabu Menak Sembuyu menyuruh Patih Bajul Sengara untuk mengumumkan sebuah sayembara, yang isinya barang siapa yang bisa menyembuhkan penyakit sang putri serta dapat mengusir wabah penyakit dari Kerajaan Blambangan, maka apabila dia laki-laki akan dijodohkan dengan Dewi Sekardadu.

Bila dia perempuan maka akan dijadikan saudara Dewi Sekardadu. Setelah sayembara disebarkan sampai ke pelosok negeri, tidak satupun yang berani mengikuti sayembara itu. Sampailah berita sayembara itu pada seorang Brahmana Resi Kandabaya. Pada suatu hari Resi Kandabaya datang ke Kerajaan Blambangan untuk menghadap Prabu Menak Sembuyu.

Resi Kandabaya mengatakan kepada Prabu Menak Sembuyu bahwa yang dapat menyembuhkan sang Putri Dewi Sekardadu dan mengusir wabah penyakit dari Kerajaan Blambangan adalah seorang pertapa yang bernama Maulana Ishaq yang berada di Gunung Gresik.

Prabu Menak Sembuyu kemudian mengutus Patih Bajul Sengara untuk menemui Syekh Maulana Ishaq guna meminta pertolongan untuk menyembuhkan sang Putri dan rakyat Blambangan. Maka berangkatlah patih Bajul Sengara yang diikuti oleh beberapa prajurit.

Mereka melakukan perjalanan dengan berkuda untuk menuju Gunung Gresik. Setelah melakukan perjalanan berkuda selama enam hari, sampailah kesepuluh prajurit berkuda yang dipimpin oleh Patih Bajul Sengara di Gunung Gresik, dan menemui Syekh Maulana Ishaq.

Syeh Maulana Ishaq kemudian berkata kepada tamunya. “Agama Islam adalah agama yang selalu membantu orang yang memerlukan pertolongan, juga agama yang suka menghormati tamunya, apalagi yang datang dari jauh. Baiklah aku akan memenuhi permintaan Raja kamu sekalian, karena aku tidak sampai hati untuk mengecewakannya, tapi hal ini kulakukan bukan karena iming-iming yang akan dijodohkan dengan Dewi Sekardadu juga bukan karena aku takut untuk dihukum mati oleh raja kalian. Yang kulakukan adalah ikhlas semata tanpa mengharap imbalan jasa apapun. Nah Sekarang berangkatlah kisanak sekalian terlebih dahulu,”.

Patih Bajul Sengara kemudian mengajak prajuritnya untuk bergegas kembali ke Blambangan. Untuk sampai di Blambangan kembali merekapun menempuh perjalanan enam hari berkuda, Ketika rombongan Patih Bajul Sengara dan prajuritnya sampai di halaman kerajaan Blambangan, terkejutlah mereka, karena suasana kerajaan tampak meriah sekali, Setelah diselidiki ternyata Prabu Menak Sembuyu sedang merayakan hari ketujuh pernikahan putri Dewi Sekardadu dengan Syekh Maulana Ishaq.

Patih Bajul Sengara semakin terheran, mengenai keterangan yang telah disampaikan oleh para punggawa kerajaan yang ada di sana. Di dalam hatinya mana mungkin Syekh Maulana Ishaq telah sampai lebih dahulu, padahal rombongannya berangkat terlebih dahulu.

Diapun segera masuk ke Istana untuk menghadap Prabu Menak Sembuyu. Setelah patih dihadapan Raja Blambangan. Sang Raja bertanya, “Kemana saja kalian ini Bajul Sengara” “Hamba baru datang dari Gunung Gresik Prabu” jelas Bajul Sengara. “Berapa lama waktu yang diperlukan untuk sampai ke Gunung Gresik,” tanya Prabu Menak Sembuyu. “Enam hari Gusti Prabu, jadi kami dua belas hari berada di perjalanan, Gusti Prabu,” jawab patih Bajul Sengara. “Pada hari keenam sejak kepergian kalian ke Gunung Gresik, Maulana Ishaq sudah datang ke istana ini. Dia telah berhasil menyembuhkan Dewi Sekardadu dan sekaligus telah mengusir wabah yang menyerang Blambangan ini. Dan sesuai janjiku, maka kujodohkan dia dengan putriku Dewi Sekardadu, sekarang ini adalah perayaan hari ketujuh atas pernikahan Maulana Ishaq dengan putriku,” kata sang raja.

Patih Baju Sengara terperanjat mendengar apa yang dikatakan oleh sang raja, karena sewaktu di Gunung Gresik rombongannya disuruh berangkat terlebih dahulu oleh Syekh Maulana Ishaq, Tetapi Syeh Maulana Ishaq tidak mempunyai kuda atau hanya berjalan kaki namun mampu datang lebih dahulu dari rombongan mereka.

Ini menunjukkan bahwa Syekh Maulana Ishaq bukan orang sembarangan, orang yang sangat tinggi ilmunya, Segera patih menemui Syeh Maulana Ishaq karena dia masih belum percaya, jangan-jangan ada orang lain yang mengaku-ngaku sebagai Syekh Maulana Ishaq.

Setelah melihat sendiri bahwa pria yang bersanding di pelaminan disamping Dewi Sekardadu adalah benar-benar Syekh Maulana Ishaq baru sang patih merasa yakin, Sesungguhnya Syekh Maulana Ishaq mempunyai ilmu atau kharomah yang tinggi, bahwa dalam sekejap mata dia dapat berpindah dari Gunung Gresik ke Blambangan.

Hal ini adalah karena kuasa Allah SWT, bila berkehendak untuk menjalankan seseorang ke tempat yang sangat jauh dalam waktu sekejap mata, maka tidak ada satu kekuatanpun di jagad raya ini yang akan mencegahnya.

Maha Suci Allah atas segala kekuasaanNya. Setelah pesta perkawinan selesai, banyak penduduk sekitar istana berdatangan untuk meminta pengobatan kepada Syekh Maulana Ishaq, lalu sang ulama ini menolong mereka dengan sabar dan telaten, banyak dari mereka yang sakit telah disembuhkan.

Lama-lama penduduk simpati pada ajaran yang telah dibawa oleh Syekh. Seiring berjalannya waktu, semakin hari semakin banyak pengikut Syekh Maulana Ishaq, mereka dengan sukarela menjadi pengikut dan masuk Agama Islam.

Melihat kenyataan ini Prabu Menak Sembuyu menjadi khawatir, apalagi Syekh Maulana Ishaq melarang memakan binatang yang tidak disembelih atas nama Allah, melarang makan binatang buas, babi dan beliau melarang menyembah berhala.

Padahal hal tersebut adalah kesenangan dan sudah menjadi kebiasaan di Blambangan pada waktu itu, Prabu Menak Sembuyu menyuruh patih Bajul Sengara untuk menyerang Syekh Maulana Ishaq dan pengikutnya. 

Berangkatlah Patih Bajul Sengara beserta prajurit menuju kediaman Syekh Maulana Ishaq, Namun sang Syekh tak melawan bahkan berjanji akan meninggalkan Blambangan. Mendengar hal ini para pengikut bertanya kepada Syekh Maulana Ishaq.

“Jangan pergi Tuan, kalau Tuan pergi meninggalkan kami siapa yang akan membimbing kami mempelajari ajaran agama Islam, siapa yang akan membimbing kami menuju jalan yang benar, dan siapa yang akan memberi contoh kami budi pekerti yang halus. 

Jangan khawatir wahai saudaraku, kelak akan ada penggantiku setelah kepergianku, anakku yang ada di dalam kandungan istriku Dewi Sekardadu yang akan membimbing kalian,”.

Pembicaraan Syeh Maulana dengan pengikutnya ini memang terdengar oleh patih Bajul Sengara.

Sebelum meninggalkan Blambangan Syekh Maulana Ishaq pamit pada istrinya, “Istriku aku akan pergi meninggalkan Blambangan, bukan aku tidak sayang kepada engkau, akan tetapi demi kedamaian kita semua, dan demi mencegah pertumpahan darah diantara kita, maka relakan aku pergi meninggalkan Blambangan,”.

Dewi Sekardadu melepas kepergian suaminya dengan menangis, dan cucuran air mata yang membasahi pipinya, Beberapa bulan setelah kepergian suaminya, Dewi Sekardadu melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat.

Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu suka kepada bayi tersebut dan telah melupakan Syekh Maulana Ishaq, akan tetapi karena hasutan patih yang telah mendengar apa yang dikatakan Syeh Maulana Ishaq pada pengikutnya di saat akan meninggalkan Blambangan, juga pada waktu itu, Blambangan mulai diserang wabah kembali, patih tersebut mengatakan bahwa kelak anak ini akan membawa petaka di Blambangan.

Patih Bajul Sengara mengatakan pada Prabu Menak Sembuyu bahwa wabah yang datang kembali ini ada hubungannya dengan lahirnya anak Dewi Sekardadu. Prabu Menak Sembuyu terhasut oleh perkataan Patih Najul Sengara, bayi yang baru lahir tersebut dimasukkan dalam peti mati dan dihanyutkan ke tengah samudra.

Dewi Sekardadu yang baru ditinggalkan suaminya, sekarang mendapatkan kenyataan harus berpisah dari anaknya yang baru dilahirkan, apalagi anak tersebut dihanyutkan ke tengah lautan. (anak tersebut kelak menjadi Sunan Giri).

Sementara Maulana Ishaq kemudian singgah ke Gresik menemui Maulana Malik Ibrahim, untuk melaporkan hasil dakwahnya di Blambangan dan meminta saran kepada kakaknya. dan ditugasi untuk berdakwah ke Kerajaan Samudera Pasai.

Kebetulan Kerajaan Samudera Pasai membutuhkan seorang Penasehat (Mufti). Maulana Ishaq. Maulana Ishaq wafat di Tumasik (Singapura) yang saat itu merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Samudera Pasai. Dan dimakamkan di sana.

 
Versi Lain


Sebenarnya tak hanya di Lamongan, makam yang dipercayai sebagai “rumah terakhir” Syekh Maulana Ishaq juga bisa ditemui di banyak tempat. 

Beberapa di antaranya yakni di Gresik, Situbondo, Klaten, Bantul, Wonosobo, Pemalang, Banyumas, Cirebon, dan lain-lain. Namun, Di Lamongan, selain bisa belajar dari dongeng yang beredar di masyarakat, kita juga disuguhi dengan pemandangan nan elok di mata.

Lokasi makam Syekh Maulana Ishaq ini berada di Jalan Maulana Ishaq, Desa Kemantren, Kecamatan Paciran. Lokasinya tidak jauh dari makam Sunan Drajat, hanya sekitar 2 km sebelah Timur atau tak lebih dari 10 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor.

Kita akan dibuat “adem panas” sesaat setelah sampai di area makam. Tentu, bukan adem panas dalam arti demam, maksud saya. Namun, adem karena sepoi angin dari laut yang menghampar di depan area makam. 

Dan panas karena daerah pesisir Lamongan memang memiliki suhu udara yang cukup untuk membuat Anda gerah, terlebih di siang hari.

Menurut dongeng yang diceritakan oleh H Askur, juru kunci makam, Syekh Maulana Ishaq sampai di Pesisir Lamongan setelah diusir dari kerajaan Blambangan. Sebelumnya, seperti cerita pada versi-versi lain, Syekh Maulana Ishaq menikah dengan anak Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, setelah berhasil menyembuhkan putri kesayangan raja tersebut dari penyakit ganas yang diderita sekian lama.

Akhirnya Syekh Maulana Ishaq pun menikah dengan Dewi Sekardadu seperti yang sudah disayembarakan sang raja sebelumnya: bahwa jika yang dapat menyembuhkan adalah seorang perempuan, maka akan dijadikan saudara Dewi Sekardadu. 

Sedangkan, jika laki-laki akan dinikahkan dengan putri cantik tesebut. Satu permintaan lain Syekh Maulana Ishaq, yang saat itu disanggupi oleh sang raja, selain hadiah sayembara adalah agar ia diberikan kebebasan untuk siar agama Islam di wilayah kekuasaan kerajaan Blambangan. 

Padahal, kerajaan Blambangan merupakan kerajaan yang menganut ajaran Hindu.Dua tahun berselang, saat Dewi Sekardadu sedang hamil muda (mengandung Sunan Giri), sang raja mulai gelisah. Ketidaksepahaman akan agama yang disiarkan menantunya, membuat ia ingkar akan janji yang pernah ia sepakati dulu. Imbasnya, Syekh Maulana Ishaq pun diusir dari kerajaan.

Sebelum pergi, Syekh Maulana Ishaq berpesan kepada istrinya. Jika suatu saat Dewi Sekardadu ingin menemuinya, agar berjalan menyusuri daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa. Sebab Syekh Maulana Ishaq akan melanjutkan siarnya di sekitar sana.

“Setelah menempuh perjalanan jauh, Dewi Sekardadu akhirnya bertemu dengan suaminya di desa ini,” tutur H Askur saat bercerita di makam Syekh Maulana Ishaq. 

Lanjut ia bercerita, setelah kembali berpisah dengan istri untuk melanjutkan siar agama ke daerah lain, Syekh Maulana Ishaq berpesan kepada dua muridnya. Jika suatu saat ia meninggal dunia, agar dimakamkan di tempat yang sama saat bertemu dengan Dewi Sekardadu dulu, yakni di desa yang saat ini bernama Desa Kemantren. 

Selain makam Syekh Maulana Ishaq, di tempat yang sama secara berdampingan juga terdapat makam dua murid ayah Sunan Giri tersebut.

Sumber : Sejarah jejak wali, Cerita dan Juru Kunci


Salah satunya makam Syekh Maulana Maghribi di Parangtritis, Bantul.


Oleh : M Rodhi irfanto
Red, POLICEWATCH, Kabupaten Bantul bukan hanya menghadirkan keindahan pantai dan panorama alam semata, tetapi sarat akan nilai dan kekayaan sejarah, Banyak kisah lampau hingga kini masih terpatri apik. Salah satunya makam Syekh Maulana Maghribi di Parangtritis, Bantul.


Juru kunci yang juga Abdi Dalem Parangkusumo Mas Sutopo saat ditemui POLICEWATCH, Kamis (21/6/2018) menceritakan Syekh Maulana Maghribi, konon merupakan penyebar agama Islam generasi pertama di tanah Jawa.

Ia adalah tokoh besar yang berasal dari Maroko, Afrika bagian Utara, Banyak versi terkait kisah sejarah wali Allah yang satu ini di antaranya banyaknya makam dan petilasan beliau  ditanah jawa ini


"Untuk keperluan apa beliau datang ke Parangtritis? Untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa," tuturnya. Ketika sampai di Parangtritis, diceritakan dia, Syeh Maulana Maghribi bertemu dengan Joko Dandung dan Joko Jantrung, Konon, keduanya adalah putra dari Raja terakhir Majapahit, Brawijaya V.


Namun, ada yang menyebutkan bahwa Joko Dandung dan Joko Jantrung hanya bersahabat, Satu perguruan, Dikemudian hari, Joko Dandung dan Joko Jantrung ini diketahui adalah nama lain dari Syekh Bela-Belu dan Syekh Damiaking.

Makam kedua tokoh ini berada di gunung Banteng, Parangtritis, Tidak terlalu jauh dari makam Syekh Maulana Maghribi.


Dikatakan Mas Sutopo, Joko Dandung dan Joko Jantrung saat bertemu dengan Syekh Maulana Maghribi, kala itu masih memegang teguh agama nenek moyang. Hindu dan Budha.

Kedatangan Syekh Maulana Maghribi di Parangtritis -yang bertujuan untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa--direstui oleh keduanya dengan sejumlah persyaratan.

- "Syarat pertama, masyarakat jangan dipaksa. Memeluk agama harus dengan suka rela," terangnya.
Permintaan itu oleh Syekh Maulana Maghribi disanggupi, Hingga akhirnya, berkelindan waktu, Islam kini bisa berkembang dan menyebar menjadi agama yang dianut oleh hampir mayoritas masyarakat Parangtritis dan sekitarnya.

- Syarat selanjutnya, agama Islam jangan hanya disebarkan bersifat lahir semata, akan tetapi juga batin.
Masyarakat Jawa, kata mas Sutopo sudah dari zaman dahulu dikenal memiliki olah kebatinan yang tinggi

"Antara lahir dan batin ini harus seimbang. Islam ini disebarkan dengan lahir dan batin. Jadi jika ada ustad kemudian diundang untuk menyampaikan agama, tapi dipikiran terbersit. Ini nanti amplopnya berapa. Itu tidak bisa," katanya, lalu terkekeh."Antara hati dan pikiran harus menyatu,"



Penurun Raja Jawa

Berdasarkan silsilah garis keturunan yang tertera di kompleks makam, Syekh Maulana Maghribi diketahui merupakan putra dari Nyai Tabirah, keturunan dari Syeh Majidil Qubro.


Ia menikah dengan Dewi Rosowulan yang tidak lain merupakan saudara kandung dari Sunan Kalijaga (Raden Sahid), putra dari RT Wilatikta, Pernikahan tersebut dikaruniai anak bernama Joko Tarub II.
Joko Tarub II menikah dengan Dewi Nawangwulan yang kemudian dikaruniai putri bernama, Dewi Nawangsih, Dewi Nawangsih ini kemudian menikah dengan R. Bondan Gejawan.
Ia adalah putra dari Prabu Brawijaya V.

Pernikahan keduanya melahirkan trah Ki Ageng Getas Pendawa, Ki Ageng Selo, Ki Ageng Nis, lalu Ki Gede Pemanahan., Ki Gede Pemanahan memiliki putra bernama Danang Sutawijaya.

Kelak, dikemudian hari Ia lebih dikenal dengan gelar Panembahan Senopati.
Pendiri Kesultanan Mataram dan juga dikenal sebagai sosok peletak dasar kesultanan.

Bertahta tahun 1587 - 1601.
Penembahan Senopati kemudian digantikan oleh Kanjeng Susuhunan Hadi Prabu Hanyakrawati.
Bertahta tahun 1601 - 1613.
Kemudian berlanjut ke Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Naik tahta 1613 - 1645.
Di bawah kepemimpinan Sultan Agung, Mataram berkembang menjadi kerajaan besar di tanah Jawa dan Nusantara kala itu.

Dari silsilah tersebut. .."Syeh Maulana Maghribi bisa dikatakan sebagai penurun raja-raja di tanah Jawa," 


Ramai Dikunjungi Peziarah

Makam syekh Maulana Maghribi berada di atas sebuah bukti di Parangtritis, Untuk berkunjung kesana, peziarah harus naik jalan kaki melewati ratusan anak tangga. Makamnya berada dipuncak, Di komplek area makam terdapat pendopo.

Ada pula deretan bangunan yang biasa digunakan bagi para peziarah untuk menginap, Juru Kunci, Mas Sutopo menceritakan, makam Syekh Maulana Maghribi di Parangtritis ramai dikunjungi oleh peziarah dari berbagai daerah, Utamanya ketika malam selasa dan Jumat Kliwon.

Terlebih, saat kalender Jawa, bulan ruwah. Menurutnya tidak pernah sepi peziarah.
"Biasanya datang rombongan. Dari Jawa timur, Surabaya, Semarang, Kendal, Tegal. Sampai Jawa Barat. Kalau bulan ruwah pendopo sampai tidak muat,"

Cerita versi lain

Siapa sebenarnya Syekh Maulana Maghribi itu? Berdasarkan salah satu cerita atau babad sejarah
Kerajaan Demak, Syekh Maulana Maghribi adalah seorang pemeluk agama Islam dari Jazirah Arab.
Beliau adalah penyebar agama Islam yang memiliki ilmu sangat tinggi. 

Sebelum sampai di Demak, beliau terlebih dahulu mengunjungi tanah Pasai (Sumatera). Sebuah riwayat juga mengatakan bahwa Maulana Maghribi masih keturunan Nabi Muhammad SAW dan masuk golongan waliullah di tanah Jawa.

Syekh Maulana Maghribi mendarat di Jawa bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Demak. Beliau datang dengan tujuan untuk mengIslamkan orang Jawa. 

Runtuhnya Kerajaan Majapahit (tonggak terakhir kerajaan Hindu di Jawa) diganti dengan berdirinya Kerajaan Demak yang didukung oleh para wali (orang takwa).

Sesudah pelaksanaan pemerintahan di Demak berjalan baik dan rakyat mulai tenteram, para wali
membagi tugas dan wilayah penyebaran agama Islam. 

Tugas pertama Syekh Maulana Magribi di daerah Blambangan, Jawa Timur. Beberapa saat setelah menetap di sana, Syekh Maulana Maghribi menikah dengan putri Adipati Blambangan. Namun pernikahan baru berjalan beberapa bulan, beliau diusir oleh Adipati Blambangan karena terbukanya kedok bahwa Syekh Maulana ingin menyiarkan agama Islam.

Setelah meninggalkan Blambangan, Syekh Maulana Maghribi kemudian menuju Tuban. Di Kota tersebut, Syekh Maulana Maghribi ke tempat sahabatnya yang sama-sama dari Pasai, satu saudara dengan Sunan Bejagung dan Syekh Siti Jenar. Dari kota Tuban, Syekh Maulana Maghribi kemudian melanjutkan pengembaraan syiar agamanya ke Mancingan. Ketika menyebarkan Islam di Mancingan, Syekh Maulana sebenarnya sudah memiliki putra lelaki bernama Jaka Tarub (atau Kidang Telangkas) dari istri bernama Rasa Wulan, adik dari Sunan Kalijaga (R Sahid). Tatkala ditinggal pergi ayahnya, Jaka Tarub masih bayi.

Saat meninggalkan Blambangan, sesungguhnya istri Syekh Maulana Maghribi juga tengah mengandung seorang putra yang kemudian bernama Jaka Samudra. Belakangan hari Jaka Samudra juga menjadi waliullah di Giri, yang bergelar Prabu Satmata atau Sunan Giri.

Sebelum Syekh Maulana Magribi sampai Mancingan, di sana sudah menetap seorang pendeta Budha
yang pandai bernama Kyai Selaening. 

Kediaman pendeta tersebut di sebelah timur Parangwedang. Tempat pemujaan pendeta dan para muridnya di candi yang berdiri di atas Gunung Sentana. Mula- mula Syekh Maulana menyamar sebagai murid Kyai Selaening. 

Dalam kehidupan keseharian, Syekh Maulana kadang-kadang memperlihatkan kelebihannya pada masyarakat setempat. Lama kelamaan Kyai Selaening mendengar kelebihan yang dimiliki Syekh Maulana Maghribi. Akhirnya Kiai Selaening memanggil Syekh Maulana Maghribi dan ditanya siapa sebenarnya dirinya.

Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Syekh Maulana Maghribi untuk menyampaikan kepada Kyai Selaening tentang ilmu agama yang sebenarnya. Kedua orang tersebut kemudian saling berdebat
ilmu. Akan tetapi karena Kyai Selaening tidak mampu menandingi ilmu Syekh Maulana, sejak saat itu Kiai Selaening ganti berguru kepada Syekh Maulana. Kiai Selaening kemudian masuk agama Islam.

Pada waktu itu, di padepokan Kyai Selaening sudah ada dua orang putra pelarian dari Kerajaan Majapait yang berlindung di sana yaitu Raden Dhandhun dan Raden Dhandher. Keduanya anak dari Prabu Brawijaya V dari Majapait. Karena Kyai Selaening masuk Islam, dua putra Raja Majapait itu juga kemudian menjadi Islam. Kedua orang itu kemudian berganti nama menjadi Syekh Bela-Belu dan Kyai Gagang (Dami) Aking.

Meski berhasil mengislamkan Kiai Saleaning dan para muridnya, Syekh Maulana tidak segera meninggal Mancingan. Di sana beliau tinggal selama beberapa tahun, membangun padepokan dan mengajarkan agama Islam kepada warga desa. Beliau tinggal di padepokan di atas Gunung Sentono dekat candi. Candi tersebut sedikit demi sedikit dikurangi fungsinya sebagai tempat pemujaan.

Hingga meninggal, Kyai Selaening masih menetap di padepokan sebelah timur Parangwedang. Sebelumnya beliau berpesan kepada anak cucunya agar kuburannya jangan diistimekan.

Baru tahun 1950-an makam Kiai Selaening dipugar oleh kerabat dari Daengan . Kemudian pada tahun 1961 diperbaiki hingga lebih baik lagi oleh salah seorang pengusaha dari kota.

Sesudah dianggap cukup menyampaikan syiar di sana, Syekh Maulana meninggalkan Mancingan kemudian berpesan agar padepokannya dihidup-hidupkan seperti halnya ketika orang-orang itu menjaga candi. Di padepokan tersebut kemudian orang-orang membuat makam bernisan. Siapa yang ingin meminta berkah Syekh Maulana cukup meminta di depan nisan tersebut, seolah berhadapan langsung dengan beliau. Sesudah dari Mancingan, Syekh Maulana Maghribi atau Syekh Maulana Malik Ibrahim melanjutkan syiar agama Islam ke wilayah Jawa Timur. 

Setelah meninggal jenazahnya dimakamkan di makam Gapura, wilayah Gresik.

Silsilah Syekh Maulana Maghribi menurunkan raja-raja Mataram: 
- Syekh Jumadil Qubro (Persia Tanah Arab) --- Ny Tabirah --- Syekh Maulana Maghribi + Dewi Rasa Wulan, putri Raden Temenggung Wilatikta Bupati Tuban (diperistri Syekh Maulana) ---Jaka Tarub (memperistri Dewi Nawangwulan) --- Nawangsih (memperistri Raden Bondhan Kejawan) --- Kiai Ageng Getas Pendhawa --- Kiai Ageng Sela --- Kiai Ageng Anis/Henis --- Kiai Ageng Pemanahan (Kiai Ageng Mataram) --- Kanjeng Panembahan Senapati --- Kanjeng Susuhunan Seda Krapyak-Kanjeng Sultan Agung Anyakrakusuma-Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat (Seda Tegalarum)-Kanjeng Susuhunan Paku Buwana I-Kanjeng Susuhunan Mangkurat Jawi-raja-raja Keraton Surakarta, Yogyakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran.

Kendati makam Syekh Maulana di Gunung Sentana bukan tempat jenazah yang sebenarnya, tetapi setiap ada rombongan peziarah Wali Sanga selalu memerlukan ziarah di makam Syekh Maulana Parangtritis. 

Seperti halnya makam leluhur keraton lainnya, setiap bulan Sya’ban, makam Syekh Maulana Maghribi juga menerima uang dan perlengkapan pemberian dari Keraton Yogyakarta. Setiap
tanggal 25 Sya’ban di makam ini diadakan upacra sadranan


Cerita versi lain

Kisah Syekh Maulana Magribi di Gunung Panungkulan Menghislamkam Putra Raja Pajajaran Melalui Adu Kesaktian Syekh Maulana Magribi seorang wali yang berasal dari Timur Tengah datang ke Pulau Jawa setelah mendapat ilham untuk  mendatang Tiga Cahaya Putih. Ia berhasil mengislamkam seorang  pertapa anak Raja Pajajaran yang telah menguasai cahaya tersebut setelah adu kesaktian. Berikut ini kisahnya.       


- Syekh Maulana Magribi seorang ulama dari Timur Tengah bukan hanya memiliki ilmu agama yang cukup tinggi. Tapi juga mempunyai ilmu karomah tingkat tinggi. Oleh karena itu, dalam dakwahnya juga menggunakan ilmu karomah yang disertai ilmu silat tenaga dalam. Hal tersebut sesuai dengan zamannya.

Suatu hari  Syekh Maulana Magribi,  sesudah sholat Subuh mendapat Ilham agar menemukan  tiga buah cahaya putih menjulang tinggi diangkasa yang letaknya di Pulau Jawa.  Maka berangkatlah  bersama-sama dengan 298 sahabatnya menuju Pulau Jawa dengan mengarungi samudera yang ombaknya cukup besar.

Kemudian sampailah mereka di pelabuhan  Gresik. Dipandangilah langit-langit yang penuh dengan bintang. Tapi tidak terlihat  ada tanda-tanda tiga cahaya putih yang sesuai dengan ilhamnya.   

Setelah sekian lama tinggal di Gresik, terlihatlah cahaya terang yang sedang dicarinya itu disebelah barat. Kemudian mengambil keputusan kembali kearah barat menuju pelabuhan  Pemalang Jawa Tangah. 

Ditempat tersebut Syekh Maulana Maghribi meminta para armadanya untuk pulang ke negerinya, sedangkan Syekh Maulana Maghribi ditemani oleh Haji Datuk dan untuk sementara bermukim ditempat itu

Karena tekadnya yang kuat, pendakian itu dilakukan hingga akhirnya sampailah  di tempat yang dituju. Terlihat oleh mereka seorang pertapa yang menyandarkan dirinya pada sebatang pohon jambu yang mengeluarkan sinar yang bercahaya menjulang tinggi ke angkasa.

Dari Pemalang menuju ke selatan menyusuri hutan belantara tanpa mengenal bahaya ‘Pertapa itu adalah Raden Mundingwangi putra Raja Pajajaran I.  Ia tidak mau dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya. Tapi lebih suka menjadi seorang pertapa disejumlah gunung. 

Bahkan berhasil menemukan Tiga Cahaya Putih  beserta 160 pengikutnya di Gunung Panungkulan di Desa Grantung Kecamatan Karangmoncol,”ungkap KH. KRT. MUrsyiddafa Alfatahillah, SH, MA pewaris ilmu Syekh Jambu Karang dari Banjarnegara. .

Perlahan-lahan Syekh Maulana Maghribi dan Haji Datuk menuju mendekati tempat tersebut sambil mengucapkan salam ‘Assalamu’alaikum’, tetapi tidak dijawab oleh Raden Mundingwangi. Karena tidak paham dengan bahasa Arab. Lantas  Haji Datuk dan  Syekh Maulana Maghribi menyapa dengan bahas India.


Mendengar bahasa India, maka  Raden Mundingwangi menjawab : ‘Sesungguhnya saya ini adalah orang Budha yang Sakti’. Kemudian  Syekh Maulana Maghribi meminta kepada pertapa tersebut untuk menunjukkan kesaktiannya. 

Maka  diambillah tutup kepalanya yang berupa kopiah itu dapat terbang di angkasa. Syekh Maulana Maghribi  mengimbangi dengan melepaskan bajunya dan dilemparkan keatas, ternyata baju tersebut dapat terbang di udara dan selalu menutupi kopiah si pertapa. 

Hal itu menandakan bahwa kesaktiannya lebih unggul. Tetapi Raden Mundingwangi belum mau menyerah dan masih akan mempertontonkan lagi kepandaiannya yang berujud menyusun telur setinggi langit.

Syekh Patas Angin Melihat keadaan tersebut diatas Syekh Maulana Maghribi merasa heran, namun demikian ia tidak mau dikalahkan begitu saja, maka dengan tenangnya diperintahkan kepada si pertapa agar ia mau mengambil telur itu satu persatu dari bawah tanpa ada yang jatuh.

Ternyata pertapa itu tidak sanggup melakukannya. 

Karena si pertapa sudah benar-benar tidak melakukannya hal tersebut, maka Syekh Maulana Maghribi mengambil tumpukan telur tadi dimulai dari bawah sampai selesai dengan tidak ada satupun yang jatuh.

Syekh Maulana Maghribi masih merasa belum puas dan masih meneruskan perjuangannya sekali lagi dengan memperlihatkan pemupukan periuk-periuk berisi air sampai menjulng tinggi. Lalu, Syekh Maulana Maghribi berkata : ‘Ambillah periuk-periuk itu satu demi satu dari bawah tanpa ada yang berjatuhan’. Setelah ternyata tidak ada kesanggupan dari Raden Mundingwangi, maka beliau sendirilah yang melakukannya dan periuk yang terakhir itu pecah dan airnya memancar kesegala penjuru.

Akhirnya Raden Mundingwangi menyerah kalah serta berjanji akan memeluk agama Islam. Janji tersebut diterima oleh Syekh Maulana Maghribi dan Jambu Karang diperintahkan untuk memotong rambut dan kukunya dan selanjutnya dikubur di ‘Penungkulan’ (tempat dimana si pertapa menyerah kalah). 

Kemudian dilakukan upacara penyucian dengan air zam-zam yng dibawa oleh Haji Datuk dari Tanah Suci atas perintah Syekh Maulana Maghribi dengan mempergunakan tempat dari bambu (bumbung).
Setelah upacara penyucian selesai, bumbung berisikan sisa air disandarkan pada pohon waru, tetap karena kurang cermat menyandarkannya maka robohlah bumbung tadi dan pecah sehingga air sisa tersebut berhamburan dan di tempat tersebut konon kabarnya menjadi mata air yang tidak mengenal kering dimusim kemarau.

Adapun Syekh Jambu Karang tetap bermukim di Gunung Kraton, dan setelah wafat dimakamkan ditempat itu pula dan tempat pemakamannya disebut ‘Gunung Munggul’ (puncak yang tertinggi didaerah itu).

Sesaat setelah Syekh Jambu Karang menerima wejangan, turun hujan lebat disertai dengan angin ribut yang mengakibatkan pohon-pohon disekeliling tempat itu menundukkan dahan-dahannya seperti sedang menghormati Gunung Kraton yaitu tempat dimana Syekh Maulana Maghribi sedang memberikan wejangan (membai’at) Syekh Jambu Karang menjadi seorang Muslim.

Sebagai rasa terimakasih, maka  Syekh Jambu Karang mempunyai seorang putri bernama ‘Rubiah Bhakti’ yang dipersunting oleh Syekh Maulana Maghribi, setelah Syekh Jambu Karang menjadi seorang Muslim dengan mas kawin berupa mas merah setanah Jawa.

Setelah memperistrikan putri Syekh Jambu Karang, Syekh Maulana Maghribi berganti nama menjadi ‘Atas Angin’. Dari perkawinannya tersebut menurunkan lima orang putera dan puteri, yaitu :Makdum Kusen,  Makdum Medem, Makdum Umar,  Makdum,  Makdum Sekar.

Setelah pertapa disucikan menjadi pemeluk agama Islam, maka namanya diubah menjadi ‘Syekh Jambu Karang’. Kemudian Syekh Jambu Karang akan mendapatkan wejangan (bai’at), beliau menunjukkan suatu tempat yang serasi dan cocok untuk upacara bai’at tersebut yaitu diatas bukit ‘Kraton’.

Sumber : Babat tanah jawi 
              : Wali songo tahap Pertama 
              : SEJARAH

DOK :MPW


LAHAT| POLICEWATCH.NEWS,- Bupati Lahat Cik Ujang langsung memimpin rapat Koordinasi terkait penanganan Covid – 19 diruang of room beserta OPD, membahas anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau mengalokasikan Dana Desa untuk Bantuan Langsung Tunai ( BLT ) bagi masyarakat pedesaan yang terkena dampak Virus Corona, Rabu (29/04/2020).

Hadir dalam rapat Wakil Bupati Lahat, Ketua DPRD Lahat, Forkopimda, Sekda Lahat, Kepala BPMD,Unsur SKPD Pemkab Lahat,camat Sekabupaten Lahat serta seluruh ketua Forum Kepala Desa di 24 Kecamatan.
Dalam arahannya Bupati Lahat Cik Ujang, SH mengatakan Kriteria bagi penerima BLT yang dapat disalurkan ialah warga yang kehilangan mata pencarian akibat dampak Covid – 19. Dirinya berharap dengan adanya BLT yang dikucurkan melalui Dana Desa untuk tidak tebang pilih.
” Melalui kesempatan ini, kami sampaikan pada Kepala Desa agar Bantuan Langsung Tunai (BLT) tersebut dapat diberikan dengan seadil – adilnya, tidak tebang pilih dan tidak menimbulkan kecemburuan sosial ” terang Cik Ujang.
Selain itu juga dirinya menyampaikan agar data para penerima BLT sesuai dengan data dari Dinas Sosial supaya tidak terjadi tumpang tindih terhadap penerima BLT dengan warga penerima Sembako dari Dinas Sosial.
” Sesuai data dari Dinas Sosial, para penerima BLT dan Sembako tidak terjadi tumpang tindih dan tidak terjadi yang penerima double pemberiannya ” Ujarnya. 
Dirinya juga mengingatkan supaya seluruh warga Kabupaten Lahat untuk tetap jaga jarak ( Social Distancing ) , Biasakan cuci tangan dan jaga pola hidup sehat
” Kembali saya tekankan, Kepada Camat dan Para Ketua Forum Kades se - kabupaten Lahat, agar selalu menghimbau dan memberi arahan kepada masyarakat didesa supaya tetap jaga kebersihan, jaga pola hidup sehat serta memakai masker jika keluar rumah,” Tegas Cik Ujang.
Sementara itu, Wakil Bupati Lahat H. Haryanto SE,MM,MBA menjelaskan untuk penyaluran Bantuan Langsung Tunai dengan penggunaan Dana Desa disetiap desa tidak sama, yaitu untuk Desa yang mendapat dana desa (DD) senilai 800 juta ke bawah dialokasikan untuk BLT, maksimal 25%, untuk 800 sampai dengan 1,2 M maksimal 30 % dialokasikan ke BLT dan 1,2 M maksimal 35 % dialokasikan ke BLT.
Kemudian prosedur pencairannya yaitu melalui kantor pos.
Sementara Wakil Bupati Haryanto menyampaikan besaran dari BLT per KK mendapat 600 Ribu Rupiah dengan syarat, desa melengkapi APBDesa dan peraturan desa dan peraturan kepala desa.
Sementara untuk pencairan BLT belum ada kepastiannya. Namun ketika media ini menemui salah satu Kades bahwa pencairan BLT kepada warga akan di berikan jika dana desa sudah dicairkan
Sementara itu ditempat yang sama Kepala Dinas Sosial Kabupaten Lahat H.Iskandar juga menyampaikan untuk pembagian sembako dari Kemensos akan diberikan minggu pertama bulan Mei 2020.
” Insya Allah kalau tidak ada hambatan akan dibagikan minggu pertama bulan Mei ” ucapnya " singkat.


Reporter : Bambang.MD
ilustrasi gambar




GARUT,POLICEWATCH.NEWS,- Abdul Azis, SE ( TPPI P3MD Kab. Garut ) Semakin meningkatnya penyebaran penularan pandemi virus corona / covid 19 diindonesia membuat resah dan takut masyarakat, khususnya di kabupaten garut. Akhir akhir ini masyarakat garut resah karena dengan bertambahnya kasus positif corona, per tanggal 28 april saja kasus positif covid ini sudah mencapai 10 kasus, 7 diantaranya sedang isolasi dan pengobatan di RS Dr Slamet, 1 isolasi mandiri, 1 dinyatakan sembuh dan 1 pasien meninggal.(28/4/20)

Ini menunjukan bahwa pandemi virus corona ini gak bisa dianggap remeh, perlu kerjasama antara pemerintah dan masyarakat, artinya pemerintah harus sigap dan tepat dalam menjalankan SOP dan kebijakannya serta diikuti oleh masyarakat dengan mengikuti instruksi pemerintah salah satunya menjalankan social distancing.

Peran pemerintah disini dituntut aktif dan cepat agar bisa segera mengatasi penyebaran covid - 19, seperti Halnya yang dilakukan di Kementrian Desa PDTT, menginstruksikan bahwa diseluruh desa harus dibentuk relawan tanggap darurat covid-19,hal ini dirasa penting untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat desa. 

Hanya saja masih belum seluruh desa di kabupaten garut yg mengindahkan instruksi itu, banyak desa yang hanya membentuk relawan tampa menjalankan tupoksi relawan tersebut, kesannya tugas relawan itu hanya duduk dipos jaga dan bagi bagi masker. 

Sementara sosialisasi tentang penanganan coronanya tidak dijalankan, alhasil masyarakat dengan keditaktahuannya masih menganggap remeh terhadap covid - 19 ditambah masih banyaknya warga yang mudik dari kota zona merah bebas berdatangan ke desa tampa ada pendataan dan pengarahan dari relawan desa tersebut. 

Relawan tanggap darurat itu dibentuk untuk memastikan masyarakat nyaman dan aman serta menjalankan semua instruksi pemerintah, contoh kecilnya di desa saya, dikampung tiap hari ada warga baru yg mudik dari kota zona merah, dan sampai sekaràng belum dengar ada yang sosialisasi dari pemerintah desa lewat relawannya atau bahkan dari RW dan RT nya hànya 1 lembar sepanduk yang terpajang di dinding posyandu.(Dera taopik)



DOK 

Oleh : M Rodhi irfanto

Red, POLICEWATCH,- Ragam: Cerita Tentang Perjalanan, Pencerahan Dan Kebesaran Sunan Pandanaran , Gapura Pamuncar Pintu Masuk Makam Sunan Pandanaran Sunan Bayat atau juga Sunan Pandanaran adalah sosok besar dalam sejarah penyebaran agama Islam terutama di kawasan Jawa Tengah. 

Sosok yang hidup di masa yang sama dengan Wali Sanga ini berjuang selama 25 tahun untuk menyebarkan agama bersama sahabat dan pengikutnya dari kawasan Bayat, Klaten. 

Di Bayat pula Sunan dimakamkan dan di sana pula kemudian sebuah kompleks pemakaman megah dibangun untuk mengenang jasa-jasanya. Sosok besar nyaris tidak pernah luput dengan cerita-cerita besar yang muncul selama hidup mereka, termasuk di diri Sunan Pandanaran, baik selama dia hidup bahkan setelah wafatnya. 

Dari masa dia masih menjabat status sosial keduniawian hingga saat pencerahan, dari saat dia memilih jalan Islam hingga dia meninggal dunia, tidak pernah sosok besarnya lepas dari cerita-cerita kebesaran. 

Baik cerita “kedewaan” hingga cerita kebijaksanaannya sebagai seorang manusia telah berkembang dan diceritakan turun temurun hingga saat ini. 

Ragam cerita Sunan Pandanaran kali ini akan diceritakan tentang Sunan Bayat yang masih menjabat sebagai Adipati Pandanaran, bupati Semarang, di saat sedang terjadi transisi dari kerajaan Hindu Buddha Majapahit ke kerajaan Islam Mataram. 

Beberapa bagian dari cerita ini juga tertuang dalam jurnal berbahasa Inggris yang diterbitkan dalam sebuah buku kumpulan jurnal tentang dunia Islam berjudul “The Muslim World: Special Issue” dalam edisi 91, September 2001, yang berjudul “The Pilgrimage to Tembayat: Tradition and Revival in Indonesia Islam,” tulisan dari Nelly van Doorn-Harder (Valparaiso University) dan Kees de Jong (Universitas Duta Wacana Yogyakarta). 
Gerbang Makam Sunan Pandanaran

Sejarah Sunan Pandanaran

Masa Menjadi Bupati Semarang Sunan Pandanaran dahulu kala menjabat sebagai seorang bupati Semarang, dia dikenal sebagai sosok pemimpin yang kikir. Hidupnya bergelimang harta. 

Dia suka membeli barang dengan harga rendah dan menjualnya dengan harga yang tinggi untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. 

Datangah suatu waktu Sunan Kalijaga yang ingin mengajak bupati untuk masuk Islam. Namun Sunan tidak datang begitu saja. Sunan datang dengan menyamar sebagai seorang penjual rumput. 

Sunan Kalijaga datang membawa satu karung rumput (alang-alang – bahasa Jawa) pada Sunan Pandanaran yang kala itu masih bergelar Adipati. Rumputnya pun dibeli dengan harga murah seperti biasanya. 

Yang tidak biasa dari hari itu adalah ketika Adipati Pandanaran membuka karung rumput dan dia menemukan pusaka (kandelan) yang terbuat dari emas tersembunyi di dalam rumput. 

Emas dalam karung ini sebenarnya hanyalah sebuah ujian kejujuran yang diberikan Sunan Kalijaga pada Adipati. Sunan Kalijaga bukan tanpa maksud melakukan itu semua. 

Sebuah pesan sebenarnya dia kirimkan melalui alang-alang dan kandelan tadi, tetapi sayang Adipati tidak menangkap maksudnya dan justru senang mendapati emas. 

Kata “alang” dalam alang-alang sejatinya mengandung arti “menolak”. Dengan memberikan sekarung rumput tadi, Sunan sebenarnya mempertanyakan kenapa Adipati selalu menolak ajakan Sunan untuk masuk Islam. Sedangkan dalam kata “kandelan” terkandung kata “andel” yang dapat diartikan sebagai “mempercayai”. Dan jika saja Adipati mengerti nasihat yang ada dalam maksud Sunan Kalijaga, maka dia akan membaca nasihat tadi sebagai “Percayalah dan kembalikan kepadaku.” Adipati tidak mengembalikan emas tadi tetapi justru kemudian membangun rumah mewah yang berdekorasikan emas. 

Setelah rumah itu jadi, dia mengadakan pesta besar dikediaman barunya itu. Sunan Kalijaga tentu saja tidak diundang, namun dia tetap datang ke pesta itu, tanpa disadari oleh siapa pun. Namun karena dia hanya mengenakan pakaian sederhana, tidak ada orang di dalam pesta itu yang memperhatikan keberadaannya. Dan setelah dia mengganti baju dengan pakaian mewah, barulah dia dipersilahkan duduk bersama tamu-tamu penting Adipati. 

Setelah berakhirnya pesta, Sunan kembali mengganti pakaian yang dikenakannya dengan pakaian biasa. 

Hal itu dipandang aneh oleh Adipati dan dianggap sebagai lelucon saja. Padahal dari tindakan itu, terkandung sebuah pesan spiritual yang dalam. 

Namun, lagi-lagi Adipati tidak membaca pesan Sunan Kalijaga. Setelah cara-cara yang dipakainya menemui kegagalan. Sunan menyadari bahwa dia harus menggunakan cara keras untuk membuat bupati mengerti maksudnya. Sunan Kalijaga kembali mendatangi Adipati dan kali ini menyamar sebagai seorang peminta-minta. 

Beberapa kali bupati melemparkan koin padanya namun pengemis itu tidak juga pergi. Melihat hal itu, Adipati pun murka. Di saat itu pula pengemis tadi menjelaskan niat kedatangannya ke hadapan Adipati. Pengemis itu datang bukan untuk uang melainkan untuk mendengar suara bedug pertanda waktu sholat tiba. Setelah itu, pengemis tadi melemparkan tanah yang digenggamnya ke arah Adipati. 

Adipati terkaget-kaget dengan apa yang dilihatnya saat itu. Tanah yang tadi dilempar oleh pengemis berubah menjadi sebongkah emas sesaat setelah dia tangkap. 

Dan di saat itu pula Adipati mendapatkan pencerahan tentang kehidupan dunia yang hanya bersifat sementara. Barulah kemudian Adipati Pandanaran mengeri apa yang dimaksudkan Sunan Kalijaga dan bersedia dibimbing Sunan. Namun sebelum lebih jauh lagi, Sunan mengajukan empat syarat pada Adipati jika dia ingin menjadi muridnya.

 Keempat syarat tadi adalah: 
-1. Bupati harus berdoa dengan rutin dan mengajarkan Islam, mengajak semua penduduk yang berada di wilayah kekuasaanya masuk ke agama Islam. 
-2. Adipati harus memberi makan santri dan ulama, membuat bedug di langgar-langgar. 
-3. Memberi dan menyumbang dengan ikhlas dan menyerahkan kekayaannya pada yang membutuhkan dalam bentuk zakat. 
-4. Ikut pulang ke rumah Sunan Kalijaga dan menjadi orang yang bersedia menyalakan lampu rumah Sunan. 

Dan barulah setelah itu kisah Adipati Pandanaran, seorang yang baru saja berjanji untuk lepas dari keduniawian, berlanjut untuk menuntut ilmu pada Sunan Kalijaga di Jabalkat, Bayat. 

Dan kisah selanjutnya dari Adipati Pandanaran adalah kisah perjalannnya menuju Jabalkat bersama istrinya. Ragam: Cerita Tentang Perjalanan, Pencerahan, Dan Kebesaran Sunan Pandanaran 

Perjalanan Menaiki Anak Tangga Gunung Jabalkat Tembayat Setelah Sunan Kalijaga mengajukan empat syarat yang harus dipenuhi oleh Adipati Pandanaran, Adipati akhirnya melakukan perjalanan ke Jabalkat, Tembayat. 

Dalam perjalanan tersebut, Adipati tidak sendiri melainkan ditemani oleh istrinya, Nyi Ageng Kaliwungu, yang tidak mau meninggalkan suaminya. 

Kisah perjalanan Adipati Pandanaran menuju Gunung Jabalkat mencari Sunan Kalijaga penuh dengan rintangan dan cerita yang membesarkan namanya hingga dikenal luas oleh masyarakat pada waktu itu. 

Cerita-cerita tentang kesaktian dan kebijakan Adipati akhirnya mengantarkan Adipati pada gelar Sunan Pandanaran dan diterima baik oleh masyarakat luas dan juga mereka yang masih lekat dengan kepercayaan Orang Jawa di saat itu. 

Tidak hanya jasanya dalam menyebarkan agama Islam, hingga saat ini masyarakat luas percaya bahwa dalam perjalanan tersebut Sunan Pandanaran adalah sosok besar yang memberikan nama pada beberapa tempat di Jawa seperti Salatiga, Boyolali, Wedi dan Jiwo. 

Bahkan Sunan Pandanaran juga yang disebut-sebut-sebagai sosok yang meninggalkan jejak kesaktian seperti Sendang Kucur dan batu Kali Pepe. Perjalanan Panjang Dari Semarang Menuju Gunung Jabalkat Perjalanan yang penuh dengan petualangan ditempuh Sunan Bayat dengan jarak kurang lebih 120 km. 

Dan dalam perjalanan ini lah Adipati Pandanaran diramalkan menjadi seorang pemimpin besar umat Muslim nantinya. Adipati tidak melakukan perjalanannya seorang diri. 

Karena tidak ingin meninggalkan suaminya yang memilih jalan agama dengan meninggalkan semua kekayaannya dan melakukan perjalanan panjang mencari Sunan Kalijaga di Gunung Jabalkat, Nyi Ageng Kaliwungu, memilih ikut bersama suaminya. 

Namun tidak sepenuhnya Nyi Ageng Kaliwungu dapat meninggalkan segala kekayaan yang dimiliki seperti yang dilakukan Adipati. 

Dalam perjalanan itu, dia memasukan beberapa perhiasan dalam tongkat bambu yang dibawanya dengan maksud untuk berjaga-jaga selama di perjalanan. 

Apa yang dilakukan istrinya ternyata menuntun pada sebuah perkenalan dengan dua perampok yang nantinya menjadi pengikut setia Sunan Bayat. 

Hal itu berawal ketika mereka sampai pada suatu daerah (kini Salatiga) dan di sana mereka dihentikan oleh dua orang perampok bernama Sambang Dalan dan seorang rekannya. 

Saat mereka meminta harta benda, Adipati yang tidak membawa apa-apa menyuruh dua perampok tadi mengambil bambu yang dibawa istrinya. 

Adipati juga mengatakan bahwa isi dalam bambu itu cukup untuk memenuhi kebutuhan seumur hidup mereka. Adipati juga berpesan agar mereka tidak melukai istrinya. 

Namun sifat serakah para perampok makin menjadi karena mengira istrinya pasti membawa barang berharga lainnya. 

Kedua perampok tadi pun mulai menggeledah istri Adipati untuk menemukan benda berharga lainnya. Seketika pula istri Adipati berteriak minta pertolongan. 

Dari kejadian ini dipercaya nama kota Salatiga berasal. Saat itu Adipati berujar, “Wong salah kok isih tega temen” (Sudah berbuat salah tetap saja tega). Dan dia juga menyebut bahwa mereka bertiga telah berbuat salah. 

Dan kemudian lokasi perampokan itu disebut Salatiga yang berasal dari kata “salah” dan “tiga”, Salahtiga (Salatiga). 

Dari kejadian itu juga dua perampok yang menghentikan perjalanan mereka mendapatkan pelajaran. Sambang Dalan disebut oleh Adipati telah berbuat keterlaluan seperti domba (hewan) dan seketika itu pula wajahnya berubah menyerupai domba. 

Rekan dari Sambang Dalan ketakutan melihat kejadian itu hingga tubuhnya gemetaran (Jawa – ngewel). Saat itu juga berubah menyerupai ular. 

Mereka berdua akhirnya menyesali perbuatan mereka dan memohon ampun kepada Adipati. Mereka juga berjanji untuk mengabdi dan setia kepada Adipati dan akan ikut dalam perjalanan menuju Jabalkat. 

Dua perampok tadi akhirnya menjadi pengikut pertama Adipati setelah sang istri dan dijuluki sebagai Syeh Domba (Sambang Dalan) dan Syeh Kewel (yang ngewel dan berwajah ular). 

Cerita perjalanan Adipati berlanjut saat mereka sampai ke daerah yang sekarang dikenal dengan nama Boyolali. 

Di daerah itu Adipati yang berjalan di depan meninggalkan jauh istri yang menggendong anaknya. Hingga pada akhirnya karena kelelahan di tengah terik matahari Adipati duduk beristirahat di atas batu besar menunggu rombongannya yang tertinggal. 

Dari kejadian ini Nyi Ageng Kaliwungu kemudian berujar, “Karo bojo mbok ojo lali” (Jangan lupa dengan istri). 

Dan setelah kejadian tersebut nama Boyolali yang dipercaya berasal dari frase “mbok ojo lali” mulai digunakan untuk menyebut daerah itu. 

Jejak kisah perjalanan juga terdengar di kawasan Wedi (kecamatan di sebelah utara Bayat). Nama Wedi dipercaya juga berasal dari kisah perjalanan Sunan, tidak berbeda dengan nama Salatiga dan Boyolali. 

Di tempat ini Adipati memilih untuk menetap dan bekerja sementara sebelum kembali melanjutkan perjalananannya. 

Dua pengikut setianya, Syeh Domba dan Syeh Kewel, diminta untuk menetap di gunung untuk menjalankan meditasi hingga Adipati kembali akan melanjutkan perjalanan. 

Di daerah ini Adipati bekerja pada seorang juragan beras bernama Gus Slamet. Konon di Wedi inilah nama besar Sunan kian dikenal di kalangan masyarakat. 

Saat menetap di Wedi terdapat tiga kisah tentang kesaktian yang ditunjukan oleh Sunan. Kejadian pertama adalah kejadian asal mula nama Wedi. Kejadian yang melibatkan seorang penjual beras dan Adipati. 

Suatu hari saat Adipati diminta untuk mencari beras oleh majikannya dia bertemu dengan seorang penjual di jalan. Penjual itu membawa gerobak dan akan menuju pasar. 

Ketika ditanya apakah dia membawa beras (karena berniat untuk membelinya), penjual tadi mengatakan tidak. 

Dia berbohong pada Adipati karena tidak mau menjual beras kepada Adipati dan justru mengatakan dia sedang membawa wedi (pasir). 

Penjual itu kemudian melanjutkan perjalannya ke pasar untuk menjual berasnya. Namun dia sangat terkejut ketika sampai di pasar dan membongkar muatannya. 

Dia mendapati semua beras yang dibawanya telah berubah menjadi wedi, persis seperti apa yang dikatakannya pada Adipati. Kejadian berikutnya adalah saat Adipati membantu istri majikannya, Nyi Tasik, untuk berjualan makanan di pasar. 

Suatu hari, setibanya di pasar untuk berjualan sama seperti setiap harinya, Nyi Tasik lupa membawa kayu bakar. Nyi Tasik kemudian memarahi Adipati karena hal itu dan saat menghadapi hal itu dia justru menawarkan tangannya sebagai pengganti kayu bakar. 

Sesaat kemudian Adipati meletakan tangan di tungku masak dan seketika itu pula api menyembur dari tangannya seperti kayu yang terbakar api. 

Hal itu tentu tidak hanya menakjubkan bagi Nyi Tasik tetapi juga bagi masyarakat yang kemudian banyak mengenal nama Adipati Pandanaran. 

Dan konon setelah kejadian itu, Nyi Tasik menjadi salah satu pengikut Sunan dan turut dalam perjalanan ke Gunung Jabalkat. 

Kisah terakhir Adipati di Wedi adalah saat Adipati menjadi tukang pengisi air wudhu. 

Suatu hari saat menjalankan tugasnya dia menggunakan keranjang bambu untuk mengisi air dalam padasan (gentong tempat menyimpan air wudhu). 

Tentu saja semua orang terkejut melihat kejadian itu karena mereka mendapati tidak setetes air pun keluar melalui sela rajutan bamboo yang digunakan Adipati untuk mengisi padasan. 

Kemudian tiba waktu saat Adipati Pandanaran melanjutkan perjalanan menuju Gunung Jabalkat. Kini dia bersiap menerima petunjuk dan arahan yang lebih dari Sunan Kalijaga. 

Dalam perjalanan itu dia tak lupa menjemput kedua pengikut setianya, Syeh Domba dan Syeh Kewel, dari tempat meditasi mereka. 

Dalam perjalanan menuju Jabalkat ini kembali lagi ada satu cerita tentang kesaktian Adipati. Cerita itu diawali dengan anak Adipati yang menangis karena kehausan. 

Adipati tidak dapat menemukan sumber mata air di kawasan itu, dan kemudian sebuah peristiwa magis terjadi. 

Terdapat dua versi cerita tentang bagaimana kejadian ini berlangsung, yaitu: Ada yang percaya bahwa Adipati menggunakan tongkatnya untuk memunculkan sumber mata air di lokasi tadi. 

Dia menghujamkan tongkatnya hingga air mengucur dan tidak berhenti keluar dari lubang itu hingga membentuk sumur. 

Cerita lain yang juga dipercaya warga di sana saat ini adalah Adipati menggunakan kukunya untuk memunculkan sumber air. Dia menggoreskan kukunya ke tanah. 

Dan seketika itu juga dari bekas goresan kuku Adipati menyembur air hingga membentuk genangan air. 

Dari genangan itu kemudian anak dan istri Adipati dapat mengobati rasa haus mereka tadi. 

Konon genangan air jejak dari kesaktian Adipati itu adalah Sendang Kucur yang terdapat di dalam hutan angker Kucur yang terletak di Paseban, Bayat, Klaten. 

Kelanjutan kisah dari perjalanan ini adalah sampainya Adipati dan rombongan di Gunung Jabalkat dan di sana dia mendapatkan nama Sunan Pandanaran atau Sunan Bayat atau Sunan Tembayat. 

Di sana pula dengan segala ketenaran yang telah dimilikinya selama perjalanan dia menjalankan tugas syiar Islam ke seluruh penjuru Jawa khususnya Jawa Tengah dengan mendirikan masjid yang sekaligus menjadi pesantren pertama. 

Kompleks Pemakaman Sunan Pandanaran Gunung Jabalkat Tembayat Kisah terakhir dari Sunan Pandanaran adalah masa ketika dirinya sampai di Tembayat. 
Puncak Gunung Jabalkat

Di Tembayat Sunan menderikan sebuah masjid di atas Gunung Jabalkat yang sekaligus difungsikan sebagai tempat pendidikan agama. 

Tempat itu pun akhirnya menjadi pesantren pertama atau sekolah asrama pertama di Jawa Tengah. Namun usaha yang dilakukan Sunan tidaklah semudah itu. 

Setelah memilih jalan agama dan melakoni perjalanan yang penuh petualangan ternyata mambatan masih saja ada saat dia berada di Tembayat. 

Salah satunya adalah perlawanan dari para pemimpin mistis Jawa. 

Disebutkan dalam kisah ini adalah seorang pemimpin di Jawa harus memiliki kekuatan sakti di luar kekuatan pengetahuan dan wibawa. 

Dan di saat seseorang memiliki itu semua, barulah semua kalangan di Jawa percaya dengan maksud keberadaanya. Selain meninggalkan jejak cerita pada saat dirinya menyebarkan agama Islam dari Tembayat. 

Ternyata kekuatan kebesaran Sunan masih terasa hingga pada masa Sultan Agung, yang hidup di masa setelah Sunan. 

Beberapa kisah pertemuan Sultan dan Sunan juga beredar dan menjadi salah satu cerita tentang awal mula berdirinya kompleks pemakaman Sunan Bayat yang megah dan elok. 

Masa Kebesaran Sunan di Tembayat Di awal tugas di Tembayat inilah saat Sunan Pandanaran mendapat perlawanan dari pemimpin mistis Jawa. 

Mereka adalah orang-orang yang mempertanyakan kekuatan sakti yang dimiliki oleh Sunan. Salah satunya adalah perlawanan dari Prawira Sakti, seorang penganut ilmu kebatinan. 

Sunan menerima tantangan Prawira Sakti untuk melakukan uji kewibawaan. Beberapa tantangan dilakoni oleh Sunan dan yang pertama adalah tantangan untuk menangkap merpati yang dilepas ke udara oleh Prawira. 

Yang dilakukan Sunan untuk menangkap merpati itu adalah dengan hanya melemparkan sandal kayunya. Dan dengan sekali lempar burung itu berhasil dijatuhkan. 

Tantangan kedua adalah menangkap topi yang oleh Prawira dilempar ke langit jauh hingga tak terlihat oleh mata. 

Dengan sebelah sandal kayu yang masih ada Sunan berhasil dengan sangat mudah mengenai topi itu dan lolos tantangan kedua. 

Pada tantangan ketiga Sunan ditantang untuk mencari keberadaan Prawira yang bersembunyi. Keberadaan Prawira tidak tampak karena dia bersembunyi dengan cara yang tidak biasa. 

Namun dengan mudah Sunan berhasil menemukan keberadaan Prawira yang bersembunyi di bawah sebongkah batu besar. 

Setelah tiga tantangan berhasil dilalui dengan mudah oleh Sunan. Kini giliran Sunan memberikan satu tantangan pada Prawira. 

Dan sekarang menjadi giliran Prawira untuk mencari keberadaan Sunan yang bersembunyi. Dan Prawira yang sakti gagal menjalankan tantangan Sunan karena tidak dapat menemukan Sunan yang bersembunyi di antara kedua alisnya. 

Selain cerita tentang kesaktian yang dimiliki Sunan untuk menghadapi perlawanan para pemimpin mistis Jawa beredar juga cerita tentang kebesaran yang lainnya. 

Dikisahkan adalah suara adzan yang terlalu kuat dan keras yang didengar oleh salah satu Wali yang berada di Demak. 

Suara adzan tadi ternyata adalah suara dari panggilan sholat Sunan Pandanaran dari Tembayat, ratusan kilometer jaraknya. 

Tentu saja suara yang terlalu keras itu mengganggu Wali tadi hingga kemudian dia meminta Sunan untuk menurunkan suara adzan yang dibuatnya. 

Menyaguhi permintaan Wali tadi, Sunan kemudian memindahkan masjid yang berada di puncak Jabalkat. 

Dan dengan kesaktiannya Sunan menarik masjid tadi hingga sampai di lereng gunung. Kebesaran Sunan Setelah Meninggal Kebesaran nama Sunan sebagai seorang pemimpin agama tetap terjaga hingga dirinya meninggal setelah menjalankan syiar selama 25 tahun di Tembayat. 

Salah satu yang membuktikan kebesaran nama Sunan adalah Sultan Agung, pemimpin besar kerajaan Mataram, yang merubah makam Sunan hingga menjadi salah satu kompleks pemakaman termegah di Jawa. 

Bukti bahwa Sultan pernah berada di Tembayat ditemukan dalam catatan seorang pemimpin kolonial Belanda (1631 – 1634) yang menyebutkan bahwa penguasa Mataram pergi ke suatu tempat yang bernama Tembaijat untuk melakukan pengorbanan. 

Keberadaan Sultan di Tembayat dianggap lazim karena dalam hirarki kekuatan Jawa seorang penguasa “diwajibkan” untuk mencari saran dan petunjuk kepada mereka yang disucikan atau diagungkan. 

Dan orang suci yang ada di wilayah Mataram adalah Sunan Bayat yang berada di Tembayat. Terdapat dua cerita yang beredar tentang kunjungan Sultan Agung itu. 

Dan dari kedua cerita tadi semuanya berujung pada penghormatan yang dilakukan Sultan kepada Sunan dengan membangun kompleks pemakaman. 

-Kisah pertama yang beredar hingga saat ini adalah ketika suatu hari Sultan bersama orang kepercayaannya, Juru Taman, tersesat di dalam hutan di sekitar istananya. 

Sultan terpisah dari Juru Taman dan tidak dapat menemukannya hingga dia merasa putus asa. Hingga akhirnya Sultan memutuskan untuk melakoni pertapaan sebagai usaha menemukan jalan keluar. Ternyata usaha Sultan menemui kebuntuan hingga secara tiba-tiba muncul sesosok priyayi yang muncul ke hadapan Sultan dan menawarkan bantuan kepadanya. 

Sultan menyambut bantuan orang itu dengan menceritakan masalah yang dihadapinya. Orang tadi kemudian menyarankan Sultan untuk mempelajari sebuah ilmu terlebih dahulu hingga selesai. Setelah Sultan menyaguhinya dan menyelesaikannya baru priyayi tadi memperkenalkan diri sebagai Sunan yang tinggal di Bayat. 

Sosok Sunan tadi kemudian membantu Sultan untuk pulang kembali keistananya. Secara ajaib sosok Sunan tadi menggunakan lengan bajunya untuk memindahkan Sultan hingga kembali keistananya dalam sekejap. 

Sesampainya di istana barulah Sultan bertemu dengan Juru Taman. Saat itu pula Sultan baru mengetahui bahwa ternyata selama dicari Juru Taman justru pergi ke tempat tinggal istri-istri Sultan.

 Semua orang menyambut dengan bahagia kepulangan Sultan dan sebagai balas jasa atas bantuan sosok Sunan tadi Sultan Agung mengatakan akan membangun kompleks pemakaman baru untuk kuburan Sunan Bayat. 

Pembangunan akhirnya dilaksanakan dan menggunakan cara yang luar biasa. Semua itu dilakukan karena Sunan dianggap sebagai sosok suci dan luar biasa. 

Seluruh kebutuhan dipilih dengan teliti termasuk para pekerja bangunan. Para pekerja itu harus memiliki perilaku yang santun dengan rohani yang mendukung. 

Terpilihlah 300.000 orang sebagai pekerja kompleks pemakaman Sunan Bayat. Ratusan ribu pekerja tadi dikisahkan duduk berderet dari lokasi tambang batu hingga makam. 

Mereka duduk dengan posisi bersila dan dengan kedua tangannya mereka memindahkan satu per satu batu-batu dari tambang hingga ke makam. 

Kisah tentang apa yang dilakukan ratusan ribu pekerja ini kemudian memunculkan gambaran tentang besarnya pengorbanan yang dilakukan untuk membangun kompleks pemakaman Sunan. 

Dan dengan pengorbanan yang besar itu, kompleks pemakaman Sunan dianggap sebagai salah satu makam tercantik yang pernah ada di Jawa. 

-Kisah kedua tentang pertemuan Sultan Agung dengan sosok Sunan Bayat adalah dalam sebuah pergelaran wayang kulit. Saat itu Sultan sedang menyaksikan pergelaran wayang kulit yang berada jauh dari istananya. 

Di saat itulah Sultan menyadari ancaman yang sedang dihadapinya. Ancaman itu antara lain adalah konspirasi kerajaan Balambangan dan Bali untuk melawan Mataram dan juga pengkhianatan Juru Taman yang menjalin hubungan dengan istri Sultan dan ingin menggantikan posisi Sultan. 

Menyadari hal-hal tadi membuat Sultan putus asa hingga jatuh bersujud. Di dalam sujudnya Sultan memohon ampun kepada Tuhan atas dosa-dosanya hingga menempatkan Sultan pada posisi yang sulit. 

Di saat itu pula muncul di hadapan Sultan sosok orang tua. Sosok itu dipercaya sebagai sosok Sunan Bayat. 

Sosok Sunan Bayat yang menemui Sultan kemudian berusaha membantu Sultan agar dapat pulang ke istana secepat mungkin. Sosok itu menggunakan tongkatnya untuk menolong Sultan. 

Dengan mengayunkan tongkat, Sultan pun terlempar jauh hingga sampai di istana secepat kilat. Dan dari kisah itu, konon Sultan berterima kasih pada sosok Sunan Pandanaran dengan merenovasi makamnya dengan bentuk dan gaya yang luar biasa 

Mari Berwisata! 

Kompleks Pemakaman Sunan Bayat di Gunung Jabalkat Regol Sinaga Kompleks Pemakaman Sunan Bayat Klaten Membayar tiket masuk seharga Rp 2.000 mungkin bukan hal yang memberatkan untuk memasuki sebuah kawasan wisata. 

Tetapi jika harus menaiki 250 anak tangga yang cukup menanjak terlebih dahulu untuk bisa menikmati kawasan itu baru terasa berat bagi sebagian orang. Adalah Makam Tembayat, makam dari Sunan Bayat yang terletak di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, yang terletak di atas perbukitan Gunung Jabalkat. 

Lokasi makam yang berada di ketinggian 860 meter dpl ini dapat dicapai dengan terlebih dahulu menaiki 250 anak tangga. 

Sunan Bayat adalah seorang tokoh religius penyebar agama Islam di kawasan Jawa Tengah pada abad 16. 

Sunan Bayat berjuang menyebarkan agama Islam pada waktu yang sama dengan Wali Sanga. Dan karena kebesaran nama dan pengaruhnya, Sunan Bayat bahkan dianggap sebagai Wali yang kesepuluh dari Wali Sanga. Sunan Bayat yang memiliki banyak nama dan sebutan adalah murid dari Sunan Kalijaga. 

Setelah mendapatkan pencerahan dan menyebarkan agama Islam dari kawasan Bayat, sosoknya mendapatkan julukan Sunan Bayat. Namun ada juga yang menamainya sebagai Sunan Tembayat, Sunan Padang Aran, Sunan Pandanaran, atau Ki Ageng Pandanaran. Gapura Panemut Kompleks Pemakaman Sunan Bayat Klaten Kompleks pemakaman Sunan Bayat dibangun pada tahun 1620 M oleh raja besar Mataram, Sultan Agung. 

Sebelum dijadikan kompleks pemakaman oleh Sultan Agung, makam Sunan Bayat diperkirakan sudah dibangun sejak tahun 1526 M, seperti yang tertera pada Gapura Segara Muncar (1448 Saka) yang terdapat di bawah bukit dan berfungsi sebagai pintu gerbang pertama pemakaman. 

Kompleks pemakaman yang pernah dianggap sebagai salah satu kompleks pemakaman termegah di era Kerajaan Mataram ini memiliki bagian-bagian yang menunjukan budaya peralihan dari Hindu ke Islam. 

Hal itu dapat dilihat dari keberadaan gapura-gapura Hindu di dalam kompleks pemakaman. Namun yang membuat gapura ini berbeda adalah tidak adanya ornamen binatang seperti yang biasa ada dalam gapura Hindu. 

Gapura Pamuncar Kompleks Pemakaman Sunan Bayat Klaten Dan memang masa perjuangan Sunan Bayat dalam menyebarkan agama Islam adalah pada masa transisi kekuasaan dan kebudayaan dari kerajaan Hindu Buddha Majapahit ke kerajaan Islam Mataram. 

Sunan Bayat yang dipercaya sebagai seorang Bupati Semarang sebelum dirinya menjadi seorang pemimpin agama adalah tokoh utama dalam kompleks pemakaman Tembayat. 

Kompleks pemakaman yang berada di Gunung Cokro Kembang (bagian dari perbukitan Gunung Jabalkat) terbagi dalam beberapa bagian penting sebelum peziarah mencapai makam Sunan Bayat yang berada pada bagian paling atas. 

Gapura Balekencur Kompleks Pemakaman Sunan Bayat Klaten Dimulai dari pintu gerbang pertama adalah Gapura Segara Muncar, lalu Gapura Dhuda, dan pintu ketiga yaitu Gapura Pangrantungan. Gapura Pangrantungan berada di “garis finis” dari 250 anak tangga menuju makam. 

Di kompleks gapura ini terdapat Bangsal Nglebet (untuk tamu wanita) dan Bangsal Jawi (untuk pria) sebagai lokasi beristirahat dan menghela nafas setelah lelah menapaki anak tangga. 

Di bangsal ini pula, pengunjung wajib mendaftarkan diri sebelum masuk ke area pemakaman. Pengunjung kembali harus mengeluarkan “uang donasi” di bangsal ini untuk biaya tiket. 

Dari bangsal ini pengunjung kemudian mengarah ke kompleks pemakaman sahabat Sunan dan kembali akan menemukan Gapura Panemut yang juga memiliki gaya bangunan Hindu. 

Masuk lebih dalam lagi kita akan melewati Gapura Pamuncar, Gapura Balekencur, dan Gapura Prabayeksa, gapura terakhir sebelum memasuki makam Sunan. 

Dari gapura terakhir tadi pengunjung akan bertemu dengan seorang juru doa yang duduk di depan sebuah perapian yang terletak di bawah Regol Sinaga. Gentong Sinaga Kompleks Pemakaman Sunan Tembayat Klaten Juru doa ini adalah seseorang yang dapat dimintai bantuan untuk memintakan izin dan mendoakan peziarah yang datang mengunjungi makam Sunan Bayat. 

Di kanan dan kiri Regol Sinaga yang berpintu tiga diletakan masing-masing sebuah gentong yang diberi nama Gentong Sinaga, yang dipercaya sebagai padasan atau tempat air wudhu Sunan Bayat. Gentong Sinaga Kompleks Pemakaman Sunan Pandanaran Klaten Beberapa peziarah yang datang atau meninggalkan makam Sunan selalu menyempatkan diri untuk meminum air dari dalam gentong atau menyimpan sedikit dalam botol untuk dibawa pulang. 

Dari Regol Sinaga pengunjung dapat langsung masuk ke dalam bangunan utama yang terdapat di puncak bukit ini. Di dalam bangunan inilah Sunan Bayat dimakamkan. 

Makam Sunan Bayat terdapat di tengah bangunan tersembunyi dalam bilik kayu berbentuk persegi mirip seperti Ka’bah di Mekah. 

Banyak peziarah yang masuk, akan mengantri di samping makam untuk dapat mendekati makam Sunan. Beberapa dari mereka juga terlihat sibuk menyalin teks Jawa yang tertulis pada sebuah batu yang diletakan di samping makam. 

Di samping makam Sunan Bayat terdapat dua makam istri Sunan Bayat yaitu Nyi Ageng Kali Wungu dan Nyi Ageng Krakitan. 

Sementara (bagian dalam) di depan pintu masuk bangunan utama terdapat beberapa makam sahabat-sahabat Sunan Bayat. 

Dari dalam makam Sunan Bayat pengunjung kemudian dapat mengunjungi dua makam sahabat Sunan yang berada di bagian luar bangunan utama. 

Dua makam itu adalah makam Dampu Awang dan Ki Pawilangan. 

Dampu Awang dipercaya sebagai seorang pedagang dari Semarang dan dia adalah seorang keturunan Tionghoa. 

Makam Dampu Awang tampak berbeda dengan makam lainnya karena ukuran panjang yang tidak biasa. 

Ukuran makam Dampu Awang tampak sangat panjang daripada makam-makam lain yang ada didekatnya termasuk milik Ki Pawilangan. 

Makam Dampu Awang Pemakaman Sunan Padang Aran Sebuah tradisi unik sering dilakukan oleh para peziarah saat mengunjungi makam Dampu Awang dan Ki Pawilangan. 

Tersebar cerita kuno bahwa bagi siapa yang berhasil menyentuh dua batu nisan (masing-masing di bagian ujung) makam Dampu Awang dengan membentangkan tangannya, maka keinginannya akan terkabul. 

Dan bagi kerabat yang pertama menyentuh orang yang berhasil tadi juga akan mendapatkan sebagian dari berkahnya. 

Sedangkan cerita kuno pada makam Ki Pawilangan adalah bagi siapa yang menghitung jumlah batu hias pada makam sebanyak tiga putaran dengan jumlah berbeda dan membesar. 

Maka dia akan mendapatkan berkah. Sementara jika hasil perhitungan selama tiga kali menghasilkan jumlah menurun maka dia akan mendapatkan kebalikannya. 

Kebanyakan pengunjung yang datang ke kompleks pemakaman Sunan Bayat adalah para peziarah yang datang dari Jawa Tengah terutama Semarang. 

Hal ini bisa jadi karena latar belakang asal-usul Sunan yang datang dari Semarang sebelum menjalani hidup religius di bawah bimbingan Sunan Kalijaga. 

Selain makam Sunan Bayat, pengunjung juga dapat mengunjungi Masjid Golo, dengan bedugnya, yang dibangun oleh Sunan Bayat. 

Ada juga makam Syeh Domba di Gunung Cakaran, pengikut setia Sunan, yang diceritakan pernah berkepala domba karena merampok istri Sunan. 

Atau makam Syeh Kewel di Makam Sentana, pengikut setia Sunan, yang diceritakan pernah berkepala Ular karena juga turut merampok istri Sunan. Kompleks Pemakaman Sunan Pandanaran Paseban Bayat Klaten Dan seperti halnya kawasan sakral lainnya di Jawa, lokasi ini juga menggelar sebuah acara budaya yang sudah menjadi tradisi. 

Upacara Ruwatan atau Jodangan digelar oleh warga di sana setiap tanggal 27 pada hari Jum’at Kliwon di bulan Ruwah. 

Upacara ini adalah upacara peringatan jasa besar Sunan Bayat yang digelar dengan rangkaian upacara bersih makam, mengganti kain penutup makam, selamatan, serta pertunjukan Reog. 

Untuk dapat mencapai lokasi kompleks pemakaman Sunan Bayat yang terletak di Kecamatan Bayat, perjalanan dengan mobil atau motor dapat dipilih. 

Kurang lebih perjalanan akan memakan waktu kurang dari satu jam dari kota Solo. 

Jalur terdekat yang dapat diambil adalah jalur Wonosari, Juwiring, Pedan, Cawas/Trucuk kemudian Bayat. Jalur ini lebih cepat ditempuh daripada harus masuk melalui jalur Klaten kota.

Sumber Artikel :
Sejarah, Cerita, Legenda, Mitos, TOKOH, Situs

- Copyright © POLICEWATCH - Devil Survivor 2 - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -